Versi Lengkap: Ketika Bandul PKS Makin Ketengah





jalanpanjang.web.id - Tulisan saya dimuat di Opini Republika hari ini, Alhamdulillah. Sesuai dengan momentum Munas PKS, saya berharap tulisan ini bisa memberi manfaat. Link tulisan bisa dibuka di http://koran.republika.co.id/koran/24/113479/Ketika_Bandul_PKS_Makin_ke_Tengah atau di websitenya lembaga survei AKSES. Versi lengkapnya sebenarnya cukup panjang, jadi wajar jika Republika banyak melakukan edit dengan tidak menghilangkan substansi pesan. Tapi tetap perlu saya tampilkan versi lengkapnya, agar tidak hilang dan sekaligus tetap ngotot menyampaikan gagasan yang terpotong :d

Point yang terpotong saya buat miring, biar jelas bedanya. Inilah versi lengkap itu:

Ketika Bandul PKS Makin Ketengah
Berbeda dengan hingar bingar Kongres PDIP atau Partai Demokrat beberapa waktu yang lalu, gaung Munas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 17-19 Juni di Jakarta kali ini tetap tawadu’, sebagaimana seperti sebelum-sebelumnya. PKS punya tradisi peralihan kepemimpinan yang ‘adem ayem’. Yang mungkin berbeda adalah bahwa PKS akan menggelar acara lima tahunannya kali ini di Hotel Rizt Carlton, yang terkenal mewah, sarat dengan orang asing, bahkan simbol Amerika hingga menjadi korban pengebomam teroris bersamaan dengan JW Marriot beberapa bulan lalu.
Meskipun pemilihan hotel ini di jawab oleh PKS dengan alasan sederhana; menampung banyak orang dan dapat discount besar. Namun diluar itu, dari langkah dan manuver yang dilakukan PKS selama ini terdapat pertanyaan besar tentang arah gerak PKS. Apakah bandul PKS akan semakin ketengah dengan meninggalkan identitas asholah-nya?
PKS berasal dari transformasi gerakan tarbiyah yang bermula dari kampus. Berawal dari ‘Pengkaderan PHI’ (1968) dan Bina Masjid Kampus (1974) yang dilaksakan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dengan motor Muh Natsir, tokoh Masyumi. Berkembang menjadi Latihan Mujahid Dakwah (LMD) yang dilaksanakan oleh murid Natsir, Imaduddin Abdurrahman (Bang Imad) dan kemudian menjadi gerakan kultural institusional dengan adanya Lembaga Dakwah Kampus. Selanjutnya komunitas ini semakin besar dan berpengaruh dengan membentuk lembaga-lembaga dakwah, pendidikan dan bisnis. Menjelang reformasi komunitas Tarbiyah mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan akhirnya ber-transformasi menjadi Partai Keadilan pada tahun 1998, serta PKS sejak 2003. PKS memperkenalkan term ‘Partai Dakwah’, yang mengingatkan pada perkataan Natsir ketika mendirikan DDII, setelah gagalnya rehabilitasi Masyumi, “Kalau dulu kita berdakwah melalui politik (partai), sekarang kita berpolitik melalui dakwah”. Seolah PKS ingin mengatakan bahwa sekarang saatnya kembali berdakwah dalam mimbar politik melalui partai, sebagaimana dulu dilakukan Natsir di Masyumi.
PKS sejak kelahirannya sudah menjadi fenomena. Dahlan Iskan menyebutnya “Masa santun di dunia yang bergetah”. Memperoleh 1,2% suara atau tujuh kursi dalam Pemilu 1999 dan beberapa puluh orang saja di DPRD seluruh Indonesia, PKS kembali menjadi fenomena dengan konsistensi dan kebersihan para anggota legislatifnya. Selain itu, kepedulian PKS terhadap masyarakat kecil dan bencana menjadikan PKS kembali fenomenal dengan capaian 7% di Pemilu 2004 dengan slogannya ‘bersih – peduli’. Tapi PKS gagal mengulang fenomenalnya di Pemilu 2009 meski tetap bisa menambah perolehan kursi DPR dan DPRD.
Citra dan identitas PKS dimata publik memang merupakan partai yang Islami, bersih dari korupsi, solid dan peduli terhadap masyarakat. Setidaknya begitulah hasil survei opini publik yang dilakukan AKSES Research Indonesia beberapa waktu yang lalu. Sekitar 75% pemilih PKS menjadikan asas Islam sebagai salah satu alasan mereka melabuhkan pilihan politik pada PKS, selanjutnya karena dikenal sebagai partai yang bersih dari korupsi (68%), Santun dan Intelektual (51%), partai yang solid (48,6%) serta peduli terhadap rakyat (46,8%). Bahkan berasas Islam menjadi alasan terkuat bagi 30% pemilih PKS, sedang alasan bersih dari korupsi menjadi alasan terkuat bagi 19% pemilih PKS.
Nasionalis-Realis?
Disisi lain, terlihat pula proses moderasi yang terjadi terjadi di PKS, yang mengindikasikan mulai beralihnya PKS dari Islamis-idealis ke arah nasionalis-realis, bahkan ketika mendirikan partai pun sebenarnya merupakan hasil moderasi yang terjadi pada gerakan Tarbiyah, karena mendirikan partai berarti membuat jati diri gerakan ini mulai terbuka dan harus siap dengan kotornya politik.
Setelah Pemilu 1999, Partai Keadilan berkoalisi dengan PAN dan membentuk fraksi reformasi, bukan berkoalisi dengan partai-partai Islam lainnya. Selanjutnya dalam proses amandemen UUD, PKS mengusulkan rumusan baru bagi pasal 28, yang mereka sebut dengan piagam madinah, alih-alih mendukung Piagam Jakarta yang diusulkan oleh partai Islam lainnya. Padahal isu asas Islam dan piagam Jakarta ini banyak dianggap ideologis bagi gerakan, organisasi dan partai Islam di Indonesia. Lebih jauh, Partai Keadilan turut bergabung dalam kabinet Gus Dur. Padahal sebelumnya, pemikiran Gus Dur banyak di kritik oleh tokoh PKS karena dianggap ‘liberal’.
Selanjutnya sejak tahun 2002, PKS mulai berperan sebagai ‘oposisi’ dengan mengkritisi pemerintahan Megawati. Hal ini membuat PKS juga berhadapan dengan Hamzah Haz, Wakil Presiden dari partai Islam, PPP. PKS tidak segan berkolaborasi dengan kekuatan nasionalis, bahkan non-Islam untuk menyuarakan kegelisahannya saat itu, baik isu politik maupun kemanusiaan.
Pada Pemilu Presiden 2004, PKS sangat alot untuk menentukan dukungannya pada Amien Rais sebagai capres, karena cukup banyak dukungan juga di internal PKS kepada Wiranto. Selanjutnya PKS berkoalisi dengan SBY-Jusuf Kalla dan mendapatkan 3 posisi kementerian di kabinet. Berkoalisi, bahkan sub-ordinasi PKS terhadap kekuatan non-Islamis merupakan langkah yang cukup berani, karena PKS terpaksa harus tunduk dan mendukung kebijakan pemerintah yang mungkin tidak sejalan dengan idealisme Islam PKS.
Di tingkat lokal proses berjalan ‘ketengah’ juga terlihat di PKS. Dari berbagai Pilkada, sangat sedikit PKS mengusung calon dari kadernya sendiri. Karena memang tidak banyak daerah yang perolehan suara PKS cukup dominan. PKS dapat berkoalisi dengan siapa saja dan dari partai mana saja termasuk partai kristen sekalipun, asalkan punya peluang besar untuk menang dan memiliki dana yang banyak untuk kampanye. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pemahaman Islam puritan tentang kriteria kepemimpinan dalam Islam.
Langkah ‘ketengah’ yang dilakukan PKS tidak hanya itu, PKS mengagetkan banyak pihak dengan mewacanakan pemaafan Soeharto ketika menjelang wafatnya. Selanjutnya menjelang Pemilu 2009, manuver PKS dalam iklan di televisi memunculkan Soeharto sebagai sosok pahlawan. Hal ini menjadi diskursus nasional yang cukup panjang.
