Mendengar memang berbeda dengan melihat, melihatpun ternyata berbeda dengan merasakan. Semua ada kadarnya, ada pengaruhnya pada jiwa dan pasti akan berbeda ekspresi yang muncul pada seluruh tubuh kita.
Inilah barangkali yang akhirnya terjadi. Beberapa hari awal letusan merapi, saya hanya melihat. Kemudian mulai mendengar dengan deras, manakala ditugaskan PKPU melibatkan diri dalam penanganan yang terjadi di tiga tempat sekaligus, wasior, merapi dan mentawai. Dan pada akhirnya sampai juga di hadapan merapi, merasakan suka duka para pengungsi. Merasakan ketegangan, kecemasan dan kekhawatiran akan datangnya awan panas kembali.
Hari-hari di merapi, bukan hari-hari uji nyali, bukan pula hari-hari dimana kita menunjukan keberanian sejati.
Hari-hari di merapi, justeru mampu mengaduk-aduk perasaan terdalam yang selama ini kadang tak terasa kita pendam. Ya, perasaan takut mati, ternyata tidak muncul setiap hari, tidak muncul dalam banyak kondisi. Perasaan ini merupakan perasaan alami setiap manusia, bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di dunia.
Hari-hari di merapi, seakan menjadi sebuah permainan antara hidup dan mati. Setiap orang di sini tidak tahu siapa lagi yang akan mati karena merapi. Karena memang merapi punya otoritas penuh untuk dia meletus atau berdiam diri.
Semuanya terserah merapi....
Kesadaran inilah sebenarnya kesadaran asasi yang bila diteruskan dengan pertanyaan, “kalau begitu, minta pada sang pemilik merapi untuk menghentikan merapi?”.
Nah dalam titik inilah orang-orang lereng merapi terbelah dalam memandang persoalan amat penting ini. Ada yang semakin beriman, bahwa Allah SWT saja yang bisa menghentikan merapi dan menenangkannya kembali. Sehingga bencana menjadi hilang diantara mereka.
Namun ternyata, tidak sedikit yang berpikir berbeda. Ada yang meyakini bahwa merapi ini adalah sebuah kerajaan yang ditunggui oleh mbah merapi. Ia marah (ketika erupsi) karena kurangnya sesaji dan bakti warga lereng merapi.
Inilah wajah anak bangsa menghadapi bencana. Sebuah wajah yang terbelah antara keimanan dan kemusyrikan yang melanda. Datang dan perginya bencana selalu ada saja kejadian demi kejadian yang menguatkan masing-masing sudut pandang. Hangusnya para penduduk-pun tetap saja memiliki tafsir masing-masing. Dan lagi-lagi, kita sebagai seorang muslim harus mengelus dada, ternyata informasi dan esensi universalitas Islam yang benar, yang menjadikan manusia berada dalam keseimbangan asasinya belum begitu tertanam ditengah penduduk lereng merapi yang menyatakan diri mereka sebagai seorang muslim.
Dengan begitu, tugas para relawan merapi sesunguhnya tetap belum selesai, seandainya pun bencana ini berakhir dan pergi. Karena para penghuni lereng merapi yang notabene saudara sesama muslim masih memerlukan kesetiaan dan pengertian dari kita untuk terus berbagi, ungtuk terus peduli dan untuk terus menjadi saudara muslim sejati. Membantu mengingatkan kala lupa, meluruskan kala khilaf dan mendahulukan bila memang saudara kita memerlukan.
Lereng merapi menjelang pagi, Senin, 1 November 2010
Nana Sudiana
Inilah barangkali yang akhirnya terjadi. Beberapa hari awal letusan merapi, saya hanya melihat. Kemudian mulai mendengar dengan deras, manakala ditugaskan PKPU melibatkan diri dalam penanganan yang terjadi di tiga tempat sekaligus, wasior, merapi dan mentawai. Dan pada akhirnya sampai juga di hadapan merapi, merasakan suka duka para pengungsi. Merasakan ketegangan, kecemasan dan kekhawatiran akan datangnya awan panas kembali.
Hari-hari di merapi, bukan hari-hari uji nyali, bukan pula hari-hari dimana kita menunjukan keberanian sejati.
Hari-hari di merapi, justeru mampu mengaduk-aduk perasaan terdalam yang selama ini kadang tak terasa kita pendam. Ya, perasaan takut mati, ternyata tidak muncul setiap hari, tidak muncul dalam banyak kondisi. Perasaan ini merupakan perasaan alami setiap manusia, bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di dunia.
Hari-hari di merapi, seakan menjadi sebuah permainan antara hidup dan mati. Setiap orang di sini tidak tahu siapa lagi yang akan mati karena merapi. Karena memang merapi punya otoritas penuh untuk dia meletus atau berdiam diri.
Semuanya terserah merapi....
Kesadaran inilah sebenarnya kesadaran asasi yang bila diteruskan dengan pertanyaan, “kalau begitu, minta pada sang pemilik merapi untuk menghentikan merapi?”.
Nah dalam titik inilah orang-orang lereng merapi terbelah dalam memandang persoalan amat penting ini. Ada yang semakin beriman, bahwa Allah SWT saja yang bisa menghentikan merapi dan menenangkannya kembali. Sehingga bencana menjadi hilang diantara mereka.
Namun ternyata, tidak sedikit yang berpikir berbeda. Ada yang meyakini bahwa merapi ini adalah sebuah kerajaan yang ditunggui oleh mbah merapi. Ia marah (ketika erupsi) karena kurangnya sesaji dan bakti warga lereng merapi.
Inilah wajah anak bangsa menghadapi bencana. Sebuah wajah yang terbelah antara keimanan dan kemusyrikan yang melanda. Datang dan perginya bencana selalu ada saja kejadian demi kejadian yang menguatkan masing-masing sudut pandang. Hangusnya para penduduk-pun tetap saja memiliki tafsir masing-masing. Dan lagi-lagi, kita sebagai seorang muslim harus mengelus dada, ternyata informasi dan esensi universalitas Islam yang benar, yang menjadikan manusia berada dalam keseimbangan asasinya belum begitu tertanam ditengah penduduk lereng merapi yang menyatakan diri mereka sebagai seorang muslim.
Dengan begitu, tugas para relawan merapi sesunguhnya tetap belum selesai, seandainya pun bencana ini berakhir dan pergi. Karena para penghuni lereng merapi yang notabene saudara sesama muslim masih memerlukan kesetiaan dan pengertian dari kita untuk terus berbagi, ungtuk terus peduli dan untuk terus menjadi saudara muslim sejati. Membantu mengingatkan kala lupa, meluruskan kala khilaf dan mendahulukan bila memang saudara kita memerlukan.
Lereng merapi menjelang pagi, Senin, 1 November 2010
Nana Sudiana