Jalan Panjang - Objektifikasi kepemimpinan Nabi Sulaiman (Solomon) selain dapat dilihat dari aspek personalnya juga dapat dilihat dari setting peradaban. Setting/latar peradaban merupakan cakupan realitas yang lebih luas dari realitas personal dan organisasional. Realitas personal dan organisasional dalam konteks Nabi Sulaiman terlihat dari analisis teks yang dipaparkan pada bab-bab terdahulu. Dalam konteks yang lebih kontemporer, model kepemimpinan profetik Nabi Sulaiman akan tampak aktual bila dikontekskan pada kerangka yang lebih luas dalam latar peradaban global.
Dalam konteks yang lebih luas, model Nabi Sulaiman dapat dikategorikan sebagai arche-type untuk model kepemimpinan politik peradaban. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab Ketujuh, politik peradaban adalah model interaksi politik dalam kancah global. Secara global satu negara dengan negara lain berinteraksi dan saling mempengaruhi baik dalam bidang ekonomi, teknologi, pertahanan, dan politik. Satu bidang dan bidang-bidang lainnya mengalami pengembangan dan bahkan mengalami globalisasi. Hal ini berlangsung secara terus-menerus dan saling terhubungkan (interkoneksitas). Dalam realitas yang demikian tentu memunculkan model kepemimpinan politik yang satu sama lain berkehendak untuk mengendalikan laju peradaban.
Bukan Benturan Peradaban
Model kepemimpinan politik peradaban Nabi Sulaiman bertumpu pada tiga hal: pengetahuan, nilai/spiritualitas, dan optimalisasi sumber daya strategis. Poros pengetahuan ini tampak pada seluruh level kepemimpinan. Masing-masing bekerja berdasarkan pengetahuan dan kompetensinya. Tumpuan spiritualitas dapat diukur dari prinsip-prinsip spiritualitas yang tertanam dalam suara hati semua manusia. Kasih sayang, perdamaian, keteraturan, kreativitas, kedisiplinan, keadilan, harga diri, dan keagungan adalah di antara suara hati yang merupakan ajaran dari nilai/prinsip spiritualitas. Sedangkan tumpuan sumber daya strategis di antaranya mencakup informasi, teknologi, SDM berbakat, dan aset alam. Pengetahuan, nilai-nilai, dan optimalisasi sumber daya strategis ini adalah fondasi dasar dari politik peradaban Nabi Sulaiman.
Adapun ekspresi kepemimpinan politik peradaban Sulaiman dapat dilihat dari ciri-cirinya, di antaranya: memiliki jejaring global, menebar pengaruh di segala segi, dan bertujuan menciptakan perdamaian dunia, mengangkat martabat manusia dan semesta, menegakkan keadilan, dan membangun kesejahteraan bersama.
Kepemimpinan politik global dewasa ini sangat membutuhkan model kepemimpinan politik peradaban. Sebab, politik peradaban bukanlah didasarkan pada politik benturan antar-peradaban (the clash of civilization), melainkan lebih pada mengangkat harkat dan peradaban manusia seutuhnya. Sesama warga yang menghuni planet bumi yang sama, manusia pada dasarnya adalah bersaudara dan menghendaki nilai-nilai yang bermakna serta kebermanfaatan yang berkelanjutan. Krisis dunia yang diakibatkan oleh keserakahan hanya akan mengantarkan kehidupan manusia pada kehancuran peradaban. Keserakahan teritorial dan sumber daya alam secara serampangan hanya akan menghasilkan penjajahan. Muncullah imperialisme sebagai konsekuensi dari keserakahan politik.
Demikian pula di bidang ekonomi global. Sistem ekonomi kapitalis bila disandarkan pada nilai margin keuntungan semata (the pursuit of profit for its own sake) tanpa memperhatikan prinsip-prinsip spiritualitas semacam keadilan hanya akan melahirkan kesenjangan sosial antara negara-negara kaya, berkembang, dan miskin. Kesenjangan antara bangsa-bangsa kaya dan bangsa-bangsa miskin mendorong orang miskin untuk bermigrasi ke wilayah-wilayah yang lebih kaya, yang membengkakkan populasi imigran gelap dan kerusuhan sosial-politik yang menyertainya. Kesenjangan itu menciptakan kelas-bawah global dan beragam kelas-bawah domestik. Kesenjangan ekstrem itu semakin memperkuat pandangan bahwa “globalisasi” semata-mata berarti kolonisasi oleh dunia kapitalis yang kaya raya atas kaum miskin. Justru teorisme muncul diakibatkan ketidakadilan yang asal mulanya dari ketidakadilan ekonomi. Sebab kesenjangan ini menyulut kebencian pada diri para teroris yang cemburu kepada orang-orang kaya di negara-negara maju (Zohar, 2006, hlm. 38).
Dalam situasi krisis multidimensi tersebut, umat manusia dihadapkan pada ancaman kerapuhan global. Oleh karena itu, dibutuhkan model kepemimpinan global baru yang tampil menjadi soko guru peradaban (ustadziyatul ’alam) yang memperjuangkan mewujudnya nilai-nilai universal yang dibutuhkan bersama dan membawa manfaat yang berkelanjutan. Model kepemimpinan politik peradaban Nabi Sulaiman dapat menjadi alternatif untuk membangun dunia dengan prophetic leadership. Sebab model ini menunjukkan sistem kepemimpinan yang memiliki kendali luas, bertumpu pada kompetensi yang kuat, dan berbasis pada moralitas dan makna yang universal (Imam, 2008).
Politik Integralisme Internasional
Tampaknya semakin jelas bahwa secara teoritis, politik peradaban yang digunakan Nabi Sulaiman adalah politik integralisme internasional. Baginya, integrasi kedaulatan adalah harga mati bagi negara yang tidak mau berdamai dan menyerahkan diri, walaupun untuk mengintegrasikannya dibutuhkan seni tersendiri.
Secara normal integrasi negara-negara hanya dapat dilakukan oleh negara-negara berdaulat dengan satu misi kuat yang sama. Seperti Uni Eropa, mereka berintegrasi selain karena kesamaan budaya dan warisan sejarah Romawi, juga yang paling pokok adalah menyelamatkan ekonomi mereka. Mereka membangun ekonomi kawasan dengan sistem mata uang baru, Euro, untuk menghindari hegemoni Dollar Amerika Serikat yang kian kolaps.
Tapi jika masing-masing tidak berdaulat penuh, maka mereka bergerak semata memberikan solidaritas dan kepedulian. Setelah itu paling kuat hanya membangun asosiasi internasional, seperti antar-negara Asia Afrika yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok. Karena pada awalnya situasi dalam negeri mereka masing-masing terjajah, maka satu sama lain hanya memberikan solidaritas dukungan agar merdeka serentak. Namun karena tidak punya misi integrasi yang kuat maka cukuplah terbangun asosiasi internasional yang akhir-akhir ini tampak semata seremonial. Contoh lain yang nyata adalah negara-negara berpenduduk Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Secara ideologi sudah jelas Islam. Tapi secara ekonomi dan politik tidak compatible dengan misinya membangun kemajuan negara-negara Islam. Palestina sebagai kiblat pertama umat Muslim tetap terjajah dan tidak ada perhatian dari negara tetangganya yang merupakan bagian penting dari sejarah dunia Islam, yakni negara-negara Arab.
Menarik mencermati pola integrasi internasional yang dilakukan Nabi Sulaiman. Setidaknya ada tiga syarat pokok yang tidak boleh hilang dalam upaya integrasi internasional ini. Pertama, adanya “Negara maskulin” yang menjadi pengikat integrasi tersebut. Yang kedua, dilandaskan pada misi yang kuat yakni persatuan. Syarat ketiga adalah seni integrasi.
Perlu dijelaskan lebih tegas bahwa negara maskulin ini adalah negara yang secara keseluruhannya bukan berarti lelaki dan dipimpin oleh lelaki; bukan merujuk pada kelamin, melainkan pada kesempurnaan kekuatan negara. Ia bertopang pada tradisi pengetahuan yang kuat, memiliki sistem manajemen negara yang baik, dipimpin oleh pemimpin yang high performance, ditopang oleh para pelaksana negara yang berbakat, memiliki sumber daya alam dan material yang strategis, berdaulat secara penuh, serta terbangun kepemimpinan yang humanis. Bila terdapat negara maskulin seperti ini maka syarat integrasi menjadi mungkin, sebab negara maskulin tersebut memuat berbagai daya tarik yang memungkinkan terbangunnya spirit integrasi.
Berbeda dengan negara feminin. Reaksinya mengandalkan opsi fisik, realisme, militeristik, tidak akurat secara informasi, tidak terbangun tradisi pengetahuan yang kuat, terjebak formalitas tampilan luar, inginnya instan, serta tidak humanis. Negara seperti ini adalah negara yang lemah. Ia hanya akan terselamatkan dan terlindungi jika menerima dan memasrahkan diri pada kebenaran.
Walau kedua negara sama-sama memiliki kekuatan militer yang handal, negara yang gagah, kekayaan yang melimpah, serta dipimpin oleh orang yang cerdas dan kreatif, namun tetap saja keduanya tidak bisa berintegrasi jika tidak dilandaskan pada misi persatuan yang kuat. Misi persatuan ini adalah inti dari integrasi, yakni persatuan sistem ideologi, sistem politik, sistem ekonomi, dan lain-lain.
Menariknya, model Nabi Sulaiman bertumpu pada misi persatuan aqidah, yakni tauhid. Tauhid inilah yang kemudian memberikan perlindungan (proteksionisme) politik bagi negara-negara yang berintegrasi. Sebab, tauhid dalam bahasa lain berarti integralism (penyatuan).
Namun apapun misinya, integrasi hanya bisa dilakukan bila menggunakan seninya. Seni integrasi sangat sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing bangsa. Mereka bisa berintegrasi karena alasan melindungi diri dari ancaman global, atau meredakan konflik akibat sengketa perbatasan, atau memang tengah membangun kekuatan poros peradaban baru, dan lain-lain.
Karena itulah, ideologi politik global perlu diganti dari hegemoni politik kapitalis dan sosialis oleh ideologi politik integralisme. Politik integralisme ini adalah desain politik yang menundukkan kekuatan-kekuatan global dalam naungan tauhid. Ini bukan jalan ketiga (third way), melainkan the first way. Teori politik integralisme versi the first way ini perlu dikaji secara mendalam dan dikembangkan lebih luas, agar tidak ada lagi hegemoni teori realis yang sekarang mendominasi kajian-kajian hubungan internasional
Rijalul Imam
Penulis Buku Quantum Leadership of King Sulaiman
(Diambil dari hal. 84-87)
Editor: Yusuf Maulana