Mario Teguh Super Note - THE MAN WHO CAN TALK TO FIRE - and his friend, Jurgen.

Saat saya kuliah di Indiana University untuk mendapatkan MBA dalam business management, saya pergi ke sebuah tempat camping dan peristirahatan di White Water, di negara bagian Wisconsin, bersama belasan rekan sesama mahasiswa yang berasal dari berbagai bidang studi.

Ada seorang rekan mahasiswa S3 dari Jerman yang belajar Quantum Physics. Dia seorang ilmuwan yang super cerdas dan setia kepada logika yang akurat.

Suatu ketika dia melihat saya sembahyang Maghrib. Dia menunggu saya selesai, dan langsung mengatakan: Mario, I never knew that you were primitive. Saya tidak pernah menduga bahwa kamu masih primitif.

Mengapa?, tanya saya.

Dan dia menjelaskan bahwa orang-orang primitif di jaman dulu juga berdoa seperti saya.

Apakah dengan primitif, berarti saya salah?, terus saya.

Dia kemudian menjelaskan dengan logikanya, bahwa perilaku berdoa kepada sesuatu yang tidak ada untuk mengharapkan keajaiban, adalah perilaku orang-orang primitif, yang tidak mampu berpikir dengan logika yang jernih, dan yang tidak berilmu.

Lalu, dengan sikap yang menghormati kekuatan logikanya, saya bertanya: Apa yang membuatmu demikian yakin bahwa Tuhan tidak ada?

Dia menjawab dengan cool; Tuhan tidak ada, karena Tuhan tidak bisa dideteksi dan diukur. Jika kita bisa mendeteksi dan mengukur keberadaan fisik Tuhan, maka kita bukan hanya yakin – tetapi bahkan TAHU bahwa Tuhan ada.

Emmm … saya membiarkan beberapa jenak berlalu dengan santun, sebelum saya membuka langkah pengujian saya terhadap logika rekan saya ini;

Jurgen, demikian namanya, jadi kamu akan menerima keberadaan sesuatu yang bisa dideteksi dan diukur, dan jika tidak - maka kamu menolak keberadaannya, bukankah begitu?

Of course!, dengan gaya bijak yang mungkin ditirunya dari salah satu profesornya.

Lalu saya teruskan, apakah ada hal-hal yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya, karena belum ada alat deteksi dan alat ukur-nya?

Dia menjawab cepat; Oh pasti!, tentu saja banyak materi di alam ini yang belum kita ketahui, karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi dan mengukurnya, Mario. And that’s a simple logic!, dia melihat saya dengan wajah seorang guru yang kasihan kepada muridnya yang lambat mengerti.

Oooh … (saya memulai penerbangan ke Nagasaki dengan sebuah bom atom di perut pesawat pembom saya) …

Jadi sebagai seorang ilmuwan, Jurgen tidak akan dengan semena-mena mengatakan sesuatu itu tidak ada, jika ia tidak bisa dideteksi dan diukur karena alat untuk itu belum ada?

Ya pasti dong?! Itu khan bertentangan dengan logika dan obyektifitas saya sebagai seorang pemikir yang logis.

Lalu, dengan suara selembut mungkin dari wajah yang sepengasih mungkin, saya bertanya;

Jurgen, apakah alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan sudah ada?

Dia bilang dengan santai; … belum …

Saya teruskan; … lalu, jika alatnya belum ada, jika alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan itu belum ada, mengapakah Jurgen bisa dengan pasti mengatakan bahwa Tuhan tidak ada?

Dia terdiam sejenak, lalu dia berbicara dengan kelurusan dan ketegasan seorang ilmuwan;

Kamu betul, Mar. Tidak obyektif bagi saya untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan.

Jadi apa sikap terbaikmu mengenai hal ini, Jurgen?

Sikap terbaik saya adalah menunda keputusan apakah Tuhan itu ada atau tidak.

Apakah sikap itu sebanding dengan ragu-ragu, karena belum pasti?, tanya saya hati-hati.

Dia bilang, dengan sangat fair: Ya.

