Kondisi Nasional dan Akar Permasalahan Bangsa (bagian I)

Merenungkan masalah bangsa memerlukan kearifan dan menghendaki disiplin berpikir sistemik. Tak ada satu pun persoalan bangsa yang terlepas kaitannya dari persoalan lain. Hubungan antar perkara itu dapat bersifat positif (membawa perbaikan) atau negatif(memperparah keadaan). Karena itulah kecermatan bekerja dan keluasan wawasan pada segenap komponen bangsa dihajatkan. Jangan sampai para pemimpin bangsa terjebak pada sikap parsial atau sektoral, bukan memecahkan keseluruhan masalah, malah
menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak dengan dahsyat. Sebagai bangsa yang beriman, kita patut menyimak dan menghayati kembali doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Doa itu bermakna: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan putus asa, aku berlindung kepada-Mu dari sifat hina dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari jiwa pengecut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari jerat utang dan dominasi orang lain” (HR Abu Dawud).

Doa itu menggambarkan sejumlah masalah yang mengepung setiap perorangan maupun kelompok, perkara yang bersifat individual maupun kolektif, yang harus ditanggulangi dan dihilangkan. Permasalahan berkembang kumulatif, makin lama makin menumpuk dan memuncak, sehingga akhirnya seseorang atau suatu bangsa tak bisa lagi mencari jalan keluar. Permasalahan pertama bersifat psikologis, yakni merajanya rasa cemas (anxiety) dan putus asa (despair). Kecemasan bermula dari ketidakpuasan terhadap situasi yang sedang berlangsung, dan kekhawatiran menyongsong masa depan yang serba tak pasti. Krisis dan tekanan yang silih berganti memburamkan pandangan, dan mengubur harapan yang tersisa. Yang tinggal hanya perasaan bersalah (guilty feeling), atau kebiasaan menyalahkan orang lain (“the enemy is out there”), tanpa kesanggupan melakukan introspeksi atau otokritik secara kesatria. Permasalahan peringkat kedua bersifat psikososiologis, yaitu sifat hina dan malas. Perasaan rendah diri menjangkiti, jika berhadapan dengan orang lain. Bahkan, kebiasaan mengisolasi diri dari pergaulan dengan sesama umat manusia tumbuh akibat takut bersaing. Ada bangsa yang merasa bodoh, miskin, dan terbelakang hanya karena faktor-faktor fisikal-materialistik belaka. Selanjutnya, tak ada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik, mencapai taraf yang sama di depan bangsa lain. Malas untuk menuntut pengetahuan dan pengalaman baru, menghadapi tantangan dan melampaui ujian yang sudah sewajarnya dilakoni demi mencapai prestasi yang lebih baik atau yang terbaik. Akhirnya bangsa ini menghibur diri dengan keadaan yang stagnan. Penyakit ketiga bersifat sosioantropologis, berupa jiwa pengecut dan kikir. Pada stadium ini, tak ada lagi semangat juang (fighting spirit) dan jiwa kepahlawanan (heroism), semuanya hanya cerita masa lalu yang dibangga-banggakan sebagai warisan nenek-moyang. Setiap orang merasa enggan untuk berkorban demi menyelamatkan masyarakat secara keseluruhan, sebab pengorbanan yang tulus (altruism) dipandang sebagai kesia-siaan dan tak akan menghasilkan kompensasi kongkrit. Dengan demikian, musuh utama bukan berada di luar diri, melainkan di dalam diri sendiri, termasuk kekikiran dan ketamakan pribadi yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Tak ada lagi keinginan untuk berbagi dengan orang lain, karena nafsu kepemilikan dan haus kekuasaan tak bisa dikendalikan.

Masing-masing orang mencari selamat sendiri, meskipun tahu perahu bangsa akan segera tenggelam.
Puncak dari permasalahan itu bersifat ekonomi-politis, yaitu jeratan utang dan dominasi kekuatan asing. Individu atau bangsa yang selalu cemas, serta malas berpikir dan bekerja biasanya suka mencari jalan pintas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus mendesak, sementara penghasilan terbatas, maka para pemalas cenderung memperbesar utang. Padahal, kekayaan terpendam yang dimiliki dan sumber daya yang menganggur masih berlimpah, namun tidak terkelola dengan baik. Jerat utang (debt trap) mulanya membuat orang hidup nyaman, karena tak perlu bekerja keras, cukup mengandalkan “kebaikan hati” orang lain. Namun, lamakelamaan utang itu membuahkan ketergantungan, bahkan ketundukan pada kekuatan asing. Penyaluran utang adalah modus imperialisme yang paling canggih, sebab bangsa yang ditaklukkan tidak merasa dirinya dijajah oleh para kapitalis global. Esensi doa Nabi ternyata memetakan secara tepat rangkaian permasalahan empiris atau penyakit individul dan sosial yang sedang kita hadapi. Sejak krisis ekonomi dan moneter satu dasawarsa silam, bangsa Indonesia belum berhasil lepas dari jerat masalah yang kini menjadi benang kusut krisis nasional multidimensional. Krisis ekonomi, politik, moral, dan budaya menjadi lebih mendalam. Perubahan yang sangat cepat, tatanan demokrasi yang belum mantap, arus globalisasi yang diawali dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, program pemulihan krisis yang belum tuntas diikuti pergantian pemimpin yang relatif cepat. Sementara tuntutan demokrasi, otonomi daerah dan kebebasan pers membuat pengelolaan negara tidak semudah dalam iklim otoritarian semi militeristik. Sementara tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat masih tergolong sangat rendah. Terjadi decoupling ekonomi-politik, dimana keterbukaan, kebebasan dan partisipasi masyarakat meningkat, namun tidak diiringi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan dan pengangguran justru meningkat di tengah arus demokratisasi. Bahkan, demokratisasi dan otonomi daerah telah menyebarkan virus KKN, bukan hanya secara teritorial, tetapi secara faksional di lembaga-lembaga seperti legislatif, partai politik, lembaga sosial dan lain-lain. Kita menyadari, melalui mekanisme otokritik kolektif yang serius, bahwa memahami persoalan atau mendeteksi penyakit lebih diutamakan ketimbang mencari solusi dan mencoba terapi yang bersifat spontan dan sporadik.

Solusi tuntas hanya mungkin berdasarkan pemahaman atas akar masalah yang komprehensif. Masalah-masalah ini kita kelompokan dalam bidang politik, perekonomian dan sosial-budaya.

Bidang Politik

Politik adalah “aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan serta mengantarkan kepada keadilan.” (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Al-Siyasah Al-Hakimiyyah ). Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam penyelengaraan negara untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik dengan mengambil berbagai keputusan-keputusan yang otoritatif. Putusan itu berupa program, anggaran, regulasi maupun penentuan pejabat dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional, berupa kesejahteraan dan keamanan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam rangka menggerakkan pembangunan nasional pasca-krisis di era globalisasi, maka dibutuhkan iklim politik yang kondusif, yakni terciptanya stabilitas keamanan dan politik dalam negeri yang mantap, sehingga investasi dan pariwisata asing tertarik datang ke Indonesia dan tumbuh secara normal. Selain itu, modal asing yang telah ada di dalam negeri tidak ke luar merelokasi usahanya ke luar negeri. Berbagai upaya pembangunan politik diarahkan untuk menciptakan stabilitas politik yang sehat dan dinamis yang menghasilkan pemerintahan yang efisien dan efektif, namun tetap dapat menyerap aspirasi publik yang plural dengan spektrumnya yang luas. Kondisi nasional dan akar permasalahan politik meliputi aspek ketatanegaraan, politik nasional, hukum, birokrasi, otonomi daerah dan hankam.

Masalah Ketatanegaraan

Globalisasi dengan semangat transparansi dan demokratisasi dengan nilai positif dan negatifnya ternyata meminta korban hancurnya federasi Uni Soviet, Yugoslavia dan meruntuhkan Tembok Berlin. Fenomena itu sebelumnya tidak terpikirkan sejarah. Negara adidaya Amerika Serikat kini berdiri tegak tanpa lawan, China dan India baru bangkit menyongsong perubahan sebagai calon negara adidaya baru. Sementara, Indonesia masih tertatihtatih bangkit dari keterpurukan di tengah proses pemulihan ekonomi dan reformasi politik. Dalam keadaan yang serba transisional, institusi sosial-politik yang belum mapan, mentalitas aktor politik-ekonomi yang masih belum stabil, penegakan hukum yang masih bersifat tebang-pilih, serta birokrasi yang yang lamban dan sarat KKN, maka perlu dilakukan pembenahan ketatanegaraan.Bila tidak menempuh jalan yang tepat, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara gagal (the failed state).

