Negara, Pasar, dan Rakyat



jalanpanjang - Politisi muda FPKS DPR, Fahri Hamzah mempublikasi ide-ide pemikiran nya lewat sebuah buku yang diberi judul ‘Negara, Pasar, dan Rakyat’.   Buku bercover eksklusif setebal 626 halaman ini diluncurkan di sekertariat Pressroom DPR, Gedung Nusantara II, Kamis (25/11).Selain Fahri sebagai pembicara utama, juga beberapa tokoh yang turut memberikan opininya mengenai buku tersebut antara lain Ketua Komisi III, Benny K. Harman, Pengamat Politik M. Qodari, dan juga rekan politisi FPKS, Agus Purnomo.

Berikut adalah pengantar Fahri Hamzah beserta sekilas resensi buku tersebut :

Buku ini memoderatori perdebatan!
Apakah negara dapat menjadi sandaran bagi kecemasan kita? Ini pertanyaan yang paling pesimis pada orang-orang yang terjebak dalam negara. Apa boleh buat, kita hadir dalam republik bersejarah dan kemudian kita sampai di abad 21, milenium yang akan penuh dengan fiksi tentang hidup yang semakin tidak mudah ditebak.

Seperti itukah masa depan kita?
Dan apakah negara akan masih memiliki tempat di hati ummat manusia? Itulah yang layaknya kita perdebatkan sejak dini. Ini tidak sedang membayangkan sebuah kiamat, atau akhir sejarah fukuyama. Kita hanya perlu membangun imajinasi kita tentang situasi yang semakin pelik agar kita bersiap. Katakanlah semacam tsunami, masa depan adalah gelombang pasang surut tanpa jadwal. Dan carut-marut ini memerlukan jalan keluar. Kita ummat manusia memerlukan konsensus agar tsunami masa depan dapat kita kendalikan.

Buku ini memikul tema yang berat. Bahkan penulisnya pun mungkin tak sanggup memikulnya. Memang ia sepertinya hanya sanggup dipikul oleh sebuah buku. Sebuah tulisan yang menantang untuk dibaca   dan diperbincangkan bersama.

Isi Ringkasan
Gugusan historis pembentukan negara bersumber dari konstruksi filosofis tentang keinginan dan kerelaan individu untuk menyerahkan kedaulatannya diatur dan ditata oleh kekuasaan, dalam satu kesatuan komunitas politik (political society). Di dalamnya, benturan kepentingan individu larut dalam kebersamaan, sehingga tak satu individu ataupun kelompok pun memiliki derajat yang lebih di atas yang lainnya.

Negara yang kuat dan berdaulat adalah cerminan dari peran negara yang mampu mengayomi dan menata kebersamaan. Kontrak sosial antara negara dengan rakyat yang menghubungkan eksistensi keduanya adalah pengikat sekaligus pemberi warning setiap saat tatkala salah satunya merasa lebih berkuasa atas yang lainnya. Karena itulah, sejarah tidak pernah memberi ruang gerak yang abadi bagi absolutisme, otoritarianisme, bahkan totalitarianisme. Semuanya hancur dan luluh lantak digilas zaman.

Negara kuat tidak ditandai dengan besarnya dukungan militeristik, yang pada gilirannya hanya dimanfaatkan untuk mensubordinasi pihak yang dikuasai (the ruled). Kekuatan negara akan nampak saat ia mampu memosisikan diri sebagai pelayan, bukan “pemerintah”. Sebab itu, demokrasi menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang bersumber dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat adalah pemilik absah kekuasaan, karena dari entitas rakyatlah kekuasaan itu hadir dan mewujud.

Relasi negara dengan rakyat adalah relasi yang saling mengisi dan menyeimbangkan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Itulah sebabnya mengapa kita memerlukan konstitusi yang kita ciptakan bersama, agar tatanan kehidupan memiliki pedoman yang memastikan peran dan posisi masing-masing berjalan seimbang dan harmonis. Itu pula sebabnya mengapa dalam demokrasi, peran negara dibatasi dalam cakupan tertentu sejauh itu menyangkut kepentingan publik. Selebihnya, negara harus memberi dan menjamin kebebasan individu dan masyarakat untuk  berkreasi dan menyuarakan aspirasinya demi kemajuan dan kesejahteraan mereka.

