jalanpanjang.web.id - Dalam kesempatan yang lalu, saya telah membahas tentang Self-Leadership sebagai metode meraih taqwa dalam pilar yang pertama, yakni Sense of Direction. Bagi Anda yang belum membaca bagian pertama dapat melihat notes sebelumnya, atau kunjungi www.quranicleadership.com untuk mendapatkan informasi dan artikel lainnya. Dan inilah lanjutannya:
Pilar yang KEDUA adalah الْمَسْؤُولِيَّةُ, yakni adanya tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan kita sendiri. Tanggung jawab itu bukan hanya kepada diri kita sendiri atau kepada orang-orang yang berwenang atas kita, tapi tanggung jawab kita di hadapan Allah SWT. Dan jika saat ini kita belum merasakan besarnya tanggung jawab itu, maka kelak pada saat Yaumul Qiyamah hal itu menjadi sesuatu yang kita khawatiri manakala kita tak pernah mau memikirkannya selagi berada di alam dunia.
الْمَسْؤُولِيَّةُ kemudian kita maknai sebagai Sense of Responsibility dan Sense of Accountability. Responsibility dapat kita artikan sebagai kesiapan atau الْإِلْتِزَامُ (komitmen) untuk bertanggung jawab atas apa-apa yang dibebankan kepada kita. Sedangkan Accountability kita maknai sebagai kesanggupan kita mempertanggungjawabkan apa yang telah kita jadikan sebagai komitmen itu dengan ukuran yang lebih jelas. Maka Accountability merupakan bukti adanya الْإِسْتِقَامَةُ (konsistensi) dalam menjalankan komitmen tadi.
Makna kata الْمَسْؤُولِيَّةُ itu sendiri berkaitan dengan masalah, soal atau pertanyaan. Dalam hal ini komitmen dan konsistensi kita akan dibuktikan dengan kemampuan menjawab sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepada kita.
Kumpulan pertanyaan pertama berkaitan dengan komitmen. Pertanyaan ini akan dijumpai ketika kita memasuki alam barzakh (kubur) untuk pertama kali. Yakni saat para pengantar jenazah kita mulai berangsur meninggalkan pemakaman sementara kita telah terbaring di dalamnya. Maka datanglah dua malaikat yang bertugas menanyai tentang beberapa hal yang paling utama dalam hidup kita. Pertanyaan itu meliputi:
1) مَنْ رَبُّكَ (Siapa Tuhanmu?)
2) مَا دِينُكَ (Apa agamamu?)
3) مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ (Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki ini yang diutus di tengah-tengah kalian?)
Maka manusia yang selama hidupnya menguasai dan mengamalkan tiga ilmu (ma’rifatullah: mengenal Allah, ma’rifatuddinul Islam: mengenal agama Islam, ma’rifaturrasul: mengenal Rasul SAW) akan bisa menjawabnya dengan benar. Tentunya kita pahami bahwa menguasai ilmu ini tidak sebatas teorinya saja, melainkan benar-benar meresapinya dalam hati dan membuktikannya dalam realitas kehidupan.
Konsekuensi ma’rifatullah adalah menunaikan hak Allah untuk kita ibadahi, bahwa seluruh hidup kita adalah rangkaian ibadah kepada-Nya. Jika ada sekelumit atau bahkan setumpuk waktu yang kita lalui tanpa ada nilai ibadah, maka itu artinya kita tidak bertanggung jawab atas waktu/usia yang diamanahkan kepada kita.
Konsekuensi ma’rifatuddinul Islam adalah menjadikan diri kita muslim seutuhnya. Kita tidak mengambil dari ajaran Islam apa-apa yang menyenangkan di satu sisi tapi kita mengabaikan ajaran Islam yang tidak sesuai selera (hawa nafsu) kita di sisi lain. Namun kita mengambil ajaran Islam itu keseluruhannya, dengan menjalankan apa yang diperintahkan semaksimal kemampuan kita dan meninggalkan apa yang dilarang tanpa berpikir panjang. Kita jadikan Islam sebagai jalan hidup, pola pikir, cara merasa, cara bersikap dan pola tingkah laku kita dalam kehidupan. Artinya kita berusaha melekatkan Islam dalam kehidupan kita. Jika ibadah kita bersumber dari ajaran Islam, tapi cara bermasyarakat kita tidak sesuai dengannya, maka khawatirlah kita tak dapat menjawab pertanyaan dua malaikat kubur itu.
Konsekuensi ma’rifaturrasul adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan nomor satu dalam kehidupan kita. Teladan itu tidak hanya dalam masalah seputar ritual ibadah atau aktivitas agama dalam makna sempit. Sebab, Rasulullah SAW bukan pemimpin agama, tapi beliau adalah pemimpin umat manusia. Maka siapa saja di antara kita yang tidak berusaha menjadikan beliau sebagai teladan hidup kita, bersiaplah kita tak bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur tentangnya, sekalipun kita banyak menyebut nama beliau dan bershalawat bahkan bersenandung dengan namanya.
