Kaos dan Bendera Hanyalah Sisipan



"Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan al-haq, dan dengan al-haq itu (pula) mereka menjalankan keadilan" (Al-A'raaf : 181)

Dalam kunjungan ke sejumlah daerah, sejumlah kader mengajukan keluhan yang sama. Yaitu, masyarakat menuntut atribut : kaos dan bendera. Sementara untuk memenangkan dakwah pada ma'rakah intikhabiyah ini, para kader mengakui justru di situlah letak kelemahan mereka.

Sekilas, ini kelaziman budaya politik Indonesia. Sejak lama masyarakat dididik dengan politik atribut. Pemilu pun disebut "pesta" demokrasi. Tapi, kita tak akan membahas sisi ini. Sikap dakwah kader menghadapi masalah ini yang ingin saya sorot.

Ada dua hal di balik kekhawatiran sebagian kader dakwah. Pertama, muncul persepsi bahwa atribut menjadi tuntutan, bahkan keharusan dalam berpolitik. Atribut dianggap akan menguatkan daya tarik dakwah ditengah masyarakat. Kedua, muncul keyakinan bahwa dengan menerima atribut, afiliasi dan dukungan politik masyarakat akan lebih terjamin. Dua hal ini perlu dikritisi sehingga mafahim dan mauqif dakwah dalam berpolitik tetap terjaga ashalah-nya.

Membangun dukungan (politik) terhadap dakwah hakikatnya adalah bagaimana mengikat jiwa manusia-kesadaran, keyakinan dan harapan mereka-terhadap apa yang kita serukan. Ketika beberapa sahabat Nabi mulai berpikir akan tuntutan aspek material dalam membangun dukungan dakwah, Allah segera meluruskannya. 

"Walaupun kamu membelanjakan semua yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka." (Al-Anfaal : 63). 

Hanya kaum munafik yang hanya mengandalkan hal-hal atributif untuk memperkuat daya tariknya. 

"Dan apabila kamu melihat mereka tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan mereka".(QS : Al-Munafiquun :4 )

Dakwah Islam mengikat hati manusia melalui daya tarik ruhaniyah (jazabiyah ruhaniyah) para kadernya. Meyakinkan mereka tentang kebenaran dan kebaikan Islam melal hujjah balighah. Dan menggerakkan mereka untuk berjuang bersama dengan semata mengharap "ganjaran" terbaik dari Allah. Dengan cara inilah, masyarakat akan memiliki "pandangan jauh kedepan" tentang kehidupannya yang harus diperjuangkan. Mereka mendukung dakwah karena sadar sebagai muslim. Mengerti yang kita tawarkan adalah Al Islam. Dan yakin, sumber harapan yang sebenarnya adalah Allah. Inilah profil pendukung dakwah sejati. 

"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha penyantun kepada hamba-hamba Nya."(QS : Al-Baqarah : 207 )

Memang, realitas masyarakat bisa berbeda. Bani Israil, ketika dipilihkan Thalut sebagai pemimpin baru mereka, reaksinya adalah : "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daipadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak ? " (QS Al Baqarah : 247). Kasarnya, Thalut tidak mampu memberikan apa-apa secara materi. Ketika mereka menerima Thalut, tetap ada kekhawatiran bagaimana menjaga dan memastikan dukungan (politik) tersebut. Sang Nabi pun berupaya menjawab masalah ini. "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu...(QS. Al Baqarah :248). Lagi-lagi politik simbolik dan politik atributif berlaku kuat di masyarakat Bani Israil.

Tapi kita harus memahami realitas itu secara kritis. Bani Israil-sejak masa Nabi Musa dan sepeninggalnya-adalah tipologi pengikut hasil taklukan. Mereka berbondong-bondong kembali kepada agama Allah, setelah Musa mendemonstrasikan mukjizat yang mampu menumbangkan keangkuhan Fir'aun. Sejak itu pula, untuk kurun waktu yang panjang, mereka jadi pelarian politik yang tak sempat ditarbiyah secara baik oleh nabi-nabinya. Jadi mereka adalah para pendukung dakwah tipologi "hasil taklukan politik". Masyarakat muslim di negeri kita, sebenarnya tidak berbeda jauh. Sejarah dakwah Islam diwarnai dengan sejumlah penaklukan politik yang diikuti proses Islamisasi penduduk secara massal. Mereka adalah sosok muslim simbolik, sehingga budaya politiknya pun atributif. Inilah tantangan dakwah yang harus kita jawab.

Saya ingin menegaskan kembali ; kita partai dakwah. Senjata utama dai adalah ucapannya. "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah." (QS. Fushilat : 33 ). Inilah atribut dakwah termurah, bebas biaya. Tapi menghasilkan pengaruh luar biasa dibandingkan kaos dan bendera. Prestasi dakwah ditentukan oleh kemampuan kita berbicara kepada orang lain. "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang tepat. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu". (QS. Al-Ahzab : 70)

Bayangkan, jika semua kader tiap hari berbicara ke masyarakat. Mengajak mereka kepada Islam dan mendukung dakwah ini. Orang yang bisa kita temui tak terbatas. Bahkan, sampai menit terakhir sebelum mereka masuk bilik suara. Kalaupun harus memberinya atribut, kita sudah mengenali sikap dan pandangannya. Saya terkesan dengan penjelasan seorang ikhwan dihadapan para simpatisan : "Kalau anda mendukung PKS, tunjukkan dengan mengubah perilaku sesuai akhlak Islam. Hingga bila ada yang bertanya,kenapa kamu berubah jadi baik sekarang ? Katakan : Ya, karena sekarang saya anggota PKS !." Lalu Ikhwan itu meneruskan : "Nah, kalau sudah begitu, Insya Allah memakai kaos dan bendera akan mendapat pahala."

Ini kiat jitu berkelit dari tuntutan (atribut) dan sarana memelihara dukungan (politik). Jadi kita harus menjaga ingatan bahwa di pemilu sekalipun, kita menyeru manusia kepada Islam. Pertama, dengan menjelaskan Islam yang kita serukan. Kedua, dengan menunjukkan Islam dalam praktik kehidupan. Kaos dan bendera hanyalah sisipan.

Tulisan : Ust. Mahfud Sidiq
Dimuat di Majalah Saksi No 9 Th VI 3 Maret 2004



Artikel Terkait



Tags: ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com