Mengikuti cara berpikir F. Fukuyama (2004) ada dua dimensi penting pengelolaan negara, yakni: pertama berkaitan dengan dimensi fungsi dan kedua berkaitan dengan dimensi kekuatan menjalankan fungsi. Dimensi fungsi mencakup ruang lingkup pengelolaan negara, apakah minimal, pertengahan atau aktif. Dimensi kekuatan negara berkaitan dengan kemampuan menjalankan dan menegakkan fungsi-fungsi yang diembannya demikian luas. Di sisi lain, pasca krisis ekonomi, tatanan politikekonomi yang masih transisional, menuntut pemantapan dan redefinisi peran negara secara lebih tegas. Fungsi minimal negara dalam aspek pertahanan, keamanan, hukum, jaminan kepemilikan pribadi, manajemen makro ekonomi, dan kesehatan masyarakat serta program-program anti-kemiskinan dan penanggulangan bencana adalah jelas merupakan fungsi-fungsi negara yang harus dan menjadi kewajiban negara untuk menegakkannya, meskipun dalam kekuatan yang terbatas. Sementara itu fungsi pertengahan negara dalam kaitannya dengan eksternalitas seperti pendidikan dasar dan proteksi lingkungan serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan monopoli juga masih menuntut peran pemerintah. Peran pemerintah semakin lama semakin berkurang bersama dengan tingginya partisipasi masyarakat.

fungsi negara yang aktif namun dengan kekuatan lemah) bergerak menuju kuadran I (posisi dengan fungsi negara yang minimal, namun dengan kekuatan yang tinggi). Secara ideal, negara bergerak dari fungsi aktif menjadi fungsi minimal bersama tumbuhnya kekuatan negara. Permasalahan yang relevan adalah seberapa kuatkah negara Indonesia ini dalam menjalankan fungsi minimalnya? Sudah minimal cukupkah negara Indonesia menjalankan dan menegakkan fungsinya di bidang pertahanan, keamanan, hukum, kepemilikan pribadi, manajemen makro ekonomi, dan kesehatan masyarakat, sehingga masyarakat merasa aman dan tentram? Apakah programprogram antikemiskinan dan penanggulangan bencana sudah mampu mengentaskan mereka yang menderita? Inilah akar dari kondisi destabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara yang ada. Di sisi lain, reposisi lembaga-lembaga kenegaraan belum berjalan mulus. Mekanisme kerja yang belum mapan dalam suprastruktur politik diperumit dengan munculnya tokoh-tokoh politik yang belum matang. Tak ada lagi tokoh sekelas para Pendiri Bangsa yang mampu menelurkan kebijakan atau menghadirkan konvensi menuju tatanan kenegaraan baru. Lembaga-lembaga penting, semisal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) wajah baru. Tetapi, bagaimana peran optimal DPD, DPR, dan MPR baru itu belum gamblang. Lembaga penting lain seperti Mahkamah Konstitusi bertugas mengadili sengketa politik tingkat tinggi antar lembaga negara dan mengevaluasi perubahan undang-undang telah bekerja, namun menyimpan kekhawatiran tersendiri.Pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan dengan empat hal besar dalam tata kelola pemerintahan yang baik , meliputi: sistem politik, penegakan hukum, birokrasi, dan otonomi daerah. Masalah institusi politik-hukum-birokrasi berhubungan dengan:
(1) kelemahan regulatory body untuk mengantisipasi perubahan dalam bidang
ekonomi dan politik yang berlangsung cepat,
(2) ketidaksiapan institusi untuk berubah dan mentransfer diri ke dalam sistem good
governance (dengan karakter utama: tata pemerintahan yang berwawasan ke depan, transparan, akuntabel, menerapkan prinsip meritokrasi, kompetitif, mendorong partisipasi publik, dll.),
(3) pengetahuan akan desain organisasi/institusi yang bersangkutan baik internal, maupun dalam hubungannya dengan fihak-fihak eksternal organisasi, dan
(4) ambiguitas institusi—berupa ketidakjelasan tugas pokok, fungsi dan peran lembaga-lembaga negara.

Masalah Politik Nasional

Realita politik yang terpampang di depan mata kita ditandai dengan beberapa catatan penting anomali atau kontradiksi politik. Pertama, sistem presidensial multipartai.
Sementara kita menganut sistem pemerintahan presidensial -- bahkan dengan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden dalam satu paket-- namun parlemen kita menganut sistem multipartai. Karenanya muncul kasus, dimana presiden yang terpilih secara langsung, ternyata didukung oleh partai yang relatif kecil di parlemen. Presiden memang memiliki legitimasi yang kuat, karena dipilih langsung oleh rakyat dan semakin sulit untuk dijatuhkan, namun tanpa dukungan parlemen berupa dukungan program, anggaran, legislasi (termasuk ratifikasi perjanjian internasional), serta penetapan personil (Duta Besar, Panglima TNI, dll.), maka kesuksesan Presiden untuk mengelola negara akan lemah.
Dalam kondisi politik saat ini, sulit untuk menjatuhkan pemerintahan, karena Presiden dipilih langsung oleh masyarakat.
Namun sukses dan tidaknya pemerintah dalam mengemban amanat rakyat sangat bergantung pada keharmonisan hubungan antara pemerintah dan parlemen. Dengan demikian, dalam praktek,
sebagaimana dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tetap dilaksanakan semacam “koalisi” pemerintahan berupa ruling parties, yang merupakan gabungan parpol di parlemen yang mendukung pemerintah. Realitanya, alih-alih “koalisi” tersebut bersifat permanen, tetapi lebih bersifat situasional bergantung kondisi internal dan eksternal parpol pendukung pemerintah tersebut. Sejarah memperlihatkan Partai Golkar yang semula merupakan lawan dari SBY ketika pilpres bersama berkoalisi dengan PDI-P dan PPP dan partai yang lebih kecil membentuk Koalisi Nasional (48% suara Pemilu April 2004) untuk mendukung Megawati. Sebagai respons Partai Demokrat, PBB, PKPI, PKS, PAN dan partai yang lebih kecil membentuk Koalisi Kerakyatan (24% suara Pemilu April 2004) untuk mendukung SBYJK.
Pada akhirnya SBY-JK mengalahkan Megawati dengan suara 61% lawan 39%. Partai Golkar yang semula merupakan lawan dari SBY ketika pilpres, namun setelah SBY-JK menang, dan dua bulan kemudian (Desember 2004) JK terpilih menjadi Ketum Partai Golkar, maka posisi Golkar pun segera berubah menjadi partai pendukung pemerintah. Dalam sudut pandang ini tampaknya budaya koalisi dan budaya oposisi belum tumbuh mapan. Bahkan koalisi dalam Pilpres terkesan berbeda dengan koalisi di parlemen.
Padahal setelah presiden terpilih, koalisi mestinya berlanjut di parlemen, dalam rangka mendukung pemerintah. Meski tidak mentradisi, praktis setiap bulan Oktober, wacana “tarik” dan “lepas”
dukungan dimunculkan oleh partai-partai pendukung pemerintah dalam kaitannya dengan bargaining position kader mereka dalam kabinet SBY.

JK sebagai Wakil Presiden sangat aktif tidak sekadar berperan “ban serep” sebagaimana posisi Wapres di era Orde Baru. Partai Golkar pendukung JK mempunyai kekuatan lebih dari dua kali lipat dari
Partai Demokrat pendukung SBY. Ada yang membayangkang JK lebih aktif di pemerintahan, lebih berkuasa dibanding Presiden sendiri. Bagaimanapun hubungan personal keduanya, tampak jelas
bahwa sistem multipartai di parlemen telah membuat ketidakseimbangan kekuatan di antara mereka menjadi mungkin. Dengan kata lain “koalisi” yang terjadi ini sangat rawan dan tidak permanen. Karenanya dapat diprediksi ketika citra pemerintah terpuruk, maka para parpol pendukung pemerintah dapat lari
tunggang langgang meninggalkan ”koalisi”, khawatir kecipratan citra terpuruk itu. Apalagi ketika menjelang akhir-akhir masa pemerintahan atau menjelang pemilu tahun 2009. Akibat yang
dihasilkan adalah pemerintahan yang tidak efisien dan efektif. Untuk menyikapi kondisi ini, maka jalan keluar yang sederhana adalah bagaimana merancang sistem demokrasi dimana Presiden, meski dipilih langsung oleh masyarakat namun mendapat dukungan oleh parpol di parlemen. Pilihan model untuk itu secara generik yang tampak berpeluang hanya dua yakni: (1) sistem parlementer seperti tahun 1950-an, atau (2) sistem presidensial dengan jumlah partai yang lebih sedikit. Membandingkan kedua model demokrasi tersebut akan terlihat, bahwa model Parlementer memang menyediakan basis dukungan
yang kuat bagi pemerintah terpilih, karena Perdana Menteri dipilih oleh parlemen, artinya pemerintah akan didukung penuh oleh parlemen. Namun dalam praktek di berbagai negara termasuk pengalaman kita di masa Demokrasi Parlementer tahun 1955-an, koalisi permanen dalam parlemen nyatanya tidak terbentuk.

Komposisi ”koalisi” berubah secara situasional dan kondisional, akibatnya pemerintah jatuh dan berganti berkali-kali. Sejarah memperlihatkan akhirnya Demokrasi Terpimpin menjadi solusi otoritarian dari konflik parlementer yang tak berkesudahan. Berdasarkan pertimbangan ini, maka Sistem Demokrasi
Presidensial dengan jumlah partai sedikit lebih menguntungkan dalam mendukung stabilitas politik nasional. Karena dengan sistem ini memungkinkan munculnya ruling parties yang lebih sederhana--
namun dominan--, sehingga koalisi yang relatif lebih permanen dapat terwujud. Penetapan batas ambang parpol peserta Pemilu atau sistem distrik dapat secara efektif menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Jadi pilihan untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu adalah upaya untuk menumbuhkan pemerintahan yang stabil, efektif dan efisien, namun juga mengakomodasi kondisi spektrum pluralitas politik yang ada di Indonesia. Karenanya memang eksperimentasi demokrasi seperti
ini mesti dilakukan secara bertahap dan gradual. Kedua, legislatif heavy dalam sistem Presidensial.
Harus diakui, bahwa dalam semangat UUD-45 hasil empat kali amandemen—sebagai arus balik dari era otoritarian rejim Orde Baru—nampak kecenderungan legislative heavy, dimana DPR mempunyai peran yang kuat dan dominan dalam hal-hal dukungan program, anggaran, legislasi (termasuk ratifikasi perjanjian internasional), serta penetapan personil (Duta Besar, Panglima TNI, dll.). Padahal sistem pemerintahan presidensial sebenarnya mensyaratkan executive heavy, agar pemerintahan dapat kuatimplementatif menjalankan amanat rakyat pemilih. Kondisi ini tidak terlalu bermasalah, andai pemerintah didukung kuat oleh parlemen, artinya mekanisme chek and ballances dapat bergulir dengan sehat dan dinamis. Namun bila kondisi itu tidak terwujud, maka akan memacetkan jalannya roda pemerintahan. Karenanya segaris dengan persoalan anomali pertama, eksistensi sistem Demokrasi
Presidensial dengan jumlah partai sedikit lebih menguntungkan dalam rangka mewujudkan stabilitas politik nasional. Ketiga adalah terjadinya fenomena decoupling ekonomi-politik. Saat ini, dimana kebebasan dan keterbukaan diperoleh secara luar biasa, bahkan terjadi euforia politik, namun nyatanya kesejahteraan rakyat, masih belum terwujud. Padahal semestinya demokrasi, kebebasan dan keterbukaan adalah alat bagi kepentingan nasional, yakni mewujudkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat,
bangsa dan negara. Ketika politik dan demokrasi proseduralformalistik di era Orde Baru runtuh, yang muncul adalah demokrasi liberal-transisional di era reformasi. Padahal yang kita inginkan adalah demokrasi yang dewasa, substansial, dimana demokrasi adalah alat bagi kepentingan nasional demi terwujudnya keamanan dan kesejahteraan bagi segenap warga bangsa. Dari empat kuadran tersebut, kondisi yang ideal terjadi bilamana masyarakat merasa bebas dan sejahtera. Kondisi yang memprihatinkan dan ditolak masyarakat adalah kondisi dimana masyarakat terpuruk secara ekonomi dan secara politik tidak bebas. Masyarakat kurang bisa menerima kondisi politik yang bebas, namun mereka menderita secara ekonomi. Menjawab pertanyaan “mana yang lebih baik kondisi Indonesia di bawah Presiden Soeharto ataukah kondisi Indonesia saat ini di bawah Presiden SBY?” Serta pertanyaan “saat ini sudah 8 tahun era reformasi bergulir. Indonesia pernah berada di masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Menurut penilaian Saudara mana yang lebih baik dari kondisi ekonomi Indonesia, apakah di masa Orde Lama, Orde Baru atau Orde Reformasi?”

Survei nasional Lingkaran Survei Indonesia pada Mei 2006 di seluruh populasi menyimpulkan, bahwa meski Orde Baru tercatat sebagai rezim yang banyak melakukan pelanggaran HAM, dan membelenggu kebebasan, serta sangat tidak demokratis, namun demikian banyak publik yang rindu terhadap kondisi Indonesia selama Orde Baru dengan ekonomi yang stabil. Sebanyak 62.3% publik Jakarta menilai lebih baik berada pada masa Orde Baru dibanding sekarang ini. Untuk bidang ekonomi, sebanyak 69.6%
publik Jakarta menilai kondisi ekonomi di masa Orde Baru jauh lebih baik dibanding Orde Reformasi. Kalau boleh memilih antara kebebasan dan kesejahteraan masyarakat, maka bayak orang lebih
memilih kesejahteraan ekonomi ketimbang kebebasan politik saja. Evaluasi positif atau negatif terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi seperti partai, DPR, atau Presiden dipercaya berakar dalam evaluasi publik atas kinerja ekonomi nasional, yakni apakah keadaan ekonomi nasional tahun ini menjadi lebih baik, lebih buruk, atau sama saja, dibanding tahun lalu. Bila keadaan ekonomi nasional dirasakan lebih baik, maka pada gilirannya lembagalembaga demokrasi seperti partai, DPR, dan Presiden juga dinilai
berkinerja baik, dan kemudian muncul rasa puas di masyarakat bagaimana demokrasi kita dipraktekan. Pada akhirnya publik menjadi semakin yakin bahwa demokrasi memang sistem politik terbaik.

Masalahnya, sejak otoritarianisme Soeharto tumbang umumnya masyarakat tidak pernah merasa bahwa keadaan ekonomi sekarang lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu sekitar satu windu, rata-rata anggota masyarakat yang merasakan bahwa keadaan ekonomi nasional sekarang lebih baik dari tahun sebelumnya hanya sekitar 24%. Sejak tahun 1999 hingga sekarang memang ada perbaikan, misalnya dari 7% pada tahun 1999 menjadi 28% pada tahun 2001. Pernah mencapai perbaikan tertinggi pada tahun 2004 ketika masa pemilihan umum. Tapi tidak melampuai 35%. Siapapun pemimpin nasionalnya dalam delapan tahun terakhir, publik pada umumnya tidak merasakan bahwa keadaan ekonomi nasional menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Persoalan ekonomi ini merupakan persoalan lintas kepemimpinan nasional, dan seperti akan ditunjukan di bawah, bahwa masalah ekonomi ini berhubungan secara berarti dengan kinerja lembagalembaga demokrasi, kepuasan publik atas praktek demokrasi, dan dukungan terhadap keyakinan bahwa demokrasi merupakan sistem
politik terbaik. Evaluasi terhadap kondisi ekonomi nasional berhubungan secara berarti dengan evaluasi terhadap lembagalembaga demokrasi, dan juga secara langsung dengan evaluasi atas praktek demokrasi secara umum. Warga yang merasa keadaan ekonomi nasional sekarang lebih baik cenderung juga menilai
bahwa lembaga-lembaga demokrasi berkinerja baik, dan juga cenderung lebih positif dalam menilai praktek demokrasi kita. Pola hubungan seperti itu mengindikasikan bahwa lambatnya pemulihan
ekonomi bisa berdampak negatif terhadap kepuasan publik terhadap praktek demokrasi di negara kita, dan pada akhirnya masyarakat semakin tidak yakin bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik atau paling pas untuk negara kita. Dengan kata lain, legitimasi atas konsolidasi demokrasi kita potensial terancam oleh lambannya pemulihan ekonomi nasional. Pola hubungan antara kinerja ekonomi nasional dan kinerja lembaga-lembaga demokrasi tersebut bersifat konsisten dan penting. Analisis ini menunjukkan bahwa demokrasi kita bisa terselamatkan, atau terancam keberlangsungannya, tergantung
pada kinerja lembaga-lembaga demokrasi, terutama presiden, DPR, dan partai politik. Sedanng, kinerja lembaga-lembaga itu di mata publik tergantung pada seberapa baik kekuatan kolektif mereka untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Dari kenyataan itu, maka ke depan upaya untuk melakukan coupling antara ekonomi dan politik menjadi penting. Kondisi politik yang sehat dan stabil sangat dibutuhkan sebagai basis yang baik bagi pembangunan ekonomi. Keempat adalah demokrasi yang inefisien.