Jika pada kabinet SBY pertama PKS tampak malu-malu berkoalisi, pada kabinet SBY Kedua ini PKS berkoalisi sepenuh hati dengan menurunkan tokoh-tokoh terbaiknya menjadi Menteri SBY. Jelas hal ini menunjukkan PKS tidak lagi ragu dengan pilihan politiknya mendukung pemerintah dan semakin berada ‘ditengah’ serta realistis terhadap pilihan-pilihan politik.
Menjaga Identitas, Memperbesar Kapasitas
Proses makin ketengah atau moderasi ini sebenarnya merupakan tabiat yang lumrah dalam proses transformasi dari gerakan sosial-agama menjadi gerakan/partai politik. Sebagaimana dapat dilacak proses yang serupa pada gerakan Islam di Turki yang saat ini menjadi kekuatan mayoritas melalui Partai Keadilan dan Pembangunan pimpinan Erdogan. Begitu pula bahkan, dengan Partai Komunis Cina yang semakin akrab dengan kapitalisme.
Agar bisa lebih banyak meraup dukungan, PKS memang harus memahami dan melakukan apa yang diinginkan oleh pemilih potensialnya. Untuk meluaskan jangkauannya, PKS harus berani keluar dari ‘tempurung’ yang selama ini menghalangi. Meski demikian, identitas PKS juga tidak boleh hilang agar tak ditinggal pemilih loyalnya. Di titik inilah langkah PKS menjadi krusial dan menentukan, apakah sebenarnya PKS mengalami moderasi atau malah perubahan identitas.
Terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan PKS dalam proses ‘ketengah’ ini. Pertama, PKS harus mempertegas formulasi identitas yang menjadi poros geraknya. Identitas sebagai partai Islam, kaum muda, bersih dari korupsi dan peduli dengan rakyat merupakan identitas yang sudah melekat kuat pada pendukung loyal PKS. Dari identitas yang dipersepsikan publik ini saja sebenarnya PKS sudah memiliki ceruk pasar yang besar. Pemilih potensial PKS paska Pemilu 2009 mencapai 65%. Lebih dari cukup untuk modal kesuksesan PKS.
Oleh karena itu, langkah ketengah yang dilakukan PKS haruslah hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai mengubah persepsi yang selama ini melekat pada pemilih loyal yang mencapai 72% dari seluruh pemilih PKS 2004 dan 2009. Karena jika ceroboh, bukannya mendapat tambahan dukungan, tapi malah ditinggalkan pemilih loyalnya. Jika PKS kemudian dikesankan tidak lagi sebagai partai Islam karena ingin menarik dukungan ‘sekuler’ atau non-Islam, maka 75% pemilihnya berpeluang pergi. Jangan sampai “mengharap hujan dilangit, air ditempayan ditumpahkan.” Meluaskan dukungan tanpa kehilangan jatidiri dan pemilih fanatik.
Kedua, yang menjadi tantangan bagi PKS adalah memunculkan tokoh utama. Meski PKS lebih mementingkan sistem dibandingkan tokoh, namun pemilih masih kuat menjadikan tokoh sebagai faktor penting dalam menentukan dukungan suara. Dengan ketiadaan tokoh utama yang dimiliki, maka persepsi publik terhadap kemampuan tokoh PKS dalam menyelesaikan permasalahan bangsa menjadi rendah pula. Tokoh bagi partai politik tidak hanya untuk simbol perwajahan identitas dan visi-misi partai, namun lebih jauh merupakan figur calon pemimpin yang diusung partai. Pemilih akan cenderung pada partai dimana figur terbaik yang dimiliki partai tersebut ia percaya untuk menjadi pemimpin nasional. Hal ini dijelaskan dalam temuan survei AKSES yang mendapatkan 51% pemilih PKS 2004 yang pindah memilih ke partai lain (negative swing voter) karena ketiadaan figur yang dianggap layak menjadi pemimpin nasional dan mereka lebih tertarik dengan figur dari partai lain. Wajar jika sekitar 65% dari mereka pindah ke Demokrat karena faktor SBY. Pemilih potensial PKS pun menjadikan ‘tsunami’ SBY ini sebagai alasan kuat sehingga belum memilih PKS pada Pemilu 2009.