Jika seseorang mengusai ketiga ilmu itu dan menjalankan konsekuensinya, maka dia akan mampu menjawab pertanyaan di alam kubur dengan benar. Kemudian kedua malaikat yang kita kenal dengan sebutan Munkar dan Nakir itu bertanya lagi “Darimana kamu tahu?”. Dia pun menjawab, "Aku membaca Kitabullah (Al-Qur’an), mengimani serta membenarkannya.” Lantas ada Penyeru di langit memanggil-manggil, "Hamba-Ku benar, hamparkanlah surga baginya dan berilah pakaian surga, bukakanlah pintu baginya menuju surga”. Kata Nabi, si Mayit akan memperoleh wangi surga dan kuburannya diperluas sejauh mata memandang. Lantas dia didatangi oleh laki-laki berwajah tampan, pakaiannya indah, wanginya semerbak, dan berkata, "Bergembiralah dengan kabar yang menggembirakanmu. Ini adalah hari yang dijanjikan untukmu.” Si mayit bertanya, “Siapa Anda ini, wajah Anda adalah wajah yang mendatangkan kebaikan!” Si laki-laki tampan menjawab “Saya ini adalah amal shalih Anda”. Lantas si Mayit berdoa: "Ya Rabbku, jadikanlah kiamat sekarang juga sehingga aku bisa kembali menemui keluarga dan hartaku”. (HR. Ahmad)
Adapun jika seorang manusia tidak menguasai ketiga ilmu tersebut dan tidak menjalankan konsekuensinya, maka dia tidak akan bisa menjawab pertanyaan malaikat di alam kubur. Dia akan mengalami perlakuan yang sama sekali berbeda. Lantas ada Penyeru langit memanggil-manggil “Dia betul-betul telah dusta! Hamparkanlah baginya neraka!”. Maka malaikat membuka pintu neraka baginya dan mendatanginya dengan segala panas dan letupannya. Dan kuburannya menjepitnya hingga tulang-tulangnya remuk. Kemudian dia didatangi oleh laki-laki yang berwajah menyeramkan, berpakaian lusuh, baunya busuk, dan dia berkata, “Bergembiralah dengan segala hal yang menyusahkanmu. Ini adalah hari yang dijanjikan bagimu.” Si Mayit bertanya, “Siapa Anda dengan wajah menyeramkan yang membawa keburukan ini?” Si buruk rupa menjawab: "Aku adalah amal burukmu”. Maka si Mayit pun berdoa "Ya Rabb, janganlah kau jadikan kiamat sekarang!”. (HR. Ahmad)
Demikianlah yang terkait dengan komitmen seseorang yang akan ditanyakan pertama kali di dalam kuburnya. Kita perlu mempersiapkan diri dengan menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang memiliki komitmen ideologis. Komitmen ini tidak lain untuk kepentingan kita sendiri, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang mengikrarkan radhiitu billaahi rabba, wabil Islami diina, wabi Muhammadin rasuula (Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Rasul), dia akan masuk surga.”
Kumpulan pertanyaan kedua berkaitan dengan konsistensi yang membuktikan komitmen kita itu. Pertanyaan itu akan kita dapati pada saat kita berdiri di Padang Mahsyar bersama manusia lainnya yang dibangkitkan dari kubur dalam beraneka rupa. Sudah barang tentu orang yang sebelumnya berhasil menjawab pertanyaan malaikat kubur akan merasa tenang dengan izin Allah menghadapi hari itu. Dan tentu saja yang tidak dapat menjawabnya akan merasakan suasana yang lebih mencekam dibandingkan suasana yang dia dapati di kubur, yang itupun tak pernah dibayangkannya.
Ada 4 persoalan yang menjadi LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) kita kepada Allah tentang kehidupan yang telah kita jalani, sebagaimana kita dapati dalam hadits berikut:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada Hari Kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya, dalam hal apa ia habiskan. Tentang ilmunya, dalam hal apa ia amalkan. Tentang hartanya, dari mana diperoleh dan dalam hal apa dibelanjakan. Juga tentang fisiknya, dalam hal apa ia binasakan.” (HR. Tirmidzi)
1. UMUR: dihabiskan untuk apa?
Kita tidak akan ditanya tentang jumlah umur atau usia kita selama hidup ini, melainkan ditanya tentang pemanfaatan kita terhadap usia yang diberikan itu. Ada seseorang yang hidup selama puluhan tahun tapi tidak mendapatkan banyak kebaikan karena seringkali mengisi waktunya dengan hal yang sia-sia. Sementara ada pula yang hidupnya mungkin relatif singkat tapi dia meraih banyak kebaikan bahkan warisannya menjadi sesuatu yang menyejarah, bermanfaat bagi banyak orang setelahnya. Itulah perbedaan antara orang yang umurnya berkah dan yang tidak.