Sekarang ini harus diakui, bahwa dalam suatu daerah dapat terjadi beberapa kali pilkada/pemilu mulai dari level Kabupaten/Kota, Propinsi, kemudian pemilu dan pilpres di tingkat nasional. Dengan model demokrasi yang ada, calon peserta pilkada/balon aleg harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk keperluan kampanye politik, baik yang transparan ataupun tidak. Model demokrasi mahal seperti itu, mengurangi kesempatan bagi calon berkualitas yang tidak kaya-raya, atau dengan kata lain model
ini hanya cocok untuk calon yang kaya-raya terlepas dari bobot kualitas yang bersangkutan. Tentu saja demokrasi seperti ini sangat inefisien dan rawan politik uang. Karenanya ke depan perlu dikembangkan model demokrasi yang lebih sehat yang mampu menjaring calon yang berkualitas melalui sistem yang lebih sederhana, efisien dan murah. Kelima adalah persoalan kepartaian. Konflik internal partai, pecahnya partai lama dan pembentukan partai baru adalah penyakit dalam tubuh partai seiring dengan munculnya eufhoria kebebasan. Budaya berpartai belum tumbuh. Ideologi partai dan sistem kaderisasi lebih tampak hanya sebagai slogan teoritis. Kenyataannya di lapangan, sikap pragmatisme menjadi denyut nadi partai politik. hasil survei Kompas (September 2007). Secara umum, 63,9 persen responden mengakui, parpol saat ini cenderung mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat. Bahkan, fenomena tersebut juga diakui 52 persen responden terhadap parpol pilihan mereka. Pertanyaannya, apakah untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat parpol harus memenangi kekuasaan terlebih dahulu? Responden (50,8 persen) tidak percaya kesejahteraan rakyat hanya bisa diperjuangkan setelah parpol mendapatkan
kekuasaan. Faktanya, hampir semua parpol yang memegang kekuasaan, baik di eksekutif maupun di legislatif, melupakan rakyat begitu kekuasaan sudah ada di tangannya. Bagi sebagian masyarakat, kepercayaan mereka terhadap parpol tidak sedikit yang disalahgunakan para elitenya. Wajar saja kalau sebagian besar (63,9 persen) responden mencurigai parpol saat ini cenderung dijadikan sebagai komoditas (barang dagangan) untuk kepentingan elite-elitenya. Menguatnya kepentingan pribadi dalam orientasi perjuangan parpol bisa dirasakan juga oleh publik dengan melemahnya pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan parpol saat ini. Munculnya kepentingan yang beragam di balik faksionalisme yang berkembang saat ini mencerminkan gagalnya parpol mengompromikan perbedaanperbedaan
tersebut. Fungsi agregasi (menggabungkan kepentingankepentingan) publik tidak berjalan. Kegagalan itu tercermin dari ungkapan 72 persen responden yang tidak puas dengan kinerja parpol dalam menangkap aspirasi masyarakat. Selain agregasi politik, parpol juga memiliki fungsi artikulasi politik, yaitu mengolah
berbagai kepentingan yang sudah diagregat menjadi sebuah rumusan yang teratur, entah sebagai program atau strategi perjuangan partai. Fungsi ini pun tidak dirasakan oleh publik. Mereka mengaku, parpol gagal mengartikulasikan kepentingan mereka (67,4 persen). Secara eksternal, parpol juga dinilai gagal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Ketidakmampuan parpol dalam mengartikulasikan kepentingan publik membuat fungsi partai dalam perumusan kebijakan ikut mandek. Padahal, parpol memiliki kader-kader yang berkualitas di legislatif untuk ikut merumuskan kebijakan publik bersama pemerintah. Melemahnya kontrol partai terhadap pemerintah bisa jadi disebabkan oleh terkooptasinya parpol ke dalam pemerintahan. Hampir semua partai diberi jatah kekuasaan sehingga sikap oposisi terhadap pemerintah hampir tidak ada. Sebagian besar (67,9 persen) responden setuju bahwa parpol saat ini cenderung berpihak kepada pemerintah daripada menjadi oposisi. Sementara PDI-P sebagai satu-satunya partai yang secara terbuka menyatakan sikap oposisi terhadap pemerintah juga masih belum maksimal dalam
menjalankan perannya. Ketidakjelasan sikap parpol terhadap pemerintah barangkali merefleksikan ketidak konsistenan partai menjaga haluan perjuangannya. Semangat perjuangan yang biasanya lekat dengan ideologi yang dibawa bisa saja berubah, tergantung kepentingan yang ditawarkan. Lebih dari separuh responden menganggap parpol telah berpaling dari ideologi dan konstituennya. Tingkat kekritisan parpol dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah dengan sendirinya melemah. Hal ini bisa dilihat dari sikap partai-partai besar—terutama yang terkooptasi oleh pemerintah—yang lebih
banyak mengambil posisi sebagai mitra pemerintah. Masih sedikit— bahkan hampir tak ada—partai yang mau menempatkan dirinya sebagai agregator kepentingan masyarakat. Partai-partai politik di Indonesia, tampaknya, memang berdiri hanya dengan satu tujuan kekuasaan. Kegairahan sebagai artikulasi kepentingan masyarakat nyaris tak tampak. Partai sebagai instrumen bagi saluran aspirasi rakyat, agregasi berbagai kepentingan, serta wadah pendidikan politik rakyat menjadi mandeg dan rapuh. Yang muncul dalam partai adalah rebutan kursi dan kepentingan. Upaya memodernisasi manajemen
partai politik tidak terlihat. Alih-alih partai politik memunculkan tokoh-tokoh politik berkualitas, yang terpampang malah politikus yang lemah dari aspek kapasitas, integritas, dan moralitas serta berkembangnya kekerasan politik. Partai politik mudah dipengaruhi sponsor pengusaha. Akibatnya tulang-punggung negara dalam mengelola konflik, yakni partai politik, menjadi tidak jelas statusnya.
Yang marak adalah political corruption melalui berbagai bentuk dan aromanya seperti rent seeking. Kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik muncul dengan gerakan golput
dan calon perorangan dalam pilkada. Karena itu reformasi kepartaian adalah agenda penting yang menjawab akar persoalan demokrasi di Indonesia. Penetapan batas ambang untuk penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu menjadi niscaya dalam rangka pembinaan politik, serta berbagai bentuk pendidikan politik lainnya. Masalah utama kita adalah bagaimana membangun sistem demokrasi yang lebih akomodatif dan aspiratif terhadap keragaman baik etnik, agama, maupun ideologi yang ada di Indonesia, namun cukup kuat menopang pemerintahan yang dihasilkan untuk bekerja efisien dan efektif dalam mengelola negara demi mensejahterakan rakyat. Jumlah partai yang lebih sederhana, sistem distrik yang dapat menghasilkan partai di parlemen yang sederhana, pemilihian presiden yang lebih dulu sebelum pemilihan legislatif, adalah opsiopsi penting untuk dipertimbangkan.

Masalah Kepemimpinan Nasional

Sejarah kepemimpinan nasional dapat dikatakan berakhir dengan sepinya gemuruh tepuk tangan dan puja-puji. Bahkan, para pemimpin kita selalu saja jatuh tersungkur di akhir masa kepemimpinannya secara tragis. Tragedi kepemimpinan nasional di panggung sejarah penuh dengan nestapa, yang bahkan rintihannya menyentuh rasa kemanusiaan terdalam. Tidak jauh dengan apa yang ditulis Ibnu Khaldun dalam Mukadimah-nya tentang sejarah para dinasti, yakni ada masa-masa muda, masa jaya dan masa tua.
Namun dalam konteks Indonesia, kepemimpinan nasional di masa tua sungguh mengenaskan. Bisa dilihat masa akhir kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya, yang harus tersungkur bersama dengan penumpasan Gerakan 30 September/PKI. Penggantinya, Soeharto, tidak lebih baik. Masa akhir
kepemimpinan Soeharto sarat dengan KKN yang dituduhkan kepadanya dan keluarganya, lalu tumbang di atas altar reformasi yang digerakkan mahasiswa. Sejak itu hujatan tidak berkesudahan hingga hari ini.

Kasus-kasus KKN era Suharto dan anak-anaknya masih terus bergulir. Habibie, terlalu pendek bagi ukiran sejarah kepemimpinan nasional kita. Tidak banyak tragedi yang bisa tertulis, namun ketika Abdurrahman Wahid naik ke pucuk pimpinan nasional, hukum besi sejarah Ibnu Khaldun sepertinya kembali berlaku. Masa bulan madu pemerintahan Wahid tidak terlalu lama, setelah itu adalah riuh-rendah demonstrasi yang berakhir dengan pemakzulan, suatu babakan tragis kepemimpinan di masa transisi. Wahid harus tersungkur dari altar kepemimpinannya dengan cara yang hampir mustahil di negeri ini, tapi itulah fakta sejarah. Dalam rentang waktu yang pendek (1998-2004), Indonesia mengalami proses suksesi kepemimpinan nasional berkali-kali, namun semuanya tidak memuaskan hati. Penjelasan yang paling sederhana dan bisa dinalar dengan mudah adalah adagium bahwa “pemimpin adalah produk masyarakatnya”.

Pemimpin nasional adalah cermin dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Perlakuan rakyat terhadap pemimpinnya adalah refleksi sikap budaya itu. Ketika mitos ”Ratu Adil” (messianism)
masih mengontrol alam bawah sadar budaya masyarakat kita dalam memilih pemimpin, maka pemimpin dipaksa menjadi “setengah dewa” yang tercerabut dari bingkai kemanusiaannya. Atas nama kharisma, harapan setinggi langit disandangkan kepadanya. Maka, siapa menabur harapan akan menuai kecewa. Itulah yang terjadi, ketika aspek kemanusiaan dari seorang pemimpin muncul saat rakyat terbangun dari mimpi, bersama kesadaran kehidupan ekonomi dan politik harian yang tak kunjung sesuai harapan.
Kesadaran itu umumnya datang terlambat. Sang pemimpin sudah terlanjur jauh melenceng, dan kenyataan sudah semakin jauh dari harapan. Borok pemimpin sudah menjadi nanah yang menjijikan.
Ratu Adil sudah berubah menjadi “Buto Ijo”, yang caci-maki dan sumpah-serapah pantas dilontarkan kepadanya.Sesungguhnya pemimpin bukan datang dari langit dengan kekuatan superanatural. Mereka diciptakan oleh masyarakatnya, muncul dari sistem sosial-politik yang ada dengan mekanisme dan aturan main tersendiri. Pemimpin adalah bagian dari masyarakat dan muncul dari dalam masyarakat dengan segenap konteksnya. Dia tidak dimunculkan, tetapi muncul dengan sendirinya sesuai takdir yang
melingkupinya. Karenanya, masyarakat rasional akan melahirkan pemimpin yang rasional. Masyarakat yang memaksakan “Satria Piningit” akan menuai kekecewaan sejarah.

Tidak banyak pilihan bagi kita untuk memunculkan kepemimpinan nasional, selain kesadaran sejarah, bahwa: pertama masyarakat perlu rasional dengan harapan dan cita-cita perubahannya. Mitos
Ratu Adil dan superpersonal pemimpin yang mencabut akar kemanusiaan mereka adalah sikap yang tidak proporsional dan bahkan secara langsung menyiapkan jebakan bagi sang pemimpin untuk menjadi diktator yang menyengsarakan rakyat dan diri mereka sendiri. Rakyat perlu rasional dengan kondisi sosial-politikekonomi bangsa serta masalah dan tantangan zaman yang ada. Secara rasional, pemimpin adalah sosok yang akan diperhadapkan dengan tantangan zaman, untuk kemudian mencarikan solusinya
demi kesejahteraan rakyat. Kedua, cepat atau lambat, kecenderungan rasionalitas ini akan mengantarkan kita pada kondisi dimana tumbuhnya sistem demokrasi yang semakin kuat, dan pemimpin yang dihasilkan
terikat dalam rule of the game yang jelas, sehingga tidak terlalu banyak ruang manuver dan interpretasi pemimpin disediakan. Sistem yang kuat memunculkan rasionalitas dan kepastian, harapan yang proporsional dan adil. Lalu sang pemimpin ditempatkan secara utuh dalam bingkai kemanusiaannya.
Kepemimpinan baru adalah kepemimpinan rasional dan modern, yakni pemimpin yang tubuh dan muncul dari masyarakat modern yang terikat dalam sistem demokrasi yang kuat dengan aturan main yang jelas.
Di era reformasi yang masih bersifat transisional ini dibutuhkan sosok kepemimpinan yang visioner dan transformatif, sehingga seluruh bangsa tidak kehilangan semangat untuk mengangkat beban berat, dan tersesat di rimba krisis yang gelap tak berujung. Kepemimpinan yang kuat, bukan dalam makna otoritarian-semi militeristik, tetapi kepemimpinan yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni
pemimpin yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektualitas (Bersih, Peduli, dan Profesional). Sumber daya kepemimpinan nasional harus disegarkan kembali (rejuvenasi) melalui saluran regenerasi secara menyeluruh. Bila tidak, maka kita tinggal menunggu keajaiban politik bagi eksisnya bangsa ini dalam peradaban dunia yang semakin tinggi tingkat persaingannya. Pemimpin yang dapat berdiri tegak dalam hembusan demokratisasi dan kebebasan pers, serta mampu mengelola perubahan di era transisional, dimana kondisi berbagai pranata sosial-politik baik pusat maupun daerah masih belum mantap serta tekanan global yang keras, menjadi prasyarat yang tidak dapat ditawar bagi gerak
kemajuan Indonesia Baru ke depan.

Pemimpin yang menjadi suri teladan, karena masyarakat membutuhkan keteladanan. Sudah banyak perangkat hukum dan lembaga yang dimunculkan, tetapi tak ada satupun figur yang mampu menjalankannya dengan sepenuh hati. Figur pemimpin yang tampil di masa transisi telah memunculkan kekecewaan baru, karena harapan akan perubahan tidak kunjung diwujudkan. Para pemimpin asyik sendiri dengan pemuasan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Masyarakat kehilangan panutan, sehingga terjadi disorientasi yang dahsyat. “Jika para pemimpin bisa berpesta pora dengan menyelewengkan aset negara, tanpa pernah tersentuh tangan hukum sedikitpun, maka mengapa kami harus terus menderita?”, begitu jerit rakyat. Kepemimpinan baru harus tampil dengan menegakkan nilai-nilai bersih, peduli, dan profesional.

Masalah Politik Luar Negeri

Prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif, sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945 telah dan akan terus dipraktekkan oleh pemerintahan Indonesia di panggung internasional. Pendekatan yang digunakan terus berubah bersama dinamika global dan tantangan zaman. Sikap yang menolak masuk
dalam salah satu blok negara-negara adidaya pada masa itu adalah bentuk sikap politik luar negeri kita. Ketika Perang Dingin usai, Uni Soviet runtuh, dan tembok Berlin hancur, maka bentuk-bentuk
pendekatan politik luar negeri kita perlu disesuaikan. Saat ini Amerika Serikat tampil sebagai adidaya tunggal, berdampingan dengan negara-negara yang terlihat kuat seperti Rusia, China dan India. Sementara, globalisasi dengan fenomena dunia tanpa batas memunculkan wacana the end of nation state,
telah mengantarkan perusahaan-perusahaan multinasional menjadi semacam “negara” yang bahkan lebih kuat dari negara tradisional. Lembaga-lembaga multinasional seperti International Monetary
Fund (IMF) dan World Bank (WB) juga memperlihatkan kekuatan mempengaruhi negara secara sangat berarti. Belum lagi berbagai tantangan yang muncul dari kondisi asimetrik, baik informasi asimetrik, perang asimetrik, ancaman asimetrik, dan ketidakadilan global menjadi angin yang berhembus bersama arus globalisasi. Dinamika global ini membawa perubahan cara pandang kita pada wilayah konsentrik politik luar negeri kita. Perang melawan terorisme yang dimunculkan AS pasca serangan terhadap gedung
WTC (peristiwa 11/9/2001) mempengaruhi peta hubungan kita dengan negara tetangga, yang sebagian merupakan sekutu AS. Berdasarkan perubahan lingkungan strategis inilah penyesuaian politik luar negeri yang bebas dan aktif perlu diformat ulang secara lebih konteksual. PK Sejahtera menegaskan kembali, segenap aspek hubungan luar negeri diselenggarakan dengan prinsip: kesetaraan, saling menghormati kedaulatan, saling menguntungkan, serta penghargaan terhadap martabat kemanusiaan. Dalam koridor itu, PK Sejahtera meyakini, peran internasional bangsa Indonesia akan menjadi kontribusi yang positif bagi peradaban dunia. Sesuai dengan amanat UUD 1945, Indonesia harus berpartisipasi dalam penciptaan stabilitas regional dan perdamaian dunia. Salah satu agendanya adalah menggalang solidaritas bagi bangsa-bangsa yang tertindas dalam memperjuangkan kemerdekaannya, seperti Palestina. Krisis bisa dikatakan merupakan induk dari berbagai ketegangan dunia, sehingga perlu dituntaskan segera.

