Kondisi Nasional dan Akar Permasalahan Bangsa (Bagian II)

Masalah Tekanan Globalisasi

Peran perdagangan komoditas yang berjalan selama beberapa dekade terlihat titik balik perubahannya pada tahun 1975-1979, dimana negara-negara yang peran perdagangan komoditasnya dominan, proporsi sumbangan ekspor-impornya terhadap GDP cenderung stagnan dan menurun, dibandingkan dengan negara yang peran perdagangan komoditasnya tidak dominan. Hal demikian terjadi karena harga komoditas yang selama ini diandalkan dalam perdagangan global seperti kopi, gula, kain katun, dan biji cokelat, selama dua dekade terakhir harganya selalu menurun dan jatuh. Secara rata-rata, harga komoditas tersebut jatuh menjadi sekitar 20% - 40% dari harga komoditas tersebut pada tahun 1980. Kopi dan gula harganya tinggal 20% dari harga tahun 1980, sedangkan kain katun dan biji cokelat harganya tinggal 40% dari harga pada tahun 1980. Di sisi yang lain, harga barang industri manufaktur naik sampai 100%. Semua negara yang tergantung dengan harga perdagangan komoditas tidak dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Secara rata-rata, pada tahun 1990, pertumbuhan tahunan GDP per kapita negara yang tidak mengandalkan komoditas perdagangan tumbuh sebesar 2%, sedangkan negara yang sangat mengandalkan perdagangan komoditas tumbuh 0%. Demikian juga yang terjadi dalam penentuan tarif antara kedua model negara tersebut. Selama satu dekade terakhir upah relatif dari masyarakat berpendidikan tinggi dibandingkan dengan pendidikan dasar, naik menjadi 1,6 kalinya dan upah relatif masyarakat yang berpendidikan tinggi dibandingkan dengan pendidikan menengah naik 1,4 kalinya. Imigrasi yang berasal dari negara berkembang menuju negara maju didominasi oleh mereka
yang berpendidikan menengah. Perawat yang dikirim dari negaranegara sahara di Afrika menuju Inggris mengalami peningkatan sampai 800%. Dan krisis ekonomi global pada tahun 1997-1998, telah memindahkan pendapatan dari penduduk miskin kepada penduduk yang kaya di negara-negara sedang berkembang.

Fakta hari ini, dimana industri nasional belum bertransformasi dari industri berbasis teknologi rendah ke industri berbasis teknologi tinggi, maka globalisasi dengan liberalisasi perdagangan merupakan ancaman bagi pembangunan ekonomi nasional. Beberapa studi menunjukkan penurunan produksi pada hampir seluruh komoditas perdagangan internasional Indonesia sejak dimulainya Putaran Uruguay. Satu-satunya komoditas yang mengalami peningkatan produksi secara signifikan hanyalah tekstil dan produk tekstil (TPT). Ini pun mengalami penurunan produksi secara terus-menerus, akibat tekanan Cina dan Vietnam dalam beberapa tahun terakhir. Artinya, daya saing kita sangat rendah di pasar global, sehingga terbukanya pasar global bukan hanya tidak dapat dimanfaatkan, bahkan menekan ke dalam. Buktinya, kita tidak mampu mendongkrak ekspor pada saat rupiah mengalami depresiasi tajam semasa krisis ekonomi 1997/1998. Lemahnya daya saing ini disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM dalam penguasaan Iptek. Selain itu, diakibatkan oleh lambatnya perbaikan iklim investasi dan pembangunan infrastruktur dasar.
Tersendatnya reformasi birokrasi dan upaya pemberantasan korupsi merupakan sebab utama memburuknya iklim investasi nasional.

Masalah Kerusakan Lingkungan Hidup dan Overeksploitasi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang spektakuler selama 1985- 1995, secara faktual ditopang oleh eksploitasi intensif sumber daya alam (SDA), baik tambang, migas, dan hutan. Meskipun sumber kekayaan alam itu semakin terbatas, ironisnya sumber pendapatan utama non-pajak pemerintah hampir 60% masih tergantung pada ekspor migas. Parahnya lagi, pada saat kita menjadi net importer migas, ketergantungan APBN terhadap devisa dari ekspor migas masih belum bisa dilepaskan. Sementara itu kemampuan industri
untuk mengolah SDA menjadi produk bernilai tambah tinggi masih sangat terbatas, karenanya untuk memenuhi target pertumbuhan kecenderungan over eksploitasi SDA masih akan terus berlanjut.
Over eksploitasi SDA berakibat akan munculnya bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, serta pencemaran lingkungan hidup. Isu pemanasan global semakin menekan kita untuk lebih serius dan konsisten dalam melakukan upaya konservasi SDA, agar pembangunan menjadi berkelanjutan (sustainable development).

Selama hampir dua puluh tahun, di Sumatera total luas hutan menyusut dari 23,32 juta Ha menjadi 16,63 juta Ha. Di Kalimantan kawasan hutan menyusut dari 39,98 juta Ha menjadi 31,51 juta Ha. Di Sulawesi kawasan hutan menyusut dari 11,26 juta Ha menjadi 9,00 juta Ha. Di seluruh Indonesia kawasan hutan menyusut dari 119,70 juta Ha menjadi sekitar 100 juta Ha, atau 19,70 juta Ha 8 World Bank. INDONESIA Environment and Natural Resource Management in a Time of Transition. selama dua puluh tahun, dengan kecepatan penyusutan sebesar 1,64 juta Ha per tahun. 9 Pengalihan fungsi lahan juga terjadi secara besar-besaran dari kawasan hutan menjadi hutan tanaman industri atau kawasan pengolahan kayu, terutama menjadi industri kayu lapis, pabrik bubur kertas dan industri minyak kelapa sawit, serta menjadi
kawasan transmigrasi. Selain berubahnya fungsi lahan, menyusutnya luas kawasan hutan di Indonesia juga disebabkan oleh kebakaran hutan, dan berkembangnya usaha pertambangan. Kerusakan hutan yang disebabkan oleh peralihan fungsi lahan hutan menjadi area pertambangan, tidak hanya menyusutkan luas
lahan hutan di Indonesia secara tajam tetapi juga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan kerusakan sosial. Pengeluaran perusahaan pertambangan besar untuk reklamasi tanah dan penanganan kerukan lingkungan hanya sekitar 10% per tahun, sedangkan discount rate per tahun sekitar 12%, dari total benefit dari aktifitas pertambangan di Indonesia yang mencapai $ 5.225 juta. Sementara pengeluaran pemerintah Indonesia sendiri untuk perbaikan lingkungan hidup sebesar 0,163% dari APBN 1997 dan 0,079% dari APBN 1998. Permasalahan lain yang menyebabkan rendahnya penanganan
masalah lingkungan dari kawasan hutan yang diubah fungsinya menjadi hutan industri dan industri pertambangan adalah karena otonomi daerah yang belum berjalan secara optimal yang menyebabkan terjadinya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah daerah.

Masalah Sektor Keuangan yang Terpisah dengan Sektor Riil

Sektor keuangan merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh arus globalisasi, Rasio perdagangan uang terhadap total perdagangan dunia adalah sebesar 2/1 (1973); 10/1 (1980); 50/1 9 Ibid. hlm : 9
(1992); 70/1 (1995); 90/1 (2005). 10 Rasio tersebut menggambarkan, bahwa tingginya peningkatan volume perdagangan uang tidak dapat diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan barang. Bagi negara dengan sistem ekonomi terbuka, capital inflow dan capital outflow dalam jumlah besar dan dalam
waktu yang cepat tentu akan memberikan guncangan stabilitas moneter, apalagi apabila negara tersebut tidak mempunyai fundamental ekonomi yang kuat. Itulah yang menjadi salah satu sebab terjadinya krisis moneter yang disusul oleh krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997. Sejak tahun 1988 pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Oktober (Pacto 88) yang merupakan deregulasi perbankan, sehingga bankbank baru lahir dengan sangat cepat. Reformasi yang dilakukan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun1988-1989 meningkatkan jumlah perusahaan yang listed sampai 400%. Modal domestik terkumpul di bank-bank dengan cepat, pemilik bank dengan mudah mendapatkan kredit untuk anak-anak perusahaannya, akibatnya kredit macet di mana-mana. Modal asing masuk melalui BEJ, perusahaan banyak mendapatkan modal murah dari luar negeri, dan ketika saham perusahaan listing jatuh karena kredit macet, dengan cepat terjadi capital flight. Pada tahun 1995, jumlah uang masuk ke sektor swasta tiga kali lipat dari uang masuk ke sektor pemerintahan.

