Mafia VS Teroris

Entah bagaimana ceritanya, seolah kita hidup disebuah negara yang sangat tidak aman, penuh ancaman, teroris dimana-mana..menyeramkan.
Belum lagi kasus-kasus yang belum terselesaikan..lebih menyeramkan lagi Mafia ..mafia peradilan..dll
Gagahnya DENSUS dalam menyergap teroris seperti jadi suguhan hidangan pagi hari kita akhir-akhir ini, pertanyaannya sembunyi dimana Mafianya atau lebih penting Teroris atau mafia..
Dua Headline hari ini seolah menjawab pertanyaan saya, tapi sekali lagi..entahlah, saya hanya orang biasa..bukan jurnalis, bukan pula pengamat. Coba kita simak komentar pedas di Kompasiana.com dan Catatan Hanibal Wijayanta : Wartawan ANtv
TVOne, Metro TV, dan Monolog Polisi (Teroris atau Telolis) Kompasiana.com
Barangkali kita semua masih ingat ketika reporter Metro TV Nurudin Lazuardi berada satu pesawat dengan Sjahril Djohan dalam penerbangan Singapura-Jakarta. Nurudin satu-satunya wartawan yang “berhasil” mewawancara Sjahril dan mengabadikan kepulangan mantan diplomat yang diduga markus itu. Mudah ditebak: Metro diberi informasi eksklusif oleh Polri. Pada saat yang sama TVOne sedang punya hubungan tidak enak dengan Polri akibat dugaan markus palsu dalam tayangan Apa Kabar Indonesia Pagi. Sebelumnya, untuk kasus-kasus terorisme, TVOne menjadi “yang terdepan dalam mengabarkan”. Wartawan TVOne, Ecep S Yasa, selalu menempel pada Densus 88 ketika aksi-aksi penyergapan dilakukan. Ketika Amrozi cs dieksekusi, TVOne yang pertama kali memastikan terpidana mati teroris itu sudah ditembak mati.
Tetapi apa harga yang harus dibayar TVOne dan Metro TV setelah mereka mendapat informasi dan fasilitas eksklusif dari Polri? Tidak ada makan siang gratis . Di tengah kontroversi penahanan Susno dan belitan markus di tubuh Polri, tiba-tiba “teroris” itu muncul kembali. Dan rupanya kini giliran TVOne dan Metro TV yang harus “memberi sesuatu” kepada Polri. Dalam penyergapan “teroris” yang penuh kejanggalan ini, kedua TV itu menjadi corong Polri. Mereka menelan mentah-mentah apa saja yang ke luar dari mulut Polri. Selain menampilkan gambar-gambar “kegesitan” Densus, TVOne dan Metro juga menyajikan berbagai dialog dengan “pengamat terorisme” yang menggambarkan hebatnya Polri dan Densus dan menggambarkan betapa Presiden dan pejabat tinggi sedang dalam ancaman. Kedua TV itu membiarkan Polri melakukan pertunjukan monolog.
Bukan tanpa alasan jika banyak pihak seperti Mahfud MD, Ketua Mahmakah Konstitusi, mengkhawatirkan penyergapan “teroris” ini sekedar upaya pengalihan isu. Dan bukan tanpa alasan pula jika Kompas edisi Jumat 14 Mei yang lalu tidak menempatkan peristiwa penyergapan ini dalam headline, tidak juga muncul di halaman pertama. Kompas menempatkannya di halaman 26, halaman Metropolitan, dengan judul: Polisi Tewaskan 5 Orang. Headline Kompas hari itu justru: Susno Duadji Terus Melawan.
Hal menarik lain, konferensi pers kali ini, selain langsung dilakukan Kapolri, juga hadir Menko Polhukam Joko Suyanto. Padahal biasanya untuk peristiwa penyergapan yang tidak melibatkan tokoh teroris kelas berat, konferensi pers hanya dilakukan Kadiv Humas Mabes Polri. Ada apa? Polri mungkin berpikir bahwa Menko Polhukam harus dihadirkan dalam konferensi pers untuk memberi kesan bahwa ini penyergapan yang serius. Tetapi sebaliknya kita bisa berpikir: penyergapan ini penuh sandiwara sehingga Polri memerlukan Menko Polhukam untuk meyakinkan publik.
Saya tidak bermasud mengecilkan bahaya teroris di Indonesia atau menafikan keberhasilan Polri mengakhiri petualangan Noordin dan Dulmatin. Tetapi jika “penyergapan teroris” digunakan sebagai upaya pengalihan isu atau digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan alokasi dana, maka hal-hal seperti ini harus kita kutuk keras. Dan tugas media untuk memberikan perspektif kepada publik, tidak menelan mentah-mentah penjelasan sepihak. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan jika media menjaga jarak dengan sumber berita (Polri) dengan menjalin relasi yang proporsional.

Selanjutnya simak catatan Hanibal Wijayanta : Wartawan ANtv

 Dagelan Penggerebegan Teroris

Beberapa hari terakhir masyarakat kembali dikejutkan oleh operasi penangkapan dan penembakan teroris. Pekan lalu, belasan orang ditangkap di kawasan Pejaten, yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari markas Badan Intelijen Negara (BIN). Rabu siang lalu (12/5) sekelompok orang ditangkap di Cikampek, Jawa Barat, dan menewaskan dua orang di antara mereka. Beberapa jam kemudian, tiga tersangka teroris juga diterjang timah panas polisi dan tewas saat turun dari taksi di keramaian jalan Sutoyo Siswomihardjo, kawasan Cililitan, Jakarta Selatan.