Masalah Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum di era Reformasi menghadapi situasi politik yang berbeda, terutama berkaitan dengan superioritas aparat penegak hukum. Itu tidak berarti upaya menggapai keadilan menjadi suatu pekerjaan yang mudah. Ketika intervensi rezim penguasa terhadap hukum berkurang di era kebebasan ini,
nyatanya kekuatan lain—yang berhubungan dengan pasar—dapat melakukan penetrasi kedalam lembaga-lembaga penegak hukum yang sama kuat dengan rezim sebelumnya. Penegakan hukum yang
bersifat “tebang pilih” tak terhindarkan, meski penyebabnya bukanlah faktor politis seperti pada era sebelumnya. Faktor-faktor teknis yang berkaitan dengan kekuatan dan profesionalitas lembaga
dan aparat menjadi sangat menentukan dalam memberikan keadilan hukum bagi rakyat. Penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang bersih, peduli dan profesional baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut.
Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat banyak adalah indikator yang sering didengungkan rakyat untuk mengukur seberapa jauh komitmen pemerintah dalam sektor ini. Tindakan represif harus bersifat imparsial dan nondiskriminatif, sehingga mudah mendapat dukungan masyarakat, apalagi untuk kasus korupsi yang luar biasa. Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya menjadi momentum baru dalam perang total melawan korupsi, seraya memperbaiki kinerja Kepolisian, Kejaksaan serta Kehakiman agar menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Kita menyaksikan dengan penuh kecemasan, adanya upaya pemangkasan wewenang
KPK dan pembusukan dari dalam, sehingga lembaga penegak hukum yang kredibel masih jauh dari harapan.Masalah korupsi sangat penting karena ia merupakan virus yang menyengsarakan rakyat dan melemahkan sendi-sendi kenegaraan. Jumlah uang negara yang hilang sangat besar dan modus operandinya bersifat kasat mata. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diselewengkan para konglomerat hitam di masa krisis, menurut catatan Masyarakat Transparansi Indonesia, berjumlah Rp 130,6 trilyun. Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, membuat perhitungan yang lebih memiriskan: subsidi untuk rekapitalisasi perbankan yang tidak pernah akan sehat minimal Rp 40 trilyun, kebocoran dana APBN pada tahun 2003 sebesar Rp 370 trilyun bisa mencapai lebih dari 20% (yaknii Rp 74 trilyun), pencurian kayu (illegal logging) dan pencurian ikan (illegal fishing) serta ekspor pasir (illegal mining)
gelap sekitar Rp 90 trilyun, lalu pajak yang digelapkan sekitar Rp 240 trilyun. Dengan demikian total uang rakyat yang menguap sebesar Rp 444 trilyun, lebih besar dari total APBN tahun 2003.

Korupsi legislatif dan pimpinan daerah menjadi fenomena yang makin banyak ditemukan. Virus korupsi yang semula terpusat, bersama dengan arus otonomi daerah, kini menyebar ke seluruh wilayah dan pelosok negeri. Belum lagi terhitung dana haram yang diputar dalam pencucian uang (money laundering). Benar-benar kerugian negara yang amat besar, dan semua itu ditujukan untuk melemahkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sehingga para koruptor dapat mengontrol sebagian besar aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan.Pemeringkatan yang dilakukan Transparency Internasional atau PERC, secara umum konsisten, bahwa Indonesia menempati negara yang paling korup. Dalam skala PERC nilai Indonesia mendekati 10, dan dalam skala TI, posisi Indonesia jauh di bawah 4.
Hasil survei kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum yang berkaitan dengan pemberantasan narkoba, kriminalitas, perjudian, dan perlindungan TKI dinilai publik cukup baik (> 72%).
Namun berkaitan dengan pemberantasan korupsi, termasuk pembalakan hutan dan penambangan liar (illegal mining), publik menilai sebanyak 36% buruk. Hanya 50% responden yang menilai baik terhadap penanganan pemerintah atas masalah korupsi.

Masalah Birokrasi

Max Weber mendefiniskan birokrasi sebagai administrasi pemerintah yang dilembagakan dan ditandai dengan peraturan yang berdasarkan undang-undang, kualifikasi profesional dan disiplin, karenanya bersifat nirpribadi dan netral, dimana keputusan diambil tanpa memandang manusianya serta berdasarkan tujuan dan aturan rasional. Namun dalam realitas, termasuk pengalaman Eropa,
birokrasi Weberian ini lebih merupakan sebuah idealita yang menuntut proses pencapaian panjang. Terlebih lagi dalam kasus Indonesia atau negara Asia Tenggara pada umumnya. Ide birokrasi yang nirpribadi, netral dan rasional adalah sebuah proyek gigantik negara yang masih terkesan utopis.
Pemeringkatan ini dilakukan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) berdasarkan survei pada bulan Januari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai Responden Dalam prakteknya ada tiga aspek birokratisasi yang tidak selalu nirpribadi, netral dan rasional, khususnya kondisi birokrasi di Asia
Tenggara (Evers, Kelompok-kelompok Strategis, 1992). Aspek pertama, Weberisasi birokrasi sebagai pertumbuhan pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi yang profesional yang memisahkan secara
formal antara kepentingan pribadi (birokrat) dengan kepentingan negara oleh administrasi pemerintahan. Kedua, Parkinsonisasi birokrasi sebagai tumbuhnya aparat birokrasi sesuai hukum Parkinson, dimana birokrasi menciptakan kerja untuk dirinya sendiri. Ketiga adalah Orwellisasi birokrasi sebagai tumbuhnya birokrasi yang diikuti dengan meluasnya pengawasan birokrasi atas rakyat. Tiga aspek birokratisasi tersebut tumbuh saling mempengaruhi, meski masing-masing berkembang dengan prosesnya sendiri-sendiri yang independen. Pertambahan jumlah pegawai negeri tidak secara otomatis menggambarkan pertumbuhan rasionalitas formal dalam proses administrasi negara atau bertambahnya pengawasan negara atas rakyat.Untuk kasus Indonesia aspek-aspek di atas juga teramati bersama pertumbuhan birokrasi. Jumlah birokrat yang hanya 1,1 per seribu penduduk saat pra-revolusi, berubah menjadi 3,7 pada tahun 1950. Jumlah ini bergerak naik menjadi 13,9 pada tahun 1980 dan kini menjadi sekitar 23,8 atau sekitar 5 juta orang . Parkinsonisasi birokrasi ini tidak serta merta diikuti dengan efektivitas dan efisiensi dalam pengertian Weber yang nirpribadi, netral dan rasional.

Dalam beberapa hal birokrasi justru terkesan sebagai dinasti tersendiri sesuai dengan model Parkinson atau menjadi ‘hantu’ dalam fiksi Orwell yang selalu membayangi dan mengawasi rakyat. Borok birokrasi--berupa pemihakan, kapitalisasi dan irasionalitas—terus membusuk seiring dengan arkinsonisasi itu. Ada beberapa borok yang membusukkan birokrasi kita. Pertama adalah politisasi yang memberangus netralitas. Parkinsonisasi birokrasi nampak seperti “gula” bagi semut-semut politik, baik pada saat Orde Lama dengan multipartai ataupun pada saat Orde Baru dengan Golkar plus dua partai. Persaingan partai politik dalam mengintervensi birokrasi dalam hal penempatan orang, penerjemahan kebijakan publik, dan penghimpunan dana partai adalah sejarah kelam, yang harus dibayar mahal dengan rendahnya kualitas pelayanan, multiloyalitas PNS, dan pembusukan birokrasi. kemerdekaan sampai hari ini (Evers, 1992).
Persaingan ini berakhir setelah Golkar menguasai birokrasi sepenuhnya. Dengan konsep monoloyalitas dan jargon “abdi rakyat” atau “abdi negara”, birokrasi malah menjelma menjadi abdi partai penguasa. Bagi PNS era Orde Baru, silogisme yang dijejalkan sungguh menjengkelkan, yakni “PNS harus Korpri”, “wadah
perjuangan Kopri adalah Golkar”, maka “PNS harus Golkar”.

Penyakit kedua birokrasi adalah KKN. Moral hazard di lingkungan birokrasi sebenarnya bukanlah persoalan khas Indonesia, tetapi masalah yang umum terjadi di negara berkembang. Robert O Tillman menyebut fenomena ini sebagai black-market bureaucracy (birokrasi pasar gelap), dimana transaksi birokrasi yang sesungguhnya terjadi di bawah tangan. Virus KKN ini dapat menyulap birokrasi menjadi bureau- crazy, drakula yang menyedot uang rakyat. Kapitalisasi birokrasi baik sipil ataupun militer di atas terjadi dalam berbagai bentuk. Richard Robinson menunjukkan bahwa bukan hanya pejabat sipil atau militer terlibat dalam proses kapitalisasi ini, bahkan juga keluarga-keluarga mereka (Toward a Class Analysis of the Indonesian Military Bureaucratic State, 1978). Dari sini berkembang koncoisme dan aktivitas rent seeker yang didukung faksi-faksi politik. Penyakit birokrasi ketiga adalah bureaucratism, yakni pelayanan dan prosedur kerja yang lambat dan berbelit-belit. Adagiumnya “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”. Akibatnya, soal yang sepele menjadi rumit. Bintoro Tjokroamidjojo (Manajemen
Pembangunan, 1986) mengangap penyakit ini sebagai gejala empire building, tak lain manifestasi hukum Parkinson, “ngedabyah ngambra-ambra” (melebar ke mana-mana) Penyebabnya adalah komersialisasi birokrasi atau biasa diistilahkan dengan “UUD” (ujung-ujungnya duit). Selain itu, karena pendekatan yang terlalu legalistis dan membuat terlalu banyak “meja” (control points) perijinan. Selain bertentangan dengan prinsip meritokrasi, penyakit ini cenderung melahirkan raja-raja kecil. Akibatnya bukan saja
terjadi pemborosan dan inefisiensi, namun juga irasionalitas.