Bagi PKS, siapapun kader yang akan ditokoh-utamakan tidaklah masalah, baik tokoh yang memang sudah dikenal luas oleh publik maupun yang baru akan dimunculkan, asal disepakati dan didukung bersama-sama oleh PKS. Karena masih punya cukup waktu hingga Pemilu 2014 dan PKS punya kemampuan cepat melejitkan tokoh. Apalagi pada Pemilu 2014, dapat dipastikan wajah lama tidak banyak lagi yang akan terus bertarung.
Ketiga, ini yang paling sulit, adalah upaya PKS menghadirkan solusi bagi permasalahan kekinian bangsa bersumberkan nilai-nilai Islam yang mereka yakini dan pahami, menjadi kerja-kerja konkrit dan solutif bagi bangsa. Hal ini yang pada hakikatnya merupakan transformasi, implementasi-aktual dan positifikasi nilai-nilai yang diyakini PKS. Disinilah letaknya wacana kebangsaan dan kerakyatan PKS mendapat tempat, alih-alih membicarakan soal asas Islam vs Pancasila, tertutup atau terbuka dan petinggi non-muslim yang sebenarnya hanya berpengaruh pada 2% pemilih potensial, PKS harus lebih produktif dengan agenda-agenda kebangsaan, kerakyatan dan kepedulian sosial. Pemilih potensial PKS lebih berharap PKS dapat menjalin komunikasi yang intensif dengan rakyat, memperhatikan nasib mereka dan memihak pada kepentingangan rakyat (33,3%). PKS perlu meningkatkan program atau kegiatan sosial dan ekonomi dalam rangka membantu masyarakat seperti sembako murah, kesehatan gratis dan pendidikan/beasiswa (26,7%). Terhadap tokoh-tokohnya yang berada pada jabatan publik, mereka berharap dapat ditingkatkan kinerja dan profesionalitasnya (8,4%).
Konkritnya, PKS melalui para menteri, anggota legislatif, kepala daerah dan tokoh politik yang dimilikinya harus mampu menghadirkan program yang mampu menjadi solusi. Tentang mengentaskan masalah krusial rakyat dan bangsa seperti pemberantasan korupsi, penyakit sosial masyarakat, pornografi, pengangguran, kemacetan di kota besar, transportasi nasional, diplomasi luar negeri, reformasi birokrasi, makelar kasus dan lain-lain. Hal-hal ini lebih kuat mempengaruhi pemilih dibandingkan apa yang menjadi asas suatu partai.
Demikianlah, ketiga catatan langkah ini kiranya dapat menjadi strategi yang dapat memastikan langkah memperluas kapasitas PKS bisa dilakukan tanpa kehilangan asholah-nya, sementara perluasan pendukung, basis sosial, strategic partnership, bersinergi dengan kelompok pengusaha dan market friendly tetap dapat dilakukan PKS tanpa kehilangan jatidiri. Sehingga target PKS memperoleh 20% suara pada 2014 mungkin dicapai. Lebih jauh, PKS bisa menjadi aset istimewa bangsa dalam ekspresimen politik dan kepartaian Indonesia, ditengah absennya pemikiran mendasar dan ideologis dalam partai politik Indonesia. Bahkan, PKS bisa menjadi tauladan bagi politik di dunia Islam, sekaligus menjawab tuduhan Oliver Roy (The Failure of Political Islam) yang menyatakan bahwa politik Islam telah gagal karena tidak berhasil memberikan solusi konkrit bagi permasalahan mendasar masyarakat. Wallahu’alam bisshawab.

M. Hermawan Eriadi, M.Si
Direktur Eksekutif AKSES Research Indonesia
Sumber : Heriawan Heriadi Blog

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com