Sejak tahun 2003/2004, kinerja bidang ekonomi cukup baik, dengan pertumbuhan mencapai rata-rata di atas 5%; tingkat inflasi yang cukup rendah; nilai tukar rupiah yang stabil pada kisaran Rp 9.200 per dolar; serta cadangan devisa mencapai nilai tertinggi sepanjang sejarah, yakni di atas 50 milyar dolar. Namun sayangnya, stabilitas ekonomi makro ini tidak serta-merta berdampak pada membaiknya sektor riil. Nyatanya, pertumbuhan ekonomi itu masih relatif rendah untuk mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran. Penyebabnya adalah kebijakan ekonomi kontraktif hasil kesepakatan dengan IMF, yang mengakibatkan terhambatnya investasi. 10 Kiki Veriko. MPKP. FEUI. Indikator ekonomi justru menunjukkan tren yang memburuk selama pemerintahan SBY-JK, antara lain: pertumbuhan investasi dan perdagangan (ekspor dan impor) yang terus menurun; serta semakin meningkatnya penyimpanan dana dalam bentuk SBI yang tidak memutar ekonomi riil. Tidak berjalannya investasi di sektor riil disebabkan antara lain karena tidak optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Suku bunga kredit yang tinggi, mendorong fenomena ‘decoupling’ sektor finansial dari sektor riil, terutama diakibatkan oleh kecenderungan spekulatif pemilik modal untuk memburu keuntungan lebih besar dalam waktu singkat. Hal ini ditunjukkan dengan melambungnya IHSG yang mencapai angka di atas 2500 (tertinggi sepanjang sejarah), sementara sektor riil tidak mengalami perbaikan yang berarti.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 60% lebih berasal dari konsumsi masyarakat, bukan dari investasi yang
merupakan motor penggerak pertumbuhan. Karena itu, kita ragu akan keberkelanjutan pertumbuhan ekonomi nasional pada masa mendatang.

Bidang Sosial Budaya

Meski telah memasuki usia enam dasarwasa lebih sejak kemerdekaan tahun 1945, bangsa Indonesia ternyata masih kesulitan untuk menentukan jati diri yang sesungguhnya. Inilah permasalahan utama bangsa yang sejak dahulu disebut “Nusantara” – negeri yang terletak di persimpangan dua benua dan
dua samudera besar, yang mengalami krisis identitas. Krisis itu semakin kentara di masa reformasi yang digencarkan sejak 1998, ketika nilai-nilai lama telah diruntuhkan, namun nilai-nilai baru belum kunjung ditubuhkan. Proses pencarian jati diri itu bertambah rumit di tengah gelombang informasi global yang mengalir ke seluruh pelosok negeri. Kini kita bertanya kembali tentang masalah yang fundamantal, “apa
artinya menjadi sebuah bangsa” dan “mau dibawa ke mana bangsa ini setelah enam dasawarsa merdeka”? Pertanyaan itu mengingatkan kita pada tesis utama berdirinya sebuah bangsa, yakni adanya kehendak untuk bersatu (Ernest Renan, 1930).

Apakah kita masih memiliki ikatan perasaan yang sama sebagai bangsa berpenduduk 220 juta orang, yang mendiami 17.000 pulau dan terdiri dari 250-an suku bangsa? Jarak geografis dan keragaman kultural mungkin memisahkan kita secara fisik, namun secara psikologis dan spiritual kita harus merasa dekat dan selalu bersatu, bila masih ingin disebut satu bangsa. Kualitas kebangsaan (nationality) itu akan terus diuji di masa datang seiring dengan perkembangan zaman. Kita juga diingatkan bahwa pada hakekatnya suatu bangsa ada karena “cita-cita bersama”, dalam bahasa Benedict Anderson (1983), bangsa adalah “masyarakat yang dibayangkan bersatu dan memiliki tujuan hidup sama” (imagined communities). Walaupun sebenarnya setiap orang dan setiap kelompok masyarakat menghadapi persoalan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan dan zaman yang dihadapinya, namun perasaan bersatu
itu muncul karena senasib dan sepenanggungan. Itulah perasaan yang mengkristal pada masa awal kemerdekaan dulu, karena mayoritas bangsa ini menyadari betapa pahitnya era penjajahan yang berlangsung ratusan tahun. Itulah perasaan yang menggumpal sejak “Soempah Pemoeda” di tahun 1928, ketika penjajah menjalankan strategi pecah-belah (divide et impera) dengan mempertentangkan perbedaan fisik-kultural. Tetapi, kita berhasil mengatasi skenario penjajah itu dengan menyatakan diri “bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu”, yaitu “Indonesia”.

Ironisnya, gumpalan perasaan senasib-sepenanggungan itu semakin mencair, kristalisasi nilai kebangsaan pun mengalami keretakan di sana-sini, salah satunya akibat kekeliruan dalam mengelola kekuasaan di masa Orde Lama dan Orde Baru. Indonesia kini mengalami krisis identitas dan modalitas sebagai bangsa, serta krisis kebijakan dan keteladanan di segenap lapisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Masalah Identitas

Pada masa Orde Lama, kekuasaan dijalankan dengan sistem otoriterian berbungkus “Demokrasi Terpimpin”. Pemerintah pusat mendapat tantangan hebat dengan munculnya pemberontakan daerah. Lebih tragis lagi, kebijakan pemerintah saat itu hanya bersifat simbolik dan tidak menyelesaikan konflik sampai ke akarnya, sehingga muncul stigma terhadap kekuatan yang sebenarnya ingin melakukan kontrol obyektif terhadap pemerintahan yang sudah melenceng dari aspirasi rakyat. Rezim Orde Baru pada awalnya mencoba menangani konflik dan menciptakan stabilitas, tetapi ideologi pembangunan (developmentalism) yang dipaksakan telah mematikan inisiatif masyarakat kritis dan aspirasi lokal. Semua potensi lokal diserap ke pusat, sementara masyarakat daerah hanya memperoleh sangat sedikit dari berkah atas hak kekayaan alamnya, dan kekuatan oposisi yang menuntut keadilan minimal pun ditumpas habis. Penyimpangan kekuasaan itu telah berdampak buruk bagi pembentukan identitas nasional yang belum tuntas sepenuhnya. Sejumlah masyarakat lokal yang kebetulan berasal dari daerah kaya
sumberdaya alamnya merasa tersisihkan dan diperlakukan seperti anak tiri dari keluarga besar bangsa Indonesia. Hal itu terlihat dalam konteks Aceh dan Papua, juga penduduk Riau dan Kalimantan.

Pengalaman di Aceh sangat relevan untuk diambil sebagai pelajaran, meski sudah diberi otonomi khusus dengan label konstitusional sebagai “Nanggroe Aceh Darussalam” dan diselenggarakan perdamaian dengan kelompok perlawanan (Gerakan Aceh Merdeka) yang akhirnya berpartisipasi dalam pemilihan umum lokal, namun luka akibat perlakuan diskriminatif belum sembuh benar. Tak dinyana, kasus Aceh mengilhami daerah lain untuk menuntut kekhususan serupa dengan alasan berbeda, seperti di Papua, sehingga penerapan otonomi daerah bak membuka kotak pandora yang akan mengancam keutuhan NKRI.
Penumbuhan semangat kebangsaan (nation building) kini berkompetisi dengan munculnya kebangkitan etnik yang berpangkal dari salah urus kebijakan ekonomi dan politik pusat. Menurut Joko Suryo (2002), identitas nasional suatu bangsa tak bisa dilepaskan dari faktor obyektif, yaitu berkaitan dengan kondisi
geografis-ekologis dan demografis; serta faktor subyektif, yaitu berkaitan dengan kondisi historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa tersebut. Lebih rinci lagi, Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells (The Power of Identity, 1997), mengemukakan pandangan tentang munculnya identitas nasional sebagai interaksi historis antara faktor primer (mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan sejenisnya), faktor pendorong (pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan
bersenjatan modern, dan sentralisasi monarkis), faktor penarik (kodifikasi bahasa resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional), serta faktor reaktif (penindasan, dominasi dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat).

Semua faktor itu perlu dievaluasi kembali, apakah mengalami penguatan atau pelemahan dalam kehidupan kebangsaan, dan bagaimana mempercepat atau memperkuat proses yang konstruktif
di masa depan. Hal itu mutlak dilakukan, bila kita ingin menjadi bangsa yang berusia lebih panjang dan mampu memberi kontribusi positif bagi peradaban manusia. Bila kita lalai mengelolanya, maka ajal bangsa ini sudah dekat di depan mata, dan nama Indonesia mungkin sebentar lagi akan terhapus dari peta dunia digantikan negeri-negeri kecil yang memproklamasikan kemerdekaan dan kebebasannya sendiri. Semoga mimpi buruk itu tidak terjadi.

Faktor Geografis

Indonesia merupakan negara kepulauan yang amat luas, terdiri dari 17.508 pulau, namun hanya 5.707 yang bernama. Itu merupakan data yang dikeluarkan Pusat Survei dan Pemetaan ABRI pada tahun
1987. Data dari lembaga lain amat beragam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 1972, mempublikasikan sebanyak 6.127 nama pulau-pulau di Indonesia. Sementara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional pada tahun 1992 menerbitkan ”Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan
Indonesia” yang mencatat sebanyak 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, pada tahun 2002, berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 18.306 buah. Dengan wilayah seluas itu, sepatutnya apabila Indonesia dikelola sebagai ”negara maritim” yang kuat. Tanpa kekuatan maritim yang memadai, maka kedaulatan wilayah nasional akan terancam. Luas wilayah formal setara 93.000 kilometer per segi laut-pedalaman, dan luas total menurut Zona Ekonomi Ekslusif mencapai 7,9 juta kilometer per segi. Luas itu sesuai dengan prinsip wilayah Indonesia yang mencakup “tanah dan air”, serta doktrin kesatuan politik dan keamanan nusantara (archipelagic). Sayangnya, kondisi armada maritim nasional saat ini masih sangat jauh standar armada pertahanan. Menurut Kepala Staf TNI AL, jumlah 114 armada yang aktif dan umur kapal yang rata-rata lebih dari 20 tahun tidak mencukupi untuk kebutuhan minimal 138 kapal (Kompas, 23/1/2004). Padahal kebutuhan minimal untuk standar internasional adalah 300 kapal, kebutuhan normalnya 1.000 kapal, dan kebutuhan idealnya 2.000 untuk memantau dan mengawal
seluruh titik wilayah laut kita. Pemerintah pernah mencanangkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan maritim dunia (Global Ocean Power) pada 15 - 20 tahun ke depan. Hal itu ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan yang memaparkan ”Tantangan Kelautan Indonesia 2020: Penetapan Agenda dan Sasaran” (Tempo Interaktif, 26/7/2004). Konsep itu tampaknya masih di atas kertas, karena langkah-langkah nyata belum terlihat di lapangan.

Kebijakan nasional saat ini masih bertumpu pada pertahanan darat untuk mengawal daerah yang padat penduduk seperti Pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan aspek pertahanan laut dan udara masih belum dikembangkan dengan optimal. Akibatnya, wilayah yang berada jauh di pinggir perbatasan merasa kurang diperhatikan dan dijaga dari kemungkinan datangnya ancaman luar. Ikatan kebangsaan pun mengalami erosi dahsyat. Kendala geografis juga menyebabkan rumitnya prioritas pembangunan daerah yang terkait dengan daerah perbatasan, baik di perbatasan laut maupun di darat. Daerah tersebut adalah pantai
timur Pulau Sumatra dan kepulauan yang berada di sekitarnya yang berbatasan dengan negara Singapura, Malaysia, dan Laut Cina Selatan. Lalu, daerah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Serawak Malaysia; Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Serawak-Sabah Malaysia; Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina; Nusatenggara Timur (pulau Timor) yang berbatasan dengan wilayah Timor Timur dan Australia; dan bagian dari Provinsi Papua yang berbatasan dengan Papua Nuigini. Kebanyakan daerah perbatasan mengalami kelambanan dalam pembangunan infrastruktur transportasi dan komunikasi, sehingga mereka kurang berinteraksi dengan penduduk di wilayah lain di Tanah Air, bahkan merasa lebih dekat dengan penduduk negara tetangga. Sarana transportasi laut dan udara sangat terbatas.

Hal itu membuat warga yang berada di kawasan terpencil menjadi terasing dengan daerah lain di Indonesia, apalagi dengan pola birokrasi pemerintah pusat yang tak memberi pelayanan optimal. Sebagian besar daerah perbatasan itu masih berada dalam keadaan terbelakang. Jumlah penduduknya sangat sedikit dan terpencar-pencar, jauh letaknya dari ibukota propinsi atau kabupaten dan dari tempat pemusatan penduduk lainnya. Berbagai prasarana sosial-ekonomi masih sangat kurang, dan lapangan
penghidupan penduduk terutama terdiri atas kegiatan-kegiatan pertanian yang berpindah, serta usaha penangkapan ikan dengan alat-alat dan cara-cara yang masih sederhana. Daerah itu menghadapi beragam permasalahan yang berhubungan dengan penyelundupan dan gangguan keamanan yang bersifat infiltrasi
politis-ideologis, disamping permasalahan lainnya dari kelompok masyarakat terpencil. Potensi ancaman maritim sangat besar. Dari sisi pencurian ikan (illegal fishing) saja, sebelum 2004 Indonesia kehilangan sekitar Rp 36,5 trilyun per tahun. Dengan kebijakan yang lebih tegas, akhirnya kerugian negara berhasil ditekan menjadi sekitar Rp 18,2 trilyun per tahun. Sedangkan menurut International Maritime Bureau, dari 445 serangan bajak-laut terhadap kapal komersial tahun 2003, tercatat 121 terjadi di wilayah laut Indonesia. Dalam perompakan yang paling sering terjadi di Selat Malaka itu, 20 pelaut terbunuh, 350
disandera, dan 70 hilang. Belum lagi ancaman navigasi, pencurian benda arkeologi laut, penyelundupan kayu gelondongan, penyelundupan BBM dan penjualan manusia, penyebaran senjata pemusnah-massal, kerusakan lingkungan laut, serta sengketa pemilikan pulau dengan beberapa negara tentangga. Semua itu
mestinya menyadarkan kita agar lebih serius membangun armada pertahanan dan transportasi laut yang lebih kuat.

Kondisi geografis yang senjang juga terlihat mencolok antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Warga pedesaan merasa tertinggal dan tidak diperhatikan dibandingkan warga di perkotaan. Muncul pelbagai masalah sosial akibat ketimpangan pembangunan antar daerah, dan proses urbanisasi yang tak terencana. Potensi masyarakat desa tergerus habis perlahan tapi pasti, karena sumber daya yang produktif banyak berpindah ke kota. Karakter masyarakat desa pun berubah drastik, sehingga banyak di antara mereka yang tak mengenali atau merawat tradisi yang sebenarnya positif seperti sikap gotong-royong atau setia kawan, akibat derasnya arus informasi dan proses migrasi antar penduduk. Permasalahan kemudian bergeser ke kota yang menampung segala beban yang tak sanggup dipecahkan di desa. Padahal, kota
mestinya dikembangkan sebagai tempat berkumpulnya (melting pot) berbagai jenis keterampilan dan sumber daya yang penting bagi perindustrian modern. Dalam suasana urban, budaya melek huruf
dan media massa akan berkembang. Kepandaian tulis-baca itu penting untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan dasar, sementara media massa penting untuk mempercepat perkembangan masyarakat modern, termasuk dalam hal peningkatan partisipasi politik. Daniel Lerner dalam The Passing of traditional Society (1959) mengungkapkan hasil penelitiannya di 54 negara, bahwa variabel urbanisme, melek huruf, akses media, dan partisipasi politik sangat erat berhubungan, karena semua itu berkaitan dengan pasar komunikasi yang terbuka dan membentuk masyarakat modern. Prasyarat itu masih jauh dari kenyataan masyarakat Indonesia di berbagai daerah, tingkat melek hurus masih sangat rendah, perkembangan media lokal sangat terbatas dan partsipasi politik lokal pun belum terbuka sepenuhnya. Budaya politik lokal masih didominasi money politics dan patrimonialisme. Sementara itu kebijakan transmigrasi tak diterapkan dengan optimal sebagai bagian dari strategi pemantapan kehidupan nasional. Sejak dipraktekkan di masa kolonial hingga era Orde Baru, transmigrasi menjadi solusi darurat untuk mencegah ledakan demografi di daerah padat seperti Pulau Jawa. Namun, kesiapan daerah tempat tujuan dan kapasitas para calon transmigran tak diperhatikan dengan matang, sehingga mengalami banyak
hambatan dan akhirnya seperti memindahkan persoalan dari suatu daerah ke daerah lain saja. Masalah bertambah akut karena masyarakat baru telah terbentuk di daerah transmigran yang tak tertata dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antara penduduk asli dan kaum pendatang tumbuh subur, yang membuka kemungkinan pemicu konflik komunal. Kerusuhan yang terjadi di Sampit dan Sambas, Kalimantan Tengah serta konflik di Poso, Sulawesi Tengah merupakan efek lanjutan dari kurang harmonisnya hubungan antara warga tempatan dan kaum pendatang, disamping masih adanya sejumlah provokator yang memperuncing perbedaan etnik dan kondisi sosial-ekonomi. Jika identitas kebangsaan cukup kuat, maka semua perbedaan itu akan dapat didamaikan, lalu pembentukan identitas lokal justru memperkuat keragaman nasional.