Lalu saya sampaikan dengan keramahan yang harus dihadiahkan oleh seorang beriman kepada saudaranya yang sedang menemukan keimanan;

Jurgen, selamat datang. Bagi seseorang yang tadinya menolak keberadaan Tuhan, ‘meragukan keberadaan Tuhan’ adalah langkah awal untuk meyakini keberadaan-Nya.

Dari sanalah, kamu akan menemukan logika keimanan yang jauh lebih utuh dalam ke-abstrakan-nya, akurat dalam keluwesannya, dan tegas dalam kenyataan hukumnya.

Dia hanya mengangguk.

Lalu kami bergabung dengan belasan rekan mahasiswa dari kampus saya di Indiana University – Bloomington, yang juga berasal dari berbagai negara dan keimanan.

Kami makan malam dengan kemeriahan dan kegaduhan para lelaki muda yang positif dan berpandangan besar dan kuat mengenai masa depan.

Malam itu saya ditugasi untuk menyalakan api unggun, dan menjaga agar nyalanya tetap besar dan menghangatkan kami di malam musim dingin itu.

Di setiap kesempatan camping, saya selalu menjadi petugas api unggun, karena menurut mereka saya bisa berbicara kepada api. The man who can talk to fire. :)

Saat suasana lengang karena kami semua sudah berbaring untuk beristirahat di dini hari itu, saya mendengar suara seseorang yang seperti sedang terserang masuk angin yang akut.

Itu Jurgen. Dia masuk angin.

Saat bangun pagi, saya hampiri dia dan saya tanyakan kabarnya di pagi bersalju yang bersih dan indah itu, dan dia berkata;

I was really sick last night, Mario. Not because of anything, but because I was trying to accept your reasoning on God as objectively as I could. Rearranging what you have been believing as true for years, is not easy. But I did it. Thank you.

And you were and are right, that I should hold my judgment about God’s existence. I cannot rule that he is non existent, as long as I cannot disprove his existence.

Saya sangat sakit tadi malam, Mario. Bukan karena apa-apa. Tetapi karena saya berusaha menerima alasanmu mengenai Tuhan dengan se-obyektif mungkin. Menata ulang apa yang telah kau yakini sebagai yang benar selama bertahun-tahun, bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi saya telah melakukannya. Terima kasih.

Dan kamu benar, bahwa saya harus menahan untuk tidak membuat kesimpulan apa pun mengenai keberadaan Tuhan. Saya tidak dapat memutuskan bahwa Tuhan itu tidak ada, selama saya tidak bisa membatalkan keberadaannya.

Saya menyalaminya dengan hati yang sepengasih mungkin.

Jurgen, welcome to faith. Selamat datang di keimanan.

………..

Dan tiga puluh tahun kemudian, di Minggu pagi di Jakarta, saya menuliskan Super Note ini karena tadi pagi saya membaca sebuah comment di MTFB yang mengindikasikan keraguan seorang sahabat mengenai peran Tuhan bagi kebaikan hati dan hidupnya.

Saya menunda hal lain yang tadinya ingin saya kerjakan di Minggu pagi yang indah ini, dan mendahulukan waktu untuk menuliskan cerita ini, dengan harapan bahwa Tuhan mempertemukan pengertian di dalamnya, dengan sahabat-sahabat saya yang sedang membutuhkan penguatan mengenai kedekatannya dengan Tuhan.

Mudah-mudahan Tuhan menjadikan hati kita semua, seutuhnya ikhlas menerima kemutlakan kasih sayang dan kekuasaan-Nya bagi kebaikan hidup kita, dan menurunkan jawaban bagi doa dan harapan yang telah lama kita naikkan ke langit bagi perhatian baik Tuhan.

Marilah kita menggunakan kehebatan dari kasih sayang kita kepada Tuhan, untuk menjadikan diri kita pelayan bagi kebaikan hidup sesama.

Mohon disampaikan salam sayang untuk keluarga Anda terkasih, dari Ibu Linna dan saya.

Sampai kita bertemu suatu ketika nanti ya?

Loving you all as always,

Mario Teguh 
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=430184849404

 

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com