2. ILMU: diamalkan untuk apa?
Ilmu yang begitu banyak hanya akan menjadi beban yang memberatkan pemiliknya jika dia tidak berusaha mengamalkan ilmunya itu untuk kebaikan. Orang yang tahu tapi tak mau melaksanakan apa yang dia ketahui adalah orang yang dimurkai. Sedangkan orang yang mau melaksanakan suatu amal tapi tidak mencari tahu tentang ilmunya adalah orang yang tersesat. Maka ilmu adalah sesuatu yang begitu penting untuk dimiliki, tapi yang lebih penting lagi adalah mengamalkan ilmu yang sudah dimiliki. Dalam hal ini Imam Ghazali berkata: “Semua manusia akan binasa kecuali yang berilmu. Semua orang yang berilmu akan binasa kecuali yang mengamalkan ilmunya. Dan semua orang yang beramal akan binasa kecuali yang ikhlas.”
3. HARTA: dari mana datangnya, ke mana perginya?
Dalam hal ini, kita tidak ditanya tentang besar dan banyaknya harta yang dimiliki, namun tentang asal-usul harta yang kita miliki. Apakah ada di antara perbendaharaan harta kita hak orang lain yang masih tercampur di dalamnya? Dengan cara-cara bagaimana hingga kita mendapatkan harta dalam jumlah tertentu? Halalkah, haramkah, atau tidak jelas statusnya? Dari gaji, keuntungan bisnis, bonus dari atasan, hadiah dari kerabat, ataukah dari hasil korupsi, penipuan, judi, atau bisnis haram lainnya. Kemudian, harta yang halal sekalipun akan tetap ditanyakan untuk urusan apa harta itu dikeluarkan. Jika hari ini kita memiliki uang yang halal sejumlah lima ratus ribu misalnya, lalu kita habiskan uang itu dalam sehari, maka bersiaplah untuk ditanyai tentang daftar pemanfaatan uang itu. Dan perhatikanlah semua harta yang kita miliki setiap harinya. Jika kita tak bisa menjawab interogasi seputar harta yang kita belanjakan, maka Allah memiliki jawabannya dalam lembar catatan amal kita. Sekecil apapun keluar masuknya harta dari perbendaharaan kita, maka semua itu tercatat dengan rapi dan detail.
4. JASMANI: menjadi binasa karena apa?
Ada orang-orang yang tubuhnya menjadi lelah, bersakit-sakit, rusak dan binasa karena berjuang di jalan Allah SWT. Ada yang menjadi demikian karena bekerja dalam rangka memenuhi penghidupan dirinya dan keluarganya, yang mana hal itu dia niatkan sebagai ibadah. Ada yang menjadi lelah dan bersakit-sakit seiring masa tua yang mendatanginya. Ada yang tubuhnya menjadi ringkih dan mengidap penyakit karena aneka makanan yang dikonsumsi selama hidupnya. Ada yang begitu karena obat-obatan, narkoba, minuman keras, bunuh diri, perkelahian, saling membunuh, dan sebagainya. Yang jelas, tubuh kita semua pasti akan binasa. Namun dalam keadaan bagaimanakah tubuh kita akan binasa? Semua itu tergantung pada cara kita memelihara dan memanfaatkannya.
Pertanggungjawaban yang pertama (responsibility) berkaitan dengan perkara yang prinsip (ideologis). Karenanya kita mengkhususkannya sebagai Self Leadership atau kepemimpinan pribadi yang mewujud sebagai visi hidup, mentalitas dan karakter.
Sedangkan pertanggungjawaban kedua (accountability) yang terdiri dari empat pertanyaan di atas berkaitan dengan hal yang bersifat teknis atau aplikatif. Kita mengelompokkannya sebagai Self Management yang terdiri dari manajemen waktu (usia), manajemen ilmu dan kompetensi, manajemen harta, dan manajemen jasmani.
Sampai di sini kita telah mempelajari bahwa taqwa itu ternyata bisa kita aplikasikan dengan memiliki tiga hal dalam hidup ini: Sense of Direction, Sense of Responsibility, dan Sense of Accountability. Ketiga hal ini akan kita dapatkan dalam proses pembelajaran yang intensif meliputi transfer of knowledge (teaching), transfer of skill (training) dan transfer of experience (coaching). Ketika kita menjalani proses intensif tersebut, mempercayakan diri kita kepada seorang guru (life mentor-coach) yang ikhlas dan profesional, insya Allah kita berhasil meraih predikat taqwa secara lebih terarah, terencana dan berkelanjutan. Taqwa dalam arti yang sebenar-benarnya akan lebih mudah kita raih daripada kita mengandalkan diri sendiri dalam proses pembelajaran hidup ini. Dan akhirnya, wasiat yang disampaikan para khathib Jum’at pun bisa kita amalkan, “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam berserah diri kepada-Nya."
[Bersambung]
Ust. Priyo Sudiyatmoko