Jiwa-Jiwa Perindu



jalanpanjang.web.id - Sejarah akan senantiasa mengenang dan dengan bangga menggoreskan tinta emasnya tentang jiwa-jiwa perindu. Merekalah-meminjam istilah Sayyid Qutbh-pribadi-pribadi Al-Khalidun (abadi) yang menerangi setiap masa kegelapan, membimbingnya menuju cahaya, menuntun jiwa-jiwa lemah kealam keabadian.

Mereka adalah burung elang yang terbang dengan kepakan sayap raksasa. Sayap kanannya adalah kerinduan yang bertalu-talu terhadap Jannatul Firdaus. Sayap kirinya adalah ‘ketakutan’ terhadap neraka dan adzab Allah yang setiap saat menghantui derap langkahnya. Kekuatan dahsyatnya adalah mengingat saat-saat paling bahagia, bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Siapakah lagi yag kini dapat menawarkan kepada mereka dunia, sementara jiwanya telah berada di ketinggian alam baka. Merekalah perindu kematian.
Di saat yang sama, mereka adalah burung elang yang terbang dengan kepakan sayap raksaSa. Sayap kanannya adalah perindu ayat-ayat suci penggetar kalbu, Al-Qur’an. Sayap kirinya adalah perindu ilmu, menyatakan kerdil di hadapan sang pemilik ilmu. Rabbul Izzati, Allah sang pemilik Cinta. Siapakah lagi yang kini dapat menawarkan cinta, sementara jiwanya telah mendapatkan kasih sayang Rabbnya. Merekalah perindu cinta.

Aku memiliki jiwa perindu. Setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap itu pula ia merindukan tempat yang lebih tinggi. Kini ia telah sampai pada tingkat yang tertinggi, yang tiada lagi tingkat yang lebih tinggi dari itu. Dan kini ia hanya merindukan surga. Demikian Umar Bin Abdul Aziz

Mereka terbang kelangit angkasa, langit yang meninggalkan jejak-jejak kemalasan, kesenangan, istirahat dan kehinaan. Tak kenal lagi mereka dengan lelah, karena jiwanya telah haus akan balasan dan pengampunan. Tak kenal lagi mereka dengan peluh, karena raganya telah dibalut dengan kain-kain sutra tersulam dengan jarum emas dan permata. Tak kenal lagi mereka dengan canda, karena hidupnya telah dihiasi dengan kerja. Nuansa Imani telah menyapu habis semua kecenderungan pada kelemahan, kemalasan, kesenangan, istirahat dan tidur panjang.

Al-Ummat al-mujahidun laa ta’rifu ar-Rohah, ummat yang bersungