Makna Tadarruj



jalanpanjang.web.id - Pada suatu hari, saat mengajar kelas di sebuah kelas, sampailah pelajaran Fiqih Da’wah pada istilah tadarruj.

Saya tanyakan kepada mereka: “Apa makna tadarruj?”.

Jawaban mereka berbeda, namun substansinya sama. Istilahnya ikhtilaful ‘ibarat likhtilafil I’tibarat (perbedaan bahasa ungkapan karena perbedaan sudut pandang). Istilah lainnya adalah ikhtilaf tanawwu’ la ikhtilaf tadhad (keragaman, bukan kontradiktif).

Sebagian mahasiswa mengatakan bahwa tadarruj bermakna: bertahap. Sebagian yang lain mengatakan: sedikit demi sedikit. Yang lainnya lagi mengatakan: gradual. Dan ada juga yang mengatakan: langkah demi langkah.

Lalu saya tanyakan kepada mereka: “manakah dari makna-makna tadi yang lebih memberi gambaran secara operasional?”

Masing-masing pemberi jawaban mencoba menggambarkan jawabannya secara operasional.

“Bertahap” maksudnya adalah kalau kita hendak menyelesaikan suatu perjalanan panjang, maka kita akan membagi perjalanan panjang tersebut dalam beberapa tahapan, dan untuk mencapai tujuan akhir dari perjalanan, kita harus melewati semua tahapan yang ada. Pada setiap tahapan tersebut mungkin kita rehat, makan, shalat dan sebagainya, istilahnya adalah tazawwud (menambah perbekalan) agar mampu melanjutkan perjalanan pada tahapan berikutnya. Kendaraan kita pun perlu mendapatkan perlakukan yang sama.
“bagus” kata saya.

“Sedikit demi sedikit” ibaratnya seperti makan sepiring nasi. Tentunya tidak kita telan sekaligus, tetapi, kita makan sesuap demi sesuap, kita kunyah dengan baik suapan itu, baru kita menelannya. Ambil lagi suapan ke dua, ketiga, keempat dan seterusnya. Begini penjelasan dari yang lainnya.

“boleh juga” kata saya. “suka makan ya?” komentar saya berikutnya. Yang dikomentari senyum-senyum saja.
“gradual” itu istilah Inggris, maksudnya adalah menyelesaikan sesuatu grad demi grad, langkah demi langkah, tahap demi tahap, selanjutnya permisalannya sama dengan penjelasan saudara sebelumnya.

“oke” kata saya.

“Tahukah kalian bahwa kata ‘tadarruj’ ada kaitan erat dengan kata ‘darajah’ (دَرَجَة) yang secara bahasa berarti ‘satu tingkatan anak tangga’”. Saya mencoba mengajak mereka untuk menyelami makna tadarruj.

“Jadi, kata tadarruj paling tidak menggambarkan dua hal sekaligus, yaitu:

1.    Gambaran dari ‘tahapan’ atau ‘sedikit demi sedikit’ atau ‘gradual’ atau ‘langkah demi langkah’ di satu sisi, dan

2.    Suasana jalan yang menanjak dari bawah ke atas sebagaimana tanjakan sebuah tangga yang terdiri dari beberapa anak tangga”.

“Perlu juga kita ketahui, ada bermacam-macam tangga yang pernah kita temui; ada tangga sebuah bangunan yang antara anak tangga satu ke anak tangga dua menggunakan ukuran standard, yaitu 15 cm, sehingga siapap pun yang menaiki tangga standard ini akan merasakan kenyamanan. Namun ada juga yang tidak standard, mungkin bisa 25 sampai 30 centimeter, sehingga untuk menaikinya kita perlu mengangkat kaki tinggi-tinggi, sehingga membuat kita cepat lelah dan kecapekan”.

“Ada juga yang dalam membuat lebar anak tangganya standard, sehingga satu anak tangga cukup dengan satu ayunan langkah kaki, namun ada juga yang dalam membuat lebar anak tangga tidak standard, sehingga untuk menyelesaikan satu anak tangga diperlukan dua langkah”. Demikian penjelasan saya lebih jauh.

Kerja-kerja dakwah itu mirip dengan manaiki tangga, sehingga sangat tepat kalau ada istilah tadarruj ini.
Namun, paling tidak ada dua hal yang perlu dijelaskan di sini, yaitu:

1.    Tadarruj dalam da’wah bukanlah tadarruj yang bersifat fisik. Ia adalah seseuatu yang bersifat ma’nawi atau non fisik. Oleh karena itu, ia tidak bersifat kasat mata yang semua orang dengan mudah dapat mengukur dan menilainya. Untuk membuat dan mengukurnya diperlukan sudut pandang (nazhrah) yang akurat dari orang-orang yang berpengalaman (khabir). Dan kalau hal ini dilakukan melalui ijtihad jama’i akan semakin baik.

2.    Bisa dipastikan bahwa bahasa ‘target’ pada setiap darajah pastilah berbeda. Sekedar contoh; kalau tadarruj yang kita maksud terdiri dari lima darajah, dan pada darajah kelima – misalnya – adalah: ‘tercapainya pembentukan 5 kelas untuk setiap tingkatan pendidikan SLTA’, bisa dipastikan bahwa pada darajah (anak tangga 1) tentulah ‘target’-nya tidaklah demikian. Dan sudah tentu juga bahasa khithab (wacana) pada darajah 1 pastilah tidak sama dengan darajah 2, 3, 4 dan 5.

Dua hal ini perlu kita pahami dengan baik, sebab, sangat mungkin terjadi perbedaan pada keduanya;

1.    Sangat mungkin berbeda dalam memandang (nazhrah) darajah-darajah ini. Istilahnya, terdapat wijhat nazhar (lebih dari satu sudut pandang) dalam masalah ini dari sisi:
a.    Apa target-target yang harus dibunyikan dalam setiap darajah?
b.    Berapa lama kita harus berada pada setiap darajah?
c.    Bolehkah terjadi ‘lompatan’ dalam darajah-darajah ini, dalam arti, mungkin atau tidak dua darajah kita lampaui sekaligus?
 d.    Dan sisi-sisi lainnya.
Jika hal ini terjadi, untuk menyelesaikannya, bisa dengan cara: فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيْرًا (tanyakan kepada ahlinya), atau keputusan dari sebuah syura yang mempergunakan pendekatan ijtihad jama’i atau gabungan dari keduanya sekaligus.

2.    Sering sekali, terutama dari almutahammisin (yang terlalu bersemangat) menuntut agar para aktifis dakwah mendendangkan kalimat yang sudah ditetapkan sebagai target jauh, padahal posisi da’wah baru berada di darajah1, padahal mestinya aktifis da’wah menggunakan prinsip: ‘think globally act locally’, dalam arti, dalam berfikir bolehlah berfikir besar dan global, namun, saat melakukan aksi, hendaklah seorang aktifis bersikap realistis (waqi’i) dan lokal di mana para aktifis berada, agar ‘tidak mimpi di siang bolong’.

Wallahu a’lam

Ust. Musyafa Ahmad Rahim

Artikel Terkait



Tags: ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com