Atas alasan itulah kita mengidentifikasi pasar sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Pasar yang tercipta dalam lokus kebersamaan, yang dijamin oleh negara untuk didistribusikan kepada seluruh individu. Kesenjangan tercipta tatkala akses kepada pasar didominasi dan dikuasai oleh negara atau pemilik modal (komunisme dan kapitalisme). Pasar perlu ditempatkan dalam lokus yang mandiri, lepas dari penguasaan pihak-pihak yang sangat berkemungkinan menguasainya, karena pasar adalah milik bersama. Kemandirian tidak berarti ia tidak layak diintervensi, meski tatkala ia semakin jauh melenceng dari fungsi, peran dan tujuannya. Namun intervensi juga tidak berarti bahwa negara dan pemilik modal bebas mengendalikan pasar, meski itu berarti menutup akses bagi individu dan masyarakat biasa untuk turut terlibat di dalamnya.
Kita tidak layak menempatkan pasar dalam ranah ekslusif, dimana hanya pihak-pihak tertentu saja yang memiliki akses terhadapnya. Sebab individu yang ada dalam negara adalah individu yang sama dalam pasar. Tidak ada dikotomi antara pasar dan negara, selain jalinan koordinatif agar semua pihak bisa menikmati hasil sesuai dengan kadar kerja kerasnya. Dikotomi hanya membangkitkan kembali keburaman masa silam, dimana individu saling memangsa satu-sama lain demi memenuhi kepentingan dan kebutuhannya masing-masing. Bukankah karena itu, justru kita melahirkan entitas yang bernama negara?

Oleh karena itu, kita sepatutnya jangan pernah berhenti berharap pada entitas yang bernama “rakyat”. Sebuah entitas yang terjalin, terkoordinasi dan tumbuh dengan baik dan beradab, sehingga layak disebut sebagai masyarakat sipil; masyarakat yang berkeadaban; masyarakat madani; civil society. Karena entitas itulah yang senantiasa mendewasakan kehidupan negara dan pasar.

Tentu saja, masyarakat kerakyatan yang dimaksud adalah masyarakat sipil dalam arena kehidupan yang bebas dominasi dan hegemoni. Karena komunikasi yang berlangsung di dalamnya adalah komunikasi yang sejajar. Komunikasi yang seperti itulah yang diharapkan mewarnai relasi negara dan pasar.

Kekuatan rakyat adalah kekuatan utama dalam tipikal negara yang kuat dan berdaulat. Kekuatan rakyat bukanlah ancaman, melainkan modal utama bagi kekuatan negara. Sebab ancaman yang sesungguhnya tidaklah lahir dari rakyat yang kuat, melainkan dari ancaman yang acapkali merayu dan memperdaya tatkala rakyat lemah dihadapan negara itu sendiri maupun dari pihak luar.

Subordinasi kepentingan rakyat oleh kepentingan negara adalah pelemahan eksistensi negara itu sendiri. Sebab negara lahir atas restu dan dukungan rakyat. Sejarah telah membuktikan, bahwa negara yang kuat tanpa didukung oleh rakyat yang kuat selalu berada dalam ancaman kejatuhan. Rakyat yang kuat dan berdaulat tanpa didukung oleh penyelenggara negara yang berkualitas hanya menyisakan konflik yang pada akhirnya meruntuhkan legitimasi negara. Tidak ada pilihan, negara dan pasar yang kuat yang kuat, adalah harapan bagi rakyat yang berdaulat.

Penutup
Buku ini adalah ajakan untuk mendiskusikan lebih jauh tanpa terlalu berpotensi memberikan solusi final. Ia adalah pembuka gerbang eksplorasi atas tema penting yang jarang diperbincangkan makna, relevansi dan tujuannya. Wallahu a’lam.

Artikel Terkait



Tags: , ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com