Anggapan bahwa kerja lambatpun tidak ada masalah, serta absennya semangat persaingan menyebabkan borok birokrasi ini kian membesar. Masalah birokrasi keempat yang akhir-akhir ini menguat adalah
mengenai organisasi birokrasi. Pembubaran dan penggabungan beberapa departemen serta perubahan birokrasi daerah untuk mengantisipasi desentralisasi adalah persoalan penataan ulang organisasi birokrasi. Hal itu tidak hanyalah soal teknis yang berkaitan dengan promosi SDM, koordinasi dan sinkronisasi program departemental. Memang tidak terlalu mencemaskan, namun tanpa penyelesaian yang baik masalah ini dapat memicu munculnya penyakit-penyakit lainnya. Munculnya lembaga-lembaga
ad hoc komisi negara menambah kerumitan, karena perlu koordinasi tugas pokok, fungsi dan peran.
Komplikasi penyakit-penyakit di atas telah menjadikan borok birokrasi kita mengalami pembusukan. Perlu operasi besar berupa penyesuaian pada tuntutan pasar dan demokratisasi. Pertama adalah depolitisasi birokrasi. Di masa Orde Baru, banyak pakar administrasi yang tidak sepakat dengan upaya ini, bahkan mereka menilai bahwa netralitas birokrasi terhadap politik adalah sikap kolot dan membawa dampak negatif bagi birokrasi (Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, 1981). Alasannya, tak ada
batas hitam-putih lagi antara politik dan birokrasi. Antara birokrasi dan politik saling kait-mengkait, karena itu PNS tidak boleh netral terhadap pembangunan. Padahal, sudah jelas bahwa lembaga
politik (policy making body), termasuk kabinet bertugas menghasilkan kebijakan publik, dan birokrasi bertugas melaksanakannya (policy executing body). Memang untuk melaksanakan suatu kebijakan publik perlu interpretasi dan perumusan langkah sebelum implementasi, termasuk pemberian umpan balik dan sebagainya. Apapun langkah itu semuanya adalah bagian dari suatu proses eksekusi kebijakan publik bukan perumusan kebijakan publik itu sendiri. Hal ini sesuai dengan aksioma “when politics ends, administration begins”. Ketegasan ini penting untuk mencegah kesimpang-siuran tugas. Karenanya,
argumen yang menyebut bahwa menjaga netralitas ini sebagai tindakan kolot yang berdampak negatif adalah pandangan yang bias akibat rezim Orde Baru, serta bertolak-belakang dengan kenyataan sejarah.
Dalam perspektif ini, pelarangan PNS menjadi anggota atau pengurus parpol adalah arah yang tepat. Pengembalian birokrasi pada “fitrahnya”, berarti menjaga konsistensi birokrasi di tengah
gelombang perubahan politik. Itu bermanfaat bagi kemandirian birokrasi dalam perencanaan program, promosi SDM, dan kualitas pelayanan. Sebagai instrumen negara, birokrasi harus berkonsentrasi pada tugas pokoknya, tanpa dipengaruhi atau mendapat pesan sponsor dari partai politik. Birokrasi bekerja
setelah politik berhenti, sesuai dengan asas “administration is basically implementation of policies”. Paradigma ini konsisten dengan prinsip pemisahan antara regulator dan eksekutor. Dalam logika ini perlu dipikirkan kembali urgensi Korps Pegawai Republik Indonesia dalam keseluruhan bangun birokrasi modern kita. Apakah masih pantas organisasi tunggal dalam birokrasi di era demokratisasi sekarang ini? Ada dua pilihan realistis, pertama Korpri tetap berdiri, namun peluang bagi serikat pekerja lain di
lingkungan birokrasi harus dibuka. Atau, kedua bubarkan Korpri dan kita dorong tumbuhnya asosiasi profesi yang cocok untuk berbagai bidang birokrasi. Upaya kedua adalah peningkatan kesejahteraan PNS. Langkah ini secara empiris-kolektif mujarab untuk membasmi moral poison dan black-market bureaucracy. Memang KKN adalah persoalan moralitas, bukan soal gaji. Kelayakan gaji secara empiris sangat berpengaruh untuk mereduksi KKN. Di sisi lain kebijakan zero growth tetap dipertahankan dalam bingkai rasionalisasi birokrasi. Upaya rasionalisasi PNS dari 5 juta orang menjadi hanya sekitar 2
juta saja atau dari 23,8 per seribu penduduk menjadi sekitar 9,5 akan digulirkan melalui opsi pensiun dini. Beberapa negara seperti Jerman atau Malaysia memiliki birokrasi yang baik, meski rasionya jauh lebih besar dari kita. Upaya ketiga untuk reformasi birokrasi adalah pengembangan pengawasan. Pengawasan yang dimaksud berkaitan dengan tuntutan akuntabilitas publik dari segi fungsi, hukum, pelayanan,
dan keuangan birokrasi. Langkah ini sangat penting, karena secara langsung akan menghambat tumbuhnya praktek politisasi birokrasi, Secara internal dalam birokrasi sendiri terdapat sistem pengawasan, yang bersifat top down serta eksistensi lembaga inspektorat. Sudah menjadi rahasia umum kalau model pengawasan seperti itu tidak efektif. Dalam era keterbukaan seperti sekarang, model pengawasan yang lebih bersifat horizontal dan bottom up perlu dikembangkan. Berbagai saluran informasi ke lembaga pengawasan formal, maupun independen perlu dibuka, tanpa harus melanggar
rahasia jabatan. Atau, rahasia jabatan itu sendiri perlu ditafsirkan secara lebih kontekstual. Kasus Letjen Agus Wirahadikusuma selaku Pangkostrad yang mengekspose audit keuangan TNI AD ke wilayah publik termasuk dalam kategori ini. Itu adalah indikator transparansi di tubuh birokrasi militer, yakni kesiapan militer terhadap tuntutan akuntabilitas publik.