Faktor Demografis

Saat ini jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 218 juta orang. Bila dilihat berdasarkan kelompok usia produktif, maka komposisi penduduk Indonesia menggambarkan potensi yang besar
di kelompok muda (20 – 39 tahun) yang mencapai 73,5 juta. Potensi itu lebih besar lagi bila kita tambahkan dengan kelompok usia anak-anak dan remaja (0 – 19 tahun) sebanyak 83,9 juta. Jumlah yang cukup besar juga terlihat di kelompok usia dewasa dan penuh kematangan (40 – 59 tahun) yang berkisar 44,9 juta. Sementara kelompok usia lanjut (60 tahun ke atas) berjumlah sekitar 15,8 juta (Lihat Tabel 3-5).
Namun, kita mencatat terjadi kesenjangan antara generasi muda dan tua dalam memandang persoalan bangsa dan menghadapi tantangan hidup masing-masing. Kaum muda disibukkan dengan persoalan lapangan kerja yang terbatas dan lingkungan pergaulan yang semakin bebas, sedangkan kaum tua harus memikirkan beban hidup yang semakin berat dan masa depan keluarga yang penuh fluktuasi. Pergantian generasi yang berlangsung cepat tidak diiringi dengan pewarisan nilai yang kokoh, hingga akhirnya terjadi
disorientasi nilai yang harus diperjuangkan bersama. Generasi perintis kemerdekaan yang sekarang berusia lebih dari 70 tahun mengalami romantisme, sulit beradaptasi dengan perubahan yang penuh ketidakpastian dan merindukan ”zaman normal”, ketika semua hal bisa dikendalikan dari pusat. Generasi era Orde Lama yang kini berusia 50-60 tahun mungkin masih berjiwa revolusioner, namun mereka terbagi di antara kelompok nasionalis sekuler maupun relijius militan. Sebaliknya, generasi produk Orde Baru, kini berusia 30-40 tahun, mengalami proses pembangunan fisik yang pesat. Sebagian mereka ada yang bersikap pragmatis dan oportunis, meski ada yang tetap mempertahankan idealisme.

Sedangkan generasi ”reformasi” yang baru berusia 20 tahun tak jelas visi ideologisnya, mereka mencari panutan yang hilang. Pada titik ini pemupukan identitas bersama lintas generasi menjadi krusial. Tabel 3-6. Komposisi Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Usia
1. 0 – 19 83.883.364
2. 20 – 39 73.535.630
3. 40 – 59 44.852.783
4. 60 – dst 15.814.192
TOTAL 218.086.288
Sumber: BPS, 2005.

Bila kita lihat komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin, terlihat keseimbangan antara jumlah kaum laki-laki (109,6 juta) dan perempuan (108,5 juta). Hal ini bisa menjadi faktor positif ntuk menyeimbangkan peran di antara jenis yang berbeda, meskipun pandangan kultural tetap harus dipertimbangkan dalam pembagian fungsi domestik dan publik. Sebab, pembagian peran yang adil
menjadi dasar bagi pembentukan keluarga yang kokoh sebagai sokoguru masyarakat yang stabil.
Bila kita perhatikan dengan lebih teliti, maka jumlah kaum perempuan pada usia 20 – 39 tahun (37,5 juta) dan usia 60 tahun ke atas (8,1 juta) lebih besar dibandingkan kaum lelaki (Lihat Tabel 3-7). Hal itu menunjukkan persoalan tersendiri, karena banyak kaum perempuan di usia produktif yang mencari lapangan kerja informal demi mendukung kehidupan keluarga, bahkan sebagian di antara mereka menjadi tenaga kerja di luar negeri. Tidak sedikit di antara mereka yang akhirnya tertipu dan terjebak pada sindikat perdagangan manusia (human trafficking). Demikian pula kelompok usia lanjut yang telah melampaui masa produktif membawa persoalan tersendiri, karena masih terbatasnya sarana sosial yang
mendukung, sedang kondisi keluarga tak lagi mampu menampung dan melayani mereka dengan selayaknya. Dalam kaitan ini, program pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi dan pendidikan, serta penguatan tatanan keluarga yang sakinah dan produktif menjadi tuntutan utama.Tabel 3-7. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
1. 0 – 19 42.962.866 40.920.498 83.883.364
2. 20 – 39 36.079.484 37.456.146 73.535.630
3. 40 – 59 22.900.517 21.952.266 44.852.783
4. 60 - dst 7.670.652 8.143.859 15.814.192
TOTAL 109.613.519 108.472.769 218.086.288
Sumber: BPS, 2005

Ketimpangan segera tampak, bila kita cermati komposisi penduduk Indonesia berdasarkan tempat tinggalnya di berbagai pulau. Dalam Tabel 3-8 terlihat bahwa penduduk Pulau Jawa dan Madura sangat
padat (58,8%), sementara luas wilayahnya sempit sekali (6,9%). Bandingkan dengan wilayah Sumatera (24,7%) dan Kalimantan (28,1%) yang sangat luas, tapi hanya berpenduduk terbatas (21,0% dan 5,5%). Kondisi serupa juga terlihat di Sulawesi (luas 9,9%) dan pulau lain (termasuk Maluku dan Papua, total 30,4) yang hanya dihuni sebagian kecil penduduk (7,2% dan 7,5). Program persebaran dan pemerataan penduduk menjadi penting agar potensi alam yang tersedia dapat dioptimalkan, dengan catatan, perlu dilakukan perbaikan fundamental dalam kebijakan transmigrasi. Setiap wilayah mestinya diidentifikasi potensi khasnya, lalu persebaran SDM disesuaikan dengan kapasitasnya. Hal itu juga akan mencegah eksplosi demografis dan kerawanan yang ditimbulkan di wilayah padat seperti Jawa dan Madura.
Tabel 3-8. Persentase Luas Wilayah dan Penduduk menurut Pulau
1. Jawa dan Madura 6,9 58,8
2. Sumatera 24,7 21,0
3. Kalimantan 28,1 5,5
4. Sulawesi 9,9 7,2
5. Pulau lainnya 30,4 7,5
TOTAL 100 100
Sumber: BPS, 2005

Gejala penyimpang semakin mencolok bila kita menelusuri proses migrasi di kalangan penduduk. Migrasi masuk ke wilayah Jakarta (3,5 juta), Jawa Barat (3,3 juta), Banten (1,8 juta) dan Riau (1,5 juta) menempati urutan tertinggi. Mungkin karena di wilayah tersebut terdapat potensi ekonomi yang cukup besar (lihat Tabel 3-9). Tabel 3-9. Migrasi Seumur Hidup menurut Provinsi.
Provinsi Migrasi Masuk
1971 1980 1990 2000
1. Nanggroe Aceh Darussalam 60,982 143,365 193,285 100,166
2. Sumatera Utara 530,012 547,715 452,918 447,897
3. Sumatera Barat 87,901 131,438 216,014 245,000
4. Riau 20,606 343,024 681,627 1,534,849
5. Jambi 155,924 293,245 470,848 566,153
6. Sumatera Selatan 327,312 608,497 932,032 987,157
7. Bengkulu 36,038 121,274 251,232 355,048
8. Lampung 1,001,103 1,782,703 1,726,969 1,485,218
9. Kep. Bangka Belitung na na na 94,334
10. DKI Jakarta 1,791,635 2,565,158 3,141,214 3,541,972
11. Jawa Barat 371,448 963,870 2,391,890 3,271,882
12. Jawa Tengah 253,477 336,611 509,401 708,308
13. DI Yogyakarta 99,782 175,789 264,842 385,117
14. Jawa Timur 273,228 433,451 564,401 781,590
15. Banten na na na 1,758,408
16. Bali 22,010 63,365 122,899 221,722
17. Nusa Tenggara Barat 33,575 51,493 67,023 107,605
18. Nusa Tenggara Timur 10,218 38,735 46,310 106,053
19. Kalimantan Barat 20,805 104,856 196,876 269,722
20. Kalimantan Tengah 50,078 140,042 240,374 423,014
21. Kalimantan Selatan 66,119 142,619 272,797 360,324
22. Kalimantan Timur 39,548 292,028 600,201 856,251
23. Sulawesi Utara 48,668 88,266 87,715 147,091
24. Sulawesi Tengah 50,937 184,526 286,142 369,634
25. Sulawesi Selatan 66,984 108,038 219,666 273,875
26. Sulawesi Tenggara 25,906 104,793 236,848 366,817
27. Gorontalo na na na 26,888
28. Maluku 42,228 124,894 184,892 75,540
29. Maluku Utara na na na 60,834
30. Papua 33,513 93,030 261,308 332,015
Sumber: BPS, 2005

Tabel 3-10. Migrasi Seumur Hidup menurut Provinsi.
Provinsi Migrasi Keluar
1971 1980 1990 2000
1. Nanggroe Aceh Darussalam 65,835 116,010 125,563 244,314
2. Sumatera Utara 188,326 417,659 770,093 1,336,772
3. Sumatera Barat 324,897 558,804 642,908 937,799
4. Riau 41,636 86,540 127,672 164,358
5. Jambi 27,487 47,151 77,299 149,376
6. Sumatera Selatan 199,060 333,024 443,384 525,954
7. Bengkulu 24,753 39,019 46,720 73,390
8. Lampung 29,728 57,664 167,565 385,748
9. Kep. Bangka Belitung na na na 120,027
10. DKI Jakarta 132,215 400,767 1,052,234 1,836,664
11. Jawa Barat 1,192,987 1,487,935 1,751,879 2,046,279
12. Jawa Tengah 1,798,001 3,227,892 4,524,988 5,354,459
13. DI Yogyakarta 266,933 253,447 508,215 784,154
14. Jawa Timur 749,848 1,597,851 2,479,487 3,063,297
15. Banten na na na 475,440
16. Bali 57,072 117,828 221,599 250,724
17. Nusa Tenggara Barat 12,764 44,487 96,774 145,546
18. Nusa Tenggara Timur 26,222 47,534 99,442 156,602
19. Kalimantan Barat 35,109 72,358 116,735 154,620
20. Kalimantan Tengah 11,514 25,086 47,700 53,291
21. Kalimantan Selatan 84,257 169,561 201,936 255,595
22. Kalimantan Timur 23,723 34,059 63,533 90,635
23. Sulawesi Utara 60,837 121,231 153,466 151,326
24. Sulawesi Tengah 34,274 33,912 48,360 74,463
25. Sulawesi Selatan 241,726 511,725 641,961 874,338
26. Sulawesi Tenggara 30,771 89,957 107,673 95,189
27. Gorontalo na na na 113,050
28. Maluku 36,613 64,725 95,361 157,066
29. Maluku Utara na na na 43,712
30. Papua 6,449 15,559 30,786 46,824
Sumber: BPS, 2005