Lewat corong media massa, polisi mengatakan bahwa mereka adalah tersangka teroris. Awalnya polisi baru mengatakan bahwa mereka terlibat dalam kasus teroris Aceh yang ditangkap dan didor dua bulan lalu. Belakangan, polisi mengatakan bahwa mereka juga terlibat kasus bom Marriott dan bom Kedubes Australia. Bahkan kabarnya salah seorang tersangka yang ditembak polisi adalah Umar Patek, salah satu pelaku Bom Bali I, yang sempat diberitakan tewas di Filipina.

Hari ini, Kamis (13/5) polisi ternyata sudah langsung bergerak ke Solo, termasuk komandan lapangan Densus 88 Kombes Muhammad Syafei yang sampai kemarin sore masih berada di Cikampek. Sang Kombes juga sempat memberikan clue kepada tim liputan kami bahwa, “Akan ada gunung meletus di Solo.” Di Solo polisi ternyata menangkap tiga orang tersangka, entah di mana ditangkapnya, kemudian menyerbu sebuah rumah bengkel. Di tempat inilah polisi menemukan sepucuk M-16, pistol, peluru, dan buku-buku jihad (!)… Hmmm… Sigap nian polisi kita.

Namun ada yang menarik dalam penggerebegan teroris di Solo kali ini. Sebab, sebelum penggerebegan itu, polisi sempat menggelar brieffing terlebih dahulu dan persiapan-persiapan seperlunya di sebuah rumah makan. Di tempat itu pula –di pinggir jalan— mereka baru memakai rompi anti peluru setelah melempar-lemparkannya sebentar di antara mereka, memasang sabuk, penutup kepala, senjata api dan persiapan-persiapan lain. Beberapa warga yang melintas sempat menonton mereka show of force, dan terkagum-kagum heran melihat semua persiapan itu. “Wah, iki Densus 88 yo, Mas, edan tenan…,” kata seorang warga.

Acara persiapan pra penyerbuan yang sangat terbuka seperti ini tentu saja jarang terlihat pada penggerebegan sebelumnya. Pada penyerbuan-penyerbuan sebelumnya, biasanya polisi sudah memakai pakaian tempur lengkap dan masuk ke lokasi di malam hari atau pagi buta. Sementara pada acara persiapan tadi pagi, matahari sudah mulai hangat di tengkuk. Saat itu sebenarnya beberapa wartawan cetak dan elektronik sudah mulai berdatangan ke rumah makan itu. Sayang mereka tidak berani mengambil momentum bersejarah ini…

Nah, setelah semua anggota lapangan memakai peralatan rapi, mereka lalu masuk ke mobil dan langsung bergerak. Hanya bergerak sebentar tiba-tiba mobil-mobil Densus 88 itu berhenti. Para anggota lapangan pun bergerak mengepung sekitar lokasi dan kemudian memasuki rumah yang dipakai menjadi bengkel itu. Para wartawan yang mengikuti mereka sampai tergopoh-gopoh karena terkejut. Mereka tidak mengira rumah sasaran sedekat itu. Tahukah anda, berapa jaraknya dari rumah makan tadi? Hanya 200 meter, dan terlihat jelas dari restoran tadi!!

Maka drama penggerebegan yang tidak lucu itu pun terjadi. Para wartawan bisa mendekat ke TKP bahkan sampai ke pintu rumah bengkel tadi. Para anggota Densus 88 itu pun bisa diambil gambarnya dalam jarak dekat. Mereka sama-sekali tidak berusaha menghalangi atau melarang, mereka juga tidak mengusir para wartawan. Para petugas membiarkan para cameraman televisi mengambil gambar hingga di pintu rumah itu, dan bisa mengambil gambar ketika anggota densus 88 berada di salah satu ruangan.

Dalam rekaman para cameraman televisi, Lazuardi reporter/cameraman Metro TV dan Ecep S Yasa, dari TV-One tampak diberi privilege untuk mengambil gambar terlebih dahulu dari wartawan lain. Meskipun demikian mereka juga sempat disuruh keluar terlebih dahulu, “Nanti dulu-nanti dulu, belum siap,” kata seorang anggota Densus 88. Para wartawan sempat bertanya-tanya, apanya yang belum siap. Namun ketika boleh masuk, para wartawan melihat bahwa barang bukti sudah tersusun rapi di lantai.

Yang sangat menarik, bagi wartawan yang sudah biasa meliput penangkapan teroris, tampak jelas dari bahasa tubuh mereka, bahwa para anggota Densus 88 itu tidak menunjukkan tanda-tanda stres yang menyebabkan adrenalin melonjak. Mereka tampak lebih santai dari pada ketika mereka menggerebeg tersangka teroris sebelumnya. Bahkan mereka menunjukkan kegembiraan yang janggal ketika saling mengacungkan jempol, tos dan sebagainya, setelah operasi dinyatakan berhasil.

Perilaku yang aneh juga tampak ketika para perwira Densus 88 termasuk komandan lapangan mereka, Kombes Muhammad Syafei datang ke rumah bengkel itu dan mau diambil gambarnya oleh para wartawan, bahkan dalam posisi close-up. Padahal selama ini dia dikenal paling alergi dengan kamera wartawan. Tak segan-segan ia menyuruh wartawan mematikan camera atau menghapus gambar yang ada dirinya.

Kejanggalan pun semakin lengkap ketika beberapa warga mengakui bahwa sebenarnya sehari sebelumnya rumah bengkel itu sudah didatangi sejumlah orang bertampang tegap, yang menurut warga adalah polisi…. “Ya mirip mereka-mereka itu, mas…,” kata mereka.

Lalu, apa artinya semua ini?

(Sekali lagi..biar waktu yang membuktikan..semoga ada yang terus melawan seperti kata Irfan Rahardian yang berharap Indonesia bebas korupsi, bebas mafia hukum dan ketidakadilan)

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com