Masalah Kewilayahan

Untuk memenuhi amanat reformasi, keadilan, percepatan pembangunan daerah, maka Otonomi Daerah sebagai paradigma baru dalam pendekatan pembangunan, telah digulirkan. Pemberian otonomi sekarang ini didasarkan pada asas desentralisasi dan kewenangan yang utuh (mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi). Meski masih dibingkai oleh tiga hal strategis, yakni koridor peraturan perundangan yang berlaku, keutuhan NKRI, serta di luar enam bidang otoritas pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi dan agama). Dengan peluang baru bagi daerah, maka akan terjadi perubahan pada tata kehidupan masyarakat, khususnya pada mekanisme pemenuhan kepemimpinan dan kepentingan mereka. Bila dilihat dari faktor tujuan, kepentingan masyarakat terarah pada cita-cita rakyat yang berisikan gambaran mengenai dambaan kehidupan yang ideal, yakni kebutuhan hidup manusia secara universal, yang secara umum berupa hasrat untuk hidup secara aman dan
sejahtera. Dilihat dari faktor sarana, kepentingan masyarakat itu bercirikan sosial-budaya yang meliputi falsafah hidup rakyat, lingkungan fisik dan cara hidup masyarakat. Dilihat dari faktor manajemen, pemenuhan kepentingan masyarakat secara umum dilakukan melalui proses pembudayaan (akulturasi) masyarakat terhadap lingkungannya, dan secara khusus melalui proses pembentukan pendapat umum. Lembaga yang dapat berfungsi menyuarakan kepentingan dan pendapat umum masyarakat, antara
lain lembaga desa, nagari, marga, sebagai institusi etnis-geografis yang cukup mantap, sehingga memungkinkan terwujudnyakepemimpinan informal pada tingkat bawah. Secara teoritis dengan Otonomi Daerah di bidang ideologi, makapeluang untuk penghayatan nilai-nilai ideologis yang tumbuh di
daerah menjadi lebih leluasa dan mengakar. Di bidang politik, karena asas otoda adalah desentralisasi dan demokratisasi, makaotoda dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis, yang memungkinkan pemerintahan responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan taat asas terhadap pertangungjawaban publik. Otoda juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, efektif dan berbasis meritokrasi. Di bidang Ekonomi, otoda di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, di lain pihak memungkinkan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan lokal, dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Di bidang sosial budaya, otoda membuka peluang daerah untuk mengelola bidang sosial-budaya masyarakat lokal secara utuh sesuai dengan aspirasi dan nilai-nilai lokal yang berkembang dalam merespons dinamika kehidupan di sekitarnya, sehingga. tercipta
dan terpelihara keharmonisan sosial. Di bidang Hankam, daerah berpeluang untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pengendalian hankam secara lebih partisipatif, meskipun ini adalah bidang yang menjadi tanggung-jawab pusat. Dengan terbukanya ruang yang lebih luas bagi daerah untuk menentukan keinginan, merencanakan, mengelola, serta mengevaluasi pembangunan daerahnya secara desentralistik,
otonomis dan mandiri di berbagai bidang pembangunan, maka fungsi pengenalan kepentingan dan kepemimpinan dapat dilaksanakan dengan lebih berkualitas. Kepentingan keamanan dan kesejahteraan yang merupakan ”basic need” dan ”social need” dapat terpenuhi melalui proses pembudayaan dan pembentukan pendapat umum secara lebih berkualitas, melalui peningkatan partisipasi rakyat yang lebih luas. Sedang untuk pengenalan kepemimpinan yang berakar dari kepemimpinan masyarakat (societal leadership) --berada pada kelompok-kelompok masyarakat profesi/asosiasi, LSM, tokoh dan pemuka masyarakat, dunia usaha dan sektor swasta, pemerintahan Desa/Kelurahan, LKMD, dan RT/RW -- menjadi semakin terbuka. Kepemimpinan tersebut, dalam menyuarakan kepentingan publik, dilakukan secara berjenjang sesuai tatanan yang berlaku dan memiliki posisi tawar, serta dapat dijadikan sarana kontrol dalam upaya mengoptimalkan pencapaian sasaran penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Partisipasi masyarakat dalam pemenuhan kepentingan dan kepemimpinan masyarakat di atas, akan meningkatkan kemampuan dan kemandirian yang akhirnya mengarah pada peningkatan kesejahteraan sosial dan pertumbuhan. Dengan menggunakan pendekatan “bottom-up” ini diharapkan programprogram
pembangunan dapat meningkatkan kondisi sosialekonomi-politik masyarakat, yang berarti meningkatnya kualitas Otoda. Konsep perencanaan pembangunan dengan pelibatan masyarakat akan meningkatkan kualitas kehidupan yang layak dan bermanfaat. Dalam praktek di lapangan, memang kondisi ideal ini masih belum tercapai dengan baik. Otonomi daerah juga tidak disertai dengan kelengkapan sistem dan prosedur yang mengatur otoritas masingmasing level pemerintahan dan kesiapan daerah untuk menata
dirinya. Konsepsi ini tanpa sengaja menciptakan konflik otoritas antara kabupaten/kota dengan provinsi, dan antara daerah dengan pusat, serta memicu munculnya raja-raja kecil sekaligus koruptorkoruptor
kecil di berbagai daerah. Di kemudian hari, penjara-penjara di daerah banyak dihuni oleh koruptor-koruptor baru itu, baik yang berasal dari legislatif maupun eksekutif. Itu semua menyebabkan
pembangunan daerah —melalui dana dekonsentrasi— menjadi sulit dikontrol dan tidak jelas efektivitas dan efisiensinya. Muncul gerakan pemekaran daerah yang membebani anggaran pemerintah, serta orientasi pembangunan yang sekedar berorientasi pada peningkatan PAD.

Masalah Pertahanan dan Keamanan

Di tengah kondisi politik yang serba tidak stabil, isu terorisme muncul secara global. Pemerintah tidak punya pilihan untuk tidak ikut serta dalam perang melawan terorisme. Kondisi diperburuk dengan munculnya berbagai peristiwa yang secara sepintas dapat dijadikan bukti kasat mata bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang teroris, seperti peristiwa bom Bali, bom di Hotel J.W. Marriot, dan di depan kedubes Australia di Jakarta. Terlepas dari benartidaknya fakta yang ada, penangkapan terhadap Omar Faruq, Amrozi dkk, Hambali di Thailand, serta tewasnya DR. Azhari, dan tertangkapnya Abu Durjana semakin mengokohkan citra Indonesia sebagai sarang teroris. Gejala terorisme punya akar tersendiri dalam kehidupan domestik, karena faktor teritorial, kemiskinan, pendidikan, dan faktor sosialbudaya.
Namun kondisi ini semakin meruyak, tatkala unsur-unsur asing masuk mempengaruhi sistem nasional yang rentan. Berbagai modus teror yang selama ini hanya berskala rendah dengan target tertentu, kini berubah menjadi stadium tinggi dengan target massif. Tekanan asing yang tak dapat direspon dengan baik membuat terorisme yang dipicu negara (state terrorism) menjadi sulit terkontrol. Kebebasan dan keamanan warga (civil liberties) pun terancam, sedang negara menjadi sasaran adu domba kekuatan
asing yang ingin mencengkeram. Masalah keamanan lain adalah gejala separatisme di wilayah yang
kaya sumber daya alam semisal Aceh, Papua, Riau, Kalimantan Timur dan sebagainya. Gerakan ini memperoleh justifikasi dari sejarah penganaktirian yang berkepanjangan. Jalan dialog tertutup
saat semangat desentralisasi bangkit. Padahal, yang dibutuhkan sebenarnya adalah proses komunikasi dan ruang partisipasi antar kelompok etnik dan agama serta golongan sosial-ekonomi yang beragam. Sebagaimana kerepotan di tingkat lokal, maka secara nasional kesulitan mencari figur pemersatu antar kelompok etnik dan warga daerah yang amat majemuk seperti Indonesia adalah ujung yang dihadapi. Nasib NKRI berada di tepi jurang perpecahan,bila alternatif penyelamatan tak kunjung disepakati.
Masalah radikalisme yang menguat di era reformasi sebagai akibat iklim keterbukaan, kebebasan yang luas mengambil bentuk pemaksaan kehendak dengan jalan kekerasan. Secara teoritis keterbukaan dan kebebasan memberikan akses yang luas dan pengelolaan aspirasi masyarakat yang lebih baik, artinya berbagai kehendak yang tumbuh dalam tatanan kehidupan masyarakat dapat mengalir dengan baik melalui jalur tatanan politik nasional, sehingga tidak memungkinkan tumbuhnya penyaluran aspirasi
melalui pemaksaan kehendak di luar jalur konstitusional, apalagi dengan cara kekerasan. Di era reformasi berbagai tatanan politik, pembangunan, dan pengelolaan perubahan belum berjalan mantap dan masih bersifat transisional. Berbagai masalah warisan Orde Baru masih belum terselesaikan tuntas, dimana rasa keadilan, ketimpangan, sumbatan aspirasi, eforia, budaya miopis, hedonisindividualis yang terbawa arus globalisasi, seringkali muncul ke permukaan dalam bentuk eksklsuivisme aliran, kedaerahan, kesukuan dan sektarianisme agama. Primordialisme ini berubah menjadi radikalisme, ketika saluran aspirasi tersumbat dan intoleransi menjadi pilihan sikap yang dibarengi dengan pemaksaan kehendak melalui bentuk kekerasan.

Di sisi lain peran negara dalam menciptakan saluran aspirasi, keadilan, kesejahteraan dan keamanan serta penegakan hukum dirasakan masih belum mantap. Tidak harmonisnya hubungan kemitraan dan kurang lancarnya komunikasi politik antara pihak eksekutif dengan lembaga legislatif, antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah, antara Pemerintah dengan Rakyat, dan antara Lembaga Legislatif dengan Rakyat, dapat berakibat negatif bagi tumbuhnya radikalisme. Kondisi ini dapat membahayakan stabilitas nasional, bila kita tidak waspada dan mengambil langkah-langkah pencegahan dan penangkalan. Implementasi kewaspadaan nasional, yang membuat kita menjadi peka, siaga dan sigap terhadap ancaman, untuk kemudian mengambil langkah-langkah perbaikan pengelolaan aspirasi, kesejahteraan dan keamanan dapat menangkal tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Upaya penting untuk menurunkan tensi gerakan radikal di Indonesia adalah demokratisasi dan keterlibatan Islam politik di parlemen. Skenario tersebut sebenarnya adalah menciptakan saluran aspirasi dari gerakan jalanan menuju ruang-ruang parlemen yang lebih terkontrol. Dalam bidang pertahanan, Indonesia tergolong rawan dan lemah,
bahkan dibandingkan dengan kondisi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Selama ini sarana pertahanan dan keamanan tergantung pada dukungan satu poros, yakni AS dan sekutunya. Ketika AS melakukan embargo terhadap bantuan militer dan memberi tekanan politik yang gencar, pemerintah seperti kewalahan. Untuk itu, perlu dirintis kembali hubungan yang lebih seimbang dengan AS dan negara-negara besar lain sesuai dengan kepentingan nasional jangka panjang. Pihak AS sendiri amat
memperhatikan pola hubungannya dengan Indonesia, seperti tercermin dalam skenario Indonesia masa depan yang pernah dirancang Rand Corporation, sebuah lembaga pemikiran dalam bidang p

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com