Sebaliknya, migrasi keluar tertinggi terjadi di wilayah Jawa Tengah (5,4 juta), Jawa Timur (3,1 juta), Jawa Barat (2,1 juta), dan Sumatera Utara (1,3 juta). Perpindahan itu bukan hanya berlangsung di skala domestik, banyak di antara penduduk wilayah tersebut yang mungkin berpindah ke luar negeri dengan alasan untuk mencari rezeki. Sebenarnya bisa potensi demografis itu dikelola dengan baik akan memberi manfaat bagi perkembangan daerah dan pemerataan pembangunan secara nasional. Untuk itu diperlukan
kebijakan pembangunan wilayah yang mencakup semua sektor dan mempertimbangkan betul keunggulan setiap daerah. Kebijakan nasional juga harus memperhatikan faktor yang mempengaruhi kondisi di pedesaan dan perkotaan pada setiap wilayah, agar tidak terjadi involusi sumber daya akibat urbanisasi
yang tak terkendali. Perbedaan tingkat pembangunan sosial dan ekonomi tak hanya mempengaruhi kondisi fisik, namun juga menghasilkan format budaya yang berbeda. Bila perbedaan itu tidak segera ditangani, maka akan membuat suatu daerah mungkin tertinggal dan terbelakang dibanding daerah lain. Jika itu dibiarkan, maka keutuhan nasional akan terganggu.

Faktor Historis

Manusia adalah ”makhluk historis”, berkembang berdasarkan pengalaman dan pikiran bersama lingkungan dan zamannya (Anton Bakker, 1990). Bila perkembangan itu bersifat positif, maka warisan
masa lalu akan membentuk karakter masa kini yang lebih baik dan menentukan masa depan yang dicita-citakan. Tetapi, sampai sekarang kita belum dapat menghapuskan warisan penjajahan yang
mempengaruhi sikap dan perilaku secara individual maupun kolektif. Mental sebagian besar warga bangsa ini belum mencerminkan sebagai bangsa yang merdeka untuk menentukan kondisi hidup yang diinginkan. Warisan itu antara lain: Penjajah Belanda sering disalahtafsirkan telah menjajah bangsa ini selama 350 tahun, padahal banyak wilayah di Tanah Air yang tetap melakukan perlawanan hingga awal abad ke-20.

Dalam proses sejarah yang panjang, kolonialis Belanda ternyata melestarikan sebagian nilai feodalisme Jawa dan membentuk karakter birokrasi yang lebih suka memerintah (pangreh praja) ketimbang melayani
dan mengayomi warga (pamong praja). Gejala itu masih tampak nyata di masa modern, ketika para pejabat menuntut hak-hak istimewa bagi kepentingan pribadinya, meskipun hak-hak dasar rakyat pada umumnya belum terpenuhi. Sikap itu pada gilirannya membuahkan tragedi pemerintahan yang lamban di tengah desakan kepentingan umum akibat bencana yang terjadi di mana-mana dan kondisi sosial-ekonomi yang diterpa krisis dari waktu ke waktu. Meski telah merdeka secara fisik, namun rakyat merasa dikorbankan atau ”dijajah” secara sosial-ekonomi, karena perkembangan zaman tidak memihak kepentingan mereka pada umumnya.

Penjajah Inggris hanya sebentar menancapkan pengaruh kekuasaannya di masa Raffles, dan menyisakan warisan kecil di daerah Bogor (Kebun Raya) dan Bengkulu (Taman Nasional). Orang kemudian membandingkan dampak penjajahan Belanda atas Indonesia dengan bekas penjajahan Inggris di Malaysia, Singapura dan negara persemakmuran lainnya. Dari segi pendidikan dan kebudayaan memang terlihat perbedaan mencolok, betapa negaranegara persemakmuran lebih maju dan mampu beradaptasi dengan
tuntutan zaman yang berubah cepat. Kondisi sosial-ekonomi mereka pun relatif lebih berkembang, namun hal itu tidak bisa menjustifikasi adanya karakter penjajah yang baik hati (benevolent colonialist), karena kemampuan belajar dari bangsa-bangsa bekas jajahan tetap paling menentukan. Bila kita mampu meningkatkan kapasitas belajar dari peristiwa sejarah, maka kita akan menggali nilai-nilai positif yang relevan untuk dikembangkan di masa kini dan masa datang.

Penjajah Portugis juga hanya terbatas dari segi waktu dan lokasi jajahannya, dan terakhir mampu bertahan di wilayah Timor Timur yang kini sudah lepas dari pangkuan NKRI. Pelajaran berharga bisa
dipetik dari penguasaan wilayah yang dipaksakan bahwa proses intervensi atau aneksasi sama kompleksnya dengan kolonisasi, karena kita seperti meniru jejak penjajah yang ingin memaksakan
kepentingannya di suatu wilayah. Kebijakan dominasi dalam bentuk apapun tidak akan bertahan lama, bila tak diikuti program penguatan hak masyarakat lokal dan rekonsiliasi semua pihak yang pernah menjadi korban kekerasan negara. Trauma sejarah itu bisa terulang kembali di daerah lain dalam konteks hubungan pusat dan daerah, jika kebijakan pemerintah pusat masih memakai pola lama yang secara tak sadar mewarisi sikap penjajah.

Penjajah Jepang, walau bersifat sementara, hanya berkuasa sekitar 3,5 tahun hingga menjelang Perang Dunia II, namun memberikan dampak yang agak berbeda Pada saat itu tumbuh semangat patriotisme dengan lahirnya pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang dilatih khusus dari kalangan kaum muda. Walau pada awalnya mereka dibentuk untuk menjadi satuan pendukung tentara penjajah Jepang di kawasan Asia Pasifik, tetapi pada masa kemerdekaan mereka menjadi ujung tombak perlawanan terhadap penjajah Belanda yang ingin menancapkan kembali pengaruhnya di bumi Indonesia. Dari kalangan prajurit PETA pula lahir tokoh-tokoh nasional yang akhirnya mengawal kedaulatan bangsa. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa sulit penjajahan, kita masih bisa belajar untuk menumbuhkan semangat perjuangan dan solidaritas nasional. Pelajaran serupa bisa ditransfer sekarang, agar di tengah rentetan bencana kita bisa mengembangkan solidaritas nasional yang baru.

Dari tinjauan sejarah singkat itu, kita dapat mengembangkan kapasitas belajar untuk membentuk identitas genuin sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Yakni, kemampuan untuk mempelajari perkara yang dibutuhkan di masa kini (learning how to learn), mempelajari perkara yang harus ditinggalkan dar masa lalu (learning how to unlearn), dan mempelajari perkara yang diperlukan untuk merancang masa depan (learning how to relearn). Proses belajar yang dinamik dan bersifat sistematik itu akan membuat kita lebih obyektif dengan warisan sejarah manapun, tidak lagi sekadar menyesali dan mencaci-maki sejarah karena menimbulkan luka yang dalam, atau sebaliknya juga tidak memujamuji
dan membangga-banggakan masa lalu tanpa sikap kritis. Kita perlu bersikap lebih kritis dan obyeltif terhadap sejarah yang telah dilalui pasca kemerdekaan, karena dari sanalah kita akan menimba pengalaman berharga untuk membangun bangsa yang bermartabat di era globalisasi saat ini. Bila ditelusuri kembali sejarah pasca kemerdekaan, maka kita akan mendapat jejak yang mencerahkan dari segi proses pembinaan kehidupan demokrasi, yaitu:

Masa demokrasi liberal (1945 – 1958) ditandai dengan tampilnya berbagai kekuatan sosial-politik, bahkan kelompok dan perorangan yang memiliki akses politik yang luas di peringkat nasional atau lokal. Persemaian demokrasi itu tumbuh berkat Maklumat Pemerintah yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta (1949) agar setiap kelompok yang ingin turut serta dalam pemerintahan baru setelah penyerahan kedaulatan dapat membentuk entitas politik formal. Dinamika politik mencapai puncaknya tatkala digelar pemilihan umum yang pertama di tahun 1955, yang disebut sebagai momen demokrasi yang bebas dan terbuka di masa awal pendirian Republik. Karena kuatnya pengaruh partai, maka sistem pemerintahan masa itu bergeser dari presidensial menjadi parlementer. Dari sisi politik, sistem manapun
yang diterapkan memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri Dari segi sosial-budaya, kita harus mengakui bahwa suasana kebebasan sipil cukup terjaga disamping idealisme yang masih kuat pasca
kemerdekaan. Masa demokrasi terpimpin (1959-1965) menyimpan luka yang dalam, karena kebebasan sipil yang baru tumbuh harus dikorbankan demi stabilitas pemerintahan. Sosok kepemimpinan Presiden Soekarno yang mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959 diakui berbeda dengan sosok Wakil Presiden Hatta, meski keduanya diapresiasi sebagai simbol duet kepemimpinan nasional yang ideal. Soekarno dikenal sebagai seorang agitator yang mampu membangkitkan semangat persatuan di tengah bangsa yang baru lepas dari penjajahan, sementara Hatta bersikap lebih tenang dan berpandangan jauh ke depan dengan memainkan peran administrator negara yang kompeten dan berintegritas. Disamping kedua tokoh itu tentu saja hadir banyak tokoh lain yang mewarnai perjalanan sejarah nasional, namun situasi pada masa itu diburamkan dengan munculnya kekuatan politik yang dominan beraliran komunis. Soekarno ternyata memilih beraliansi dengan kekuatan komunis dan menyingkirkan potensi Islam, nasionalis, dan
sosialis yang telah memberi kontribusi besar bagi pematangan kehidupan berbangsa. Kebijakan otoriterian mempengaruhi kondisi sosial-budaya yang bersifat antagonistik, sehingga Indonesia terancam perpecahan internal dan perang saudara yang hanya menghancurkan semua pihak. Masa demokrasi Pancasila (1966 – 1998) ditandai dengan koreksi atas kebijakan otoriterian dan politik agitasi. Orde Baru terbentuk sebagai aliansi berbagai kekuatan pembaharu seperti gerakan mahasiswa yang bersinergi dengan kalangan nasionalis (relijius maupun sekuler) dengan dukungan tentara. Pada awalnya juga
dimunculkan semangat kekaryaan dengan berbasis kompetensi modern sebagai pengganti kultur agitasi dan bombastisme tanpa kerja nyata. Namun, semangat itu selanjutnya berkembang menjadi pragmatisme, bahkan oportunisme yang menggerogoti idealisme awal, karena kebijakan pembangunan telah disalahpahami sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan kelompok masing-masing. Saat itu posisi masyarakat dan berbagai organisasi nonpemerintah sangat dilemahkan, karena kekuatan oposisi dianggap tabu dan kontrol publik dipandang campur tangan terhadap urusan pemerintah yang tiba-tiba merasa dirinya sakral. Bahkan, kebijakan yang paling mengancam kebebasan warga ialah diberlakukannya
asas tunggal Pancasila bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga justru menyebabkan Pancasila kehilangan elan vitalnya sebagai ideologi negara dan perekat dari kemajemukan masyarakat.

Ideologi yang dipaksakan akan mematikan kreativitas masyarakat dan meminggirkan aspirasi lokal yang mestinya memperkaya identitas nasional. Jika di masa Orde Lama kekuatan politik didominasi komunis, maka di era Orde Baru kekuatan militer yang dominan. Kondisi sosial-budaya mengalami kemandulan,
karena semua aspek kehidupan masyarakat hendak diseragamkan demi tercapainya target pertumbuhan ekonomi. Masa demokrasi transisional (1999 – sekarang) membuka semua keran politik dan hukum yang membelenggu kebebasan warga. Beragam kekuatan sosial-politik baru bermunculan dengan basis idealisme dan ideologinya masing-masing. Pada saat itu terbukti sekali lagi bahwa peran mahasiswa, kelompok pemuda dan masyarakat kritis amat penting dalam mendorong perubahan. Namun sayang, mereka tak mampu melakukan konsolidasi kekuatan reformis, sehingga akhirnya setelah masa eforia
berangsur surut, kekuatan elite politik dan ekonomi lama kembali naik panggung. Dari aspek sosial-budaya, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat telah membuka ruang kreativitas yang
tak terbatas. Tetapi, aktualisasi dari daya kreatif itu sangat ditentukan oleh tersedianya fasilitas dan kapasitas obyektif dari para pelaku baru. Dalam bidang informasi, misalnya, pada mulanya bermunculan media massa alternatif untuk menyuarakan aspirasi kelompok yang berbeda. Selanjutnya, mekanisme pasar membuat media yang bermodal besar saja yang mampu bertahan, sementara pemerintah tak bisa melakukan kontrol agar terjadi keseimbangan informasi publik. Akibatnya, terjadi konglomerasi media yang dipegang oleh segelintir pemodal dan menguasai bisnis media dari hulu sampai ke hilir. Sedangkan, informasi publik yang dijalankan Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia
(TVRI) tak mencapai hasil optimal karena kelemahan sumber daya dan ketidakmantapan kebijakan. Saat ini memang bermunculan pula pelbagai media lokal dan komunitas, namun jangan sampai media berskala terbatas itu juga dikuasai jaringan pemodal yang sama, sehingga dapat mematikan aspirasi masyarakat yang orisinal. Masa reformasi yang berkepanjangan jelas membutuhkan hadirnya kepemimpinan nasional yang kuat agar dapat mewujudkan cita-cita ”Indonesia Baru” yang pernah dicanangkan. Untuk itu, selain
menelusuri jejak sejarah kolektif, kita juga perlu mengevaluasi format kepemimpinan nasional di masa mutakhir, terutama yang berkembang di era transisi. Kesadaran akan peran pemimpin yang menentukan arah perjalanan bangsa dan membentuk identitas nasional menjadi niscaya.

Faktor Kultural

Manusia sebagai ”mahluk berbudaya” dibentuk oleh nilai dan simbol yang diyakininya, dan memiliki kemampuan untuk memberi makna serta penafsiran atas kehidupan yang dijalaninya. Manusia Indonesia juga dipengaruhi lingkungan fisik dan demografis, serta sistem nilai yang diwarisi dari zaman ke zaman. Pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha, dilanjutkan dengan kebudayaan Islam dan Barat, saling berinteraksi dengan nilai-nilai lokal. Pergulatan nilai itu membentuk karakter manusia Indonesia yang
bergerak dinamik. Karena itu, kita perlu menelaah karakter manusia Indonesia secara jujur dari sisi positif maupun negatifnya, lalu meramu suatu perpaduan nilai yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman di masa kini dan mendatang. Perdebatan tentang sistem nilai apa saja yang mempengaruhi kondisi masyarakat Indonesia pada era penjajahan mencuat dalam bentuk ”Polemik Kebudayaan” (1935). Saat itu tampil budayawan muda Sutan Takdir Alisjahbana yang menawarkan formula baru untuk mengangkat martabat bangsa yang sedang terpuruk akibat proses penjajahan yang panjang. Takdir menawarkan adopsi terhadap nilai baru yang datang dari Barat dan Islam untuk menggantikan warisan lama yang disebutnya ”Pra-Indonesia” dan bersumber dari Hindu-Budha atau kebudayaan India. Berbeda dengan Takdir, budayawan lain semisal Sanusi Pane, intelektual Dr. Sutomo dan Ki Hajar Dewantara menekankan tetap perlunya menggali nilai-nilai lokal untuk membentuk ”keindonesiaan” modern. Ki Hajar bahkan terkenal dengan definisinya tentang ”kebudayaan nasional”, yang kemudian dipakai di masa Orde Baru, sebagai ”puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah”. Definisi dan pemahaman semacam itu ditolak oleh Takdir yang mewakili generasi baru kaum intelektual Indonesia. Ia mempromosikan sikap terbuka terhadap kebudayaan dan peradaban yang datang dari luar. Dari momen perdebatan historik itu kita menyadari bahwa ketegangan antara sisi lokalitas dan globalitas telah terjadi sejak lama, dan hingga saat ini masih berlangsung. Sebelum menelaah format kebudayaan nasional yang cocok dengan kondisi Indonesia di masa kini dan mendatang, kita perlu menguliti secara obyektif siapa sesungguhnya yang disebut ”manusia
Indonesia”. Salah seorang budayawan, Mochtar Lubis (1977), mengungkapkan karakter asli manusia Indonesia sebagai bentuk pertanggung-jawaban intelektualnya. Lubis membeberkan sejumlah ciri negatif (misalnya: sifat munafik, enggan bertanggung-jawab, feodalistik, percaya takhayul, berwatak lemah, boros, malas, suka menggerutu, cepat cemburu, mengambil jalan pintas, mabuk kuasa, tukang tiru dll), disamping mengakui sifat positifnya (dekat dengan alam, artistik, dan spiritualistik). Kita perlu mengevaluasi, apakah proses reformasi telah mampu menekan ciri negatif dan memperkuat ciri positif dari karakter manusia Indonesia itu. Sebab, dari sanalah bisa dipetakan arah perubahan yang diinginkan. Satu hal telah pasti, mustahil kita melakukan perubahan sistem sosial, politik dan ekonomi nasional, apabila manusia yang menjadi faktor pelaku utama tidak kunjung berubah. Selain menguliti model manusia Indonesia secara obyektif, kita perlu melacak dimensi lokal dari identitas kemanusiaan yang
tercermin dari budaya dominan. Perlu dicermati, sejauhmana karakter ”manusia Jawa” yang secara nominal menempati posisi dominan dalam komposisi etnik kita turut membentuk wajah manusia Indonesia. Pada zaman Belanda, seorang peneliti John Joseph Stockdale (1811) menjelaskan watak manusia Jawa yang disebutnya lambat kerja, hingga dibutuhkan upaya keras untuk mendorongnya suka bekerja. Penilaian itu menjadi stereotipe bagi masyarakat yang hidup di wilayah tropik dan di bawah
pemerintahan despotik. Satu abad kemudian, anggapan miring itu dibantah keras oleh Syed Husein Alatas (1959), pemikir dari Malaysia yang menyanggah ”Mitos Pribumi Malas”. Bagi warga suku Jawa kini tak cukup lagi hanya membantah asumsi negatif, namun menggali aspek positif dan mengembangkannya sebagai kontributor utama bagi pembangunan karakter manusia Indonesia di era baru. ”Manusia Sunda”, menurut Ajip Rosidi (1984), berorientasi pada kekuatan dari dunia atas (kosmologi kuno), memperhatikan kecantikan yang seimbang, pekerja keras (adaptasi dan kreativitas), dan ulet (beretos kerja). Nilai-nilai itu tercermin dari dari tokoh-tokoh sastra Sunda yang tipikal -- seperti sosok Purbasari Ayu Wangi dari tataran Sunda kuno, duo wanoja luar biasa dari tataran kamari (Dewi Pramanik-Ratna Suminar), dan dari tataran kiwari (Raden Dewi Sartika). Karakter manusia bisa digali dari dunia mitos dan
realitas, kemudian dikelola dalam proses pendidikan berkelanjutan.

Itu perlu dilakukan karena suku Jawa dan Sunda merupakan mayoritas bangsa ini dan memiliki peran besar di berbagai bidang. Dalam sejarah kepemimpinan nasional, kita mengenal pemimpin dari kalangan non-Jawa, yakni Mohammad Hatta (Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden RI yang pertama) serta B.J. Habibie (Presiden RI ketiga). Mereka memiliki pengaruh tersendiri dibanding pemimpin nasional yang berlatar belakang Jawa atau Sunda yang dominan (Soekarno, Soeharto, Megawati dan Susilo
Bambang Yudhoyono). Pengaruh itu tak hanya mencakup dimensi komunitas, melainkan juga kultur birokrasi di saat mereka berkuasa. Fakta itu mempertegas urgensi keseimbangan antar budaya, sehingga kelompok etnik dominan tidak memonopoli klaim budaya nasional. Harus dieksplorasi terus-menerus kultur yang mungkin selama ini dipandang marjinal, seperti karakter khas ”manusia Madura” yang dijabarkan: tahan banting, ulet bekerja, teguh berprinsip, suka berpetualang, setia, hemat, ceria dan
humoris (Mien A. Rifai, 2007). Karakter positif itu seyogyanya menepis prasangka umum negatif, bahwa warga ”Pulau Garam” itu dinilai gampang marah dan suka kekerasan, termasuk suka menipu dan bersikap statis. Setiap komunitas memang memiliki kelemahan dan kelebihan. Tugas sebuah bangsa untuk mengakumulasi kelebihan warganya dan menekan kelemahannya. Pendekatan serupa bisa dilakukan terhadap ”manusia Minangkabau atau Bugis” yang sering dipandang membawa arus ”budaya seberang”.

Peran mereka bisa menjadi penyeimbang bagi budaya dominan supaya terwujud kondisi dinamik. Budaya Minang mungkin sulit dipahami orang komunitas lain, karena mereka memiliki ketinggian harga diri. Bagi orang Minang, berposisi rendah apalagi direndahkan adalah sesuatu yang sangat memalukan. Sistem kekerabatan yang mereka anut juga unik, yakni matrilineal dengan menjadikan ibu adalah tokoh sentral yang menyebabkan orang lain, baik laki-laki atau perempuan, berhimpun di sekitarnya. Keunikan lain dari suku Minang, sebagaimana Madura, ialah kebiasaan mereka untuk pergi merantau. Hal itu menyebabkan
mereka terbuka dengan tantangan baru dalam skala nasional maupun global, berbeda dengan karakter suku Jawa/Sunda yang lebih menyukai harmoni dan tinggal di tanah sendiri. Tetapi, kita harus berani melakukan kritik obyektif atas berbagai mitos yang melingkungi warisan budaya lokal, seperti tercermin
dalam sebuah lagu kanak-kanak tentang ”nenek moyangku orang pelaut”. Karakter masyarakat pantai acap dinisbatkan kepada suku Bugis karena peran mereka sebagai pedagang yang tak segan menyeberangi lautan. Padahal, menurut penelitian intensif Christian Pelras (1996), hal itu mitos belaka, karena sebagian besar anggota masyarakat Bugis adalah petani. Kegiatan laut masyarakat Bugis baru dimulai di abad ke- 18, atau seabad setelah armada laut Kesultanan Gowa dan Tallo dihancurkan VOC. Demikian pula kapal
Phinisi yang dikenal luas ternyata baru dibuat paling cepat di akhir abad ke-19 atau lebih tepatnya di awal abad ke-20. Pembongkaran mitos itu membuat kita semakin menyadari potensi nyata, disamping obsesi yang belum terpenuhi. Pelras tidak hanya mengkaji aspek material masyarakat Bugis, tapi juga aspek mental dengan menganalisis epik Galigo. Epik itu dianggap mencerminkan kosmologi dan aturan keagamaan Bugis pra-Islam. Dari aspek mental, dipaparkan pula bagaimana masyarakat Bugis sejak abad
ke-19 terserap ke dalam dunia moderen melalui globalisasi dan kolonialisme. Proses penyerapan inilah yang membawa perubahan sosial dan spiritual setempat. Suku lain tak hanya dipandang sebagai budaya marjinal, namun berpengaruh kritikal semisal Aceh dan Papua. Sebagian warganya mungkin bertanya, apakah mereka mewakili dan memberi kontribusi bagi identitas budaya nasional, karena apresiasi yang
diterima yak memadai. Perasaan sebagai warga bangsa yang satu mengalami tekanan permanen. Bila diamati, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Mereka terdiri dari delapan sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Semuanya mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang sangat berbeda satu sama lain. Pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552), warga Aceh dibagi menjadi empat kawom (kaum), yaitu 1) Kawom lhee reutoh (suku tiga ratus) yang berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli; 2) Kawom imuem peut (suku imam empat) berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang; 3) Kawom tol Batee (suku yang mencukupi batu) berasal dari berbagai etnis pendatang dari seantero tempat; dan 4) Kawom Ja Sandang (suku penyandang) adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.

Dengan formasi itu, bisa dibayangkan terjadinya kemajemukan di dalam suatu suku, disamping kemajemukan antarsuku yang membentuk keindonesiaan. Pada masa konflik dan penerapan darurat militer, kohesi sosial di Aceh amat rapuh. Setelah perdamaian terjadi dan pemilu lokal dilaksanakan dengan lancar, maka perlu dirajut proses kohesi baru yang menjamin hak semua warga. Hanya dengan cara itu, maka aspirasi lokal Aceh tak akan lepas dari bingkai nasional Indonesia. Proses serupa, meski terlihat lebih rumit, perlu dipikirkan untuk masyarakat Papua yang dari segi karakter paling mencolok
perbedaannya dengan suku lain di Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan warga Papua mewakili ras yang berbeda dari kebanyakan komunitas di Tanah Air. Salah satu upaya untuk mengakomodasi budaya lokal ialah dengan menampilkan tokoh-tokoh pemimpin lokal yang mampu mengartikulasikan kepentingan mereka di tataran nasional. Sayangnya, kaderisasi kepemimpinan nasional belum memungkinkan tumbuhnya sosok pemimpin lokal yang kritis, sehingga muncul gerakan perlawanan untuk mempertahankan identitas lokal.

Gesekan antar komunitas yang mempertentangkan aspirasi lokal versus pusat, atau yang mewakili kelompok mayoritas versus minoritas, tak cuma menyangkut perbedaan kultural, namun juga terkait ketimpangan sosial-ekonomi yang melatarinya. Isu perbedaan kepentingan antar kelompok pribumi dan non-pribumi (warga negara keturunan) masih bersifat laten hingga kini. Menurut Amy Chua dalam buku “World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability” (2003), jurang perbedaan kesejahteraan antara masyarakat Tionghoa dan pribumi sekarang memang sangat besar. Warga etnik Tionghoa yang berjumlah hanya 3% dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia,
ternyata menguasai 70% sektor bisnis dan ekonomi nasional. Untuk itu, diperlukan tindakan afirmasi guna mengangkat golongan masyarakat paling miskin dan terpinggirkan, seraya membenahi struktur ekonomi yang timpang. Dengan kebijakan yang konsisten, maka prasangka sosial yang berkembang terhadap suatu kelompok akan dapat dipupus. Pada akhirnya kebijakan sosial-budaya tak bisa dilepaskan dari kerangka kebijakan ekonomi dan politik nasional secara komprehensif.

Faktor Agama

Faktor agama dalam konteks perubahan sosial-budaya di Indonesia perlu disorot khusus, karena pengaruhnya sangat besar. Masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam (86,1%), dan selebihnya menganut Katolik (6,3%), Kristen (3,6%), Hindu (2,4%), Budha (1,4%) serta kepercayaan lain (0,2%). Secara resmi lima agama itulah yang diakui pemerintah, disamping Kong Fu Tsu yang coba diartikulasikan di masa transisi oleh para pemeluknya. Selain memeluk agama yang bersifat formal, harus diakui cukup banyak warga yang memeluk kepercayaan tradisional. Keragaman dalam beragama tidak menyebabkan Indonesia terpecah-belah, karena semangat toleransi dan saling menghargai perbedaan terus dikembangkan. Walaupun harus diakui terjadi gesekan di sejumlah daerah akibat miskomunikasi atau pemaksaan kehendak oleh sebagian pihak. Agama merupakan faktor sensitif sebagai perekat atau pemecah kesatuan sosial, karena itu peran tokoh agama menjadi sentral. Bila tokoh agama bersikap moderat dan terbuka, maka pemeluknya juga akan membentuk komunitas yang toleran dengan segenap perbedaan. Mereka akan bekerjasama dalam hal yang disepakati dan saling memahami dalam perkara yang tidak disepakati. Tabel 3-11. Komposisi Pemeluk Agama
1. Islam 86,1
2. Katolik 6,3
3. Protestan 3,6
4. Hindu 2,4
5. Budha 1,4
6. Lainnya 0,2
TOTAL 100
Sumber: Departemen Agama RI, 2005

Islam sebagai ”faktor budaya” telah mempersatukan Nusantara menjadi bangsa baru bernama Indonesia (Taufik Abdullah, 1996). Sejarah penyebaran Hindu dan Budha (abad 6-7 M) diikuti masuknya Islam (abad 8) mulai dari Samudera Pasai, Aceh. Kemudian merebak kerajaan Islam mulai dari Aceh, Jawa, hingga
Maluku dan Papua (abad 9-15). Interupsi penjajahan berlangsung sejak masuknya Portugis (membawa ajaran Katolik) dan Belanda (membawa ajaran Kristen), menimbulkan ketegangan dan perlawanan lokal. Kontribusi Islam terbukti dengan terbentuknya identitas nasional yang diawali organisasi modern pertama di Indonesia (Jamiat Khair dan Serikat Dagang Islam), lalu menjadi partai politik pertama di Indonesia (Syarikat Islam akhirnya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia). Semuanya memberi warna khas kebangsaan hingga perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah berhasil diraih tahun 1945. Walau berpenduduk mayoritas Muslim, namun interaksi sosial tetap menghargai perbedaan agama dan latar belakang lain. Pandangan Islam yang paripurna sebagaimana dirumuskan Mahmud Syaltur
(1966) mencakup ”Aqidah, Syariah dan Akhlaq” akhirnya membentukan sikap dan perilaku warga Muslimin secara individual dan kolektif. 1999 dan 2) Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid, Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2004. Faktor agama dipercaya dan dipraktekkan sebagai perekat bangsa dan pembentuk identitas nasional, bukan penggangu dan penghambat pembangunan bangsa. Berdasarkan temuan Yusnar Yusuf (2004) yang melakukan riset tentang ”Masjid sebagai Wadah Kepemimpinan dalam Pembangunan Negara: Sebuah Pengalaman Empirik di Indonesia”, peran agama sangat sentral dalam membentuk formasi sosial. Posisi masjid tak hanya dijadikan sebagai rumah ibadah, tetapi juga ruang publik untuk berinteraksi sosial di antara warga yang berbeda latar belakang sosialnya. Biasanya dalam struktur masyarakat tradisional, lokasi masjid berdekatan dengan pusat pemerintahan (istana keraton), ruang publik terbuka (alun-alun) dan pasar umum. Sementara dalam masyarakat yang bergerak maju, masjid juga terdapat di tengah perkantoran dan perumahan. Dari lanskap wilayah itu terlihat bahwa masjid menjadi titik temu untuk proses sosial, politik dan ekonomi warga. Apakah rumah ibadah non-Muslim memiliki fungsi serupa, masih perlu dilakukan penelitian tersendiri, tapi tampaknya bersifat lebih minimal. Tabel 3-13. Jumlah Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal Kelolaan Masyarakat
1. Majelis Taklim 170,186
2. Taman Pendidikan Al Qur’an 36,652
Sumber: Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan

Masjid, Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2004. Jumlah masjid di seluruh Indonesia (lihat Tabel 3-12) menunjukkan gejala menarik, termasuk juga laju pertumbuhannya. Bila diamati sejak tahun 1981 hingga 2003, maka jumlah total masjid dengan berbagai ukuran – termasuk mushalla dan langgar – berkembang dari 521.528 buah menjadi 643.834 buah. Jumlah terbesar berupa
langgar yang biasa digunakan komunitas terbatas, dari 372.050 (tahun 1981) menjadi 388.375 (2003). Namun, masjid jami’ yang digunakan untuk pertemuan semua kelompok seperti shalat Jum’at juga cukup banyak, dari 116.905 (1981) menjadi 193.225 (2003). Sebenarnya lebih penting dari sekadar peningkatan jumlah dan pembangunan fisik, pemenuhan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan warga Muslim belum optimal. Kecuali diisi dengan ibadah ritual, aktivitas masjid dimeriahkan oleh kelompok majelis taklim
dan pendidikan al Qur’an (lihat Tabel 3-13). Jumlah kelompok informal yang bergerak di masyarakat sudah pasti lebih banyak lagi dibanding data formal yang tersedia, karena program pemberantasan buta huruf al Qur’an telah menjadi gerakan nasional yang secara tak langsung telah mengangkat tingkat melek
huruf warga. Tugas pemerintah sesungguhnya untuk melakukan sinkronisasi program pemberantasan buta huruf latin dengan pemberantasan buta huruf al Qur’an, agar indeks pembangunan sosial meningkat.
Pentingnya peran pranata keagamaan dalam meningkatkan kualitas pendidikan warga dan selanjutnya membentuk karakter budaya nasional pernah diungkap oleh dr. Soetomo, salah seorang penganjur kebangkitan nasional, dan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. Dalam polemiknya dengan Sutan Takdir, kedua tokoh itu membela posisi ”pesantren” sebagai model pendidikan nasional yang memadukan fungsi transfer pengetahuan dan pembentukan akhlak (budi pekerti). Peran itu dipandang vital karena dapat menjaga keutuhan pribadi manusia Indonesia agar tidak larut dengan perkembangan zaman, atau mengalami keterbelahan kepribadian. Di masa modern, keadaan pesantren semakin berkembang dengan meningkatkan kualitas kurikulum dan bentuk pelayanannya, hingga bermunculan pula di berbagai kota, tak hanya di wilayah pedesaan. Demi memenuhi kebutuhan pendidikan di kota, maka berdiri model ”sekolah Islam terpadu” yang pada intinya bermaksud memadukan kurikulum pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Hal itu menunjukkan inisiatif masyarakat yang selalu tumbuh, walau dukungan pemerintah sangat terbatas. Masalah baru muncul, ketika institusi pendidikan Islam, khususnya
pesantren dicitrakan buruk dengan berkembangnya isu terorisme. Seakan-akan pesantren dan kelompok santri menjadi penganjur paham ekstrem dan terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan, seperti dikesankan dari pemberitaan media massa.

Pembentukan opini yang negatif itu hanya akan merugikan bangsa ini secara keseluruhan, karena pesantren dan berbagai model Islamic Boarding School menjadi alternatif untuk meningkatkan partisipasi
pendidikan warga. Kita harus memulihkan kembali citra yang telah dirusak itu dan meluruskan salah paham terhadap beberapa kelompok yang dipandang ekstrem atau radikal. Untuk itu diperlukan wawasan dakwah yang komprehensif dan moderat serta berorientasi pada kerja nyata, karena tantangan yang dihadapi umat dan bangsa amat berat – tak bisa hanya diselesaikan dengan militansi, namun membutuhkan kompetensi dalam beragam ilmu.

Masalah Modalitas

Disamping mengalami krisis identitas (siapa kita sebenarnya?), bangsa ini juga mengalami krisis modalitas (apa yang kita memiliki sesungguhnya?). Modal kebangsaan yang semakin tipis dan langka tidak dipupuk dan dirawat dengan benar, karena kebanyakan orang hanya sibuk memikirkan persoalan jangka pendek yang datang bertubi-tubi. Secara menyeluruh kita mengalami erosi, bukan akumulasi, nilai-nilai fundamental, sehingga kemungkinan mengalami defisit kebangsaan.

Modal Fisik

Sumber daya alam yang kaya tidak dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, sehingga eksploitasi menyebabkan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Kita bisa saksikan hal itu di sejumlah
daerah pertambahan yang kini memasuki fase akhir dari proses pemanfaatannya. Tak pernah dipikirkan sebelumnya,

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com