Bencana, Kunjungan Kerja dan Logika yang Egois


Salah satu faktor penting dalam teori Sistem Politik Eastonian mengenai Input-Konversi- dan Output adalah mengenai peran lingkungan strategis yang mempengaruhi setiap proses yang dijalankan. Lingkungan strategis, mempengaruhi setiap demand dan support yang menjadi bagian penting untuk input gagasan atau tuntutan. Lingkungan, juga penting dalam proses konversi dan akhirnya –menurut Easton- sejauh mana lingkungan strategis mempengaruhi sistem politik secara keseluruhan, akan tampak dalam “warna” kebijakan (policy) sebagai sebuah output dalam sistem politik.

Kenyataannya, beberapa dari kita lupa untuk berpikir sebaliknya; bahwa lingkungkan strategis adalah faktor yang “dinamis dan tidak stabil”, dia ada dalam kondisi –meminjam asumsi Easton- disequlibrium, ketidak-seimbangan. Maka lingkungan tidak hanya bersifat aktif untuk mempengaruhi, ia juga dipengaruhi dan memberikan respon. Bahkan, lebih jauh dari itu, kondisi dan dinamisasi lingkungan strategis menjadi faktor yang harus dipertimbangkan setiap kali policy akan diambil, dengan atau tanpa pengaruhnya.

Pada titik ini, akan terlihat sejauh mana kemampuan aktor politik dalam menterjemahkan kondisi lingkungan strategisnya setiap kali ia akan mengambil kebijakan; apakah ia akan “memaksa” lingkungan strategis untuk menerima logika berpikirnya akan sebuah kebijakan dimana –dalam interpretasi saya-  akan menjadi logika yang egois-, atau sebaliknya ia akan berpikir tentang “common sense”, memperhatikan betul bagaimana kondisi dan dinamisasi lingkungan strategis, sehingga kebijakan yang diambil adalah manifestasi dari usahanya untuk menyesuaikan diri dan atau, menyeimbangkan kondisi lingkungan dengan cara dan arah berpikirnya.


Bencana dan Elite dengan logika yang egois
Analisa diatas, dapat kita lihat pada perilaku elit kita di tengah bencana: Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie tentang resiko penduduk yang tinggal di pesisir untuk terkena korban Tsunami; pernyataan Wakil Ketua DPR Anis Matta mengenai bencana yang tidak boleh mengganggu kunjungan kerja ke luar negeri; rencana Komisi VII DPR (selain pengawsan haji, sesuai tupoksinya, komisi ini adalah komisi yang bertugas untuk concern pada penanganan bencana), untuk naik haji dengan visa non-kuota; dan tentu saja yang paling mutakhir adalah keberangkatan Gubernur Sumatera Barat untuk berangkat ke Jerman, di tengah penanganan bencana Mentawai yang belum selesai. 

Dengan logika yang sederhana, kita bisa katakan bahwa apa yang dikatakan Marzuki Alie tentang resiko masyarakat yang tinggal di daerah pesisir adalah benar adanya. Bahwa, resiko yang mengintai mereka yang tinggal di pesisir adalah ancaman Tsunami, seperti halnya mereka yang tinggal di lereng gunung beresiko terkena awan panas letusan gunung, dan mereka yang tinggal di bantaran kali adalah yang pertama kali terkena banjir, kala kali meluap. Permasalahannya kemudian, pernyataan Marzuki Alie disampaikan dalam kondisi dimana masyarakat sedang meratap atas bencana Tsunami Mentawai.

Dengan pendekatan sistem, apa yang dikatakan Marzuki sebagai sebuah output adalah benar adanya. Masalahnya, lingkungan strategis tidak mendukung statemen tersebut sebagai sebuah kebenaran karena dalam lingkungan “politik bencana”, yang ditunggu masyarakat adalah dukungan, simpati dan support dari elite politik terhadap korban. Maka pernyataan Marzuki Alie dalam hal ini akan lebih bernuansa blaming daripada supporting. Sebagai pembanding, katakanlah Ketua DPR menyampaikan pernyataannya bukan dalam kondisi bencana Tsunami, maka lingkungan politik akan mendukung, karena akan lebih bermakna sebagai tindakan preventif bagi masyarakat yang tinggal di pesisir, untuk berhati-hati terhadap bencana Tsunami.         

Lain lagi dengan pernyataan Anis Matta tentang sikap fraksi PKS yang menolak membatalkan kunjungan luar negeri anggota legislatif-nya di tengah penanganan bencana. Menurut Anis Matta, sistem pemerintahan –dalam hal ini berarti eksekutif dan legislatif- harus tetap berjalan. Tugas penanganan bencana menurut Anis, sudah ter-diferensiasi kepada lembaga/badan yang menanganinya, seperti Kementerian Sosial dan BNPB.  Dalam logika berpikir linier, tentu saja apa yang disampaikan Anis Matta adalah tepat. Penanganan bencana, adalah satu hal, dan studi banding sebagai hal lain, keduanya berada dalam cara pandang yang tidak bisa disatukan.

Hanya saja, pernyataan Anis Matta menjadi kontraproduktif dikaitkan dengan beberapa hal; Pertama, Kunjungan kerja ke luar negeri terlanjur menjadi “hot issue” yang bergulir di tengah penolakan masyarakat. Alasannya sederhana, UU yang dihasilkan dari Kunker dengan dana yang tidak sedikit, ternyata bermutu rendah. Beberapa UU bahkan harus menghadapi nasib tragis dibatalkan oleh MK. Tentu saja, Anis Matta dapat membela diri dengan mengatakan bahwa Kunker anggota PKS lebih bermanfaat. Masalahnya, publik tidak melihat DPR per individu, akan tetapi kesatuan institusi secara kesleuruhan. Kedua, Terkait dengan common sense bencana. Implikasi dari faktor pertama, membuat logika masyarakat memandang bahwa kunjungan kerja menjadi pemborosan dan berlawanan dengan penanganan bencana. Publik mengharapkan empati, dan pembatalan kunjungan kerja, dianggap menjadi bagian dari empati itu.

Perlu digaris bawahi, ada juga yang berpikir sebaliknya bahwa, pembatalan kunker hanya karena adanya bencana adalah sia-sia. Pembatalan tersebut, adalah hanya strategi untuk mendapatkan simpati masyarakat, akan tetapi justru menganggu kinerja DPR. Logika ini mungkin benar, tapi nampaknya tidak memperhatikan konteks situasi politik.. Mungkin kita mempunyai dalih politik yang bisa dimengerti oleh mereka yang well educated dan para intelektual. Hanya saja, kita berada dalam situasi dimana mayotitas masyarakat merupakan masyakat unwell-educated; mereka terbiasa menerima informasi dan atau berita tanpa menyaring apalagi menganalisanya.  Adalah sulit untuk memaksakan logika dan dalih politik yang rumit pada mereka yang terbiasa berpikir dengan sederhana. Seharusnya, elit politik yang menyesuaikan diri dengan logika dan cara pandang mayoritas, bukan sebaliknya; secara egois menuntut masyarakat untuk memahami tindakan-tindakan politik dari elite. Ini bukan sekedar menarik simpati dan citra, ini tentang observasi tentang lingkungan strategis di sekeliling kita.

Lantas, bagaimana dengan kunjungan Gubernur Sumatera Barat ke Jerman? Terkadang, memang kita harus dapat membedakan apa yang kita sebut sebagai ‘kebenaran’ dan ‘pembenaran’, antara truth dan justification. Bahkan mungkin, sulit bagi mereka yang dekat secara personal dengan Irwan Prayitno untuk memahami keberangkatannya ke Jerman, dalam kondisi bencana yang terjadi di Mentawai. Bahwa nantinya, ada hasil yang dicapai berupa dana pembangunan dan investasi di Jerman, itu perihal lain. Ini adalah tentang, seperti apa yang disampaikan Nicholas Shaugnessy; “A political issue is not a merely a product to be merchandised but rather a vibrant value  symbol connecting with an individual sense  of who and what he or she in the deepest level”. Sebuah cara pandang yang melihat individual sense yang mewujud pada common sense. Sekali lagi, seorang pemimpin bukan sekedar harus ‘mengenal’ lingkungannya, lebih dari itu ia harus ‘belajar’ tentang lingkungannya.


Pemimpin dan Kaca Buram Istana
Meminjam istilah Eep Saefullah Fatah, salah satu penyakit akut yang harus dihindari seorang pemimpin adalah sindroma ‘Kaca Buram Istana’. Analoginya, kaca yang buram telah menghalangi pandangan seorang pemimpin terhadap kenyataan yang sebenarnya terjadi di luar. Segerombolan masyarakat yang merintih akibat bencana, dilihatnya sebagai masyarakat yang sudah mapan dan tidak perlu lagi bantuan. Sistem penanganan bencana yang masih lekat dengan mismanagement dan penanganan yang reaktif, dilihatnya sebagai penanganan yang sudah berjalan sesuai sistem dan dengan tindakan yang tepat. Pemimpin, dalam analogi ini, adalah pemimpin yang gagal dalam melihat sekaligus menganalisa kondisi lingkungannya.

Kita ingat, ‘Kaca Buram’ inilah yang menjauhkan pemimpin-pemimpin kita dari rakyatnya. Soekarno bersikeras untuk menjalankan ‘demokrasi terpimpin’ dengan tujuan bahwa Indonesia lebih membutuhkan pembangunan politik, daripada ekonomi. ‘Revolusi” Kata Soekarno “tak butuh persetujuan, tapi perjuangan’’. Hanya saja, impian Soekarno tentang pembangunan politk membuatnya lupa untuk melihat kenyataan makro dan mikro ekonomi di zamannya. Inflasi mencapai nilai tertinggi, harga barang kebutuhan pokok naik, dan rakyat menjerit tentang kelangkaan pangan. Tapi Soekarno melihatnya berbeda. Ia sedang melihat rakyat yang selalu patuh padanya, rakyat yang siap kelaparan untuk revolusi Indonesia. Kenyataan kemudian, menujukkan sebaliknya.

Sekali lagi, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang berpikir dengan logika rakyatnya. Bukan pemimpin yang memaksa rakyat, untuk menerima cara berpikirnya.


Semoga menjadi kritik yang membangun..

Sumber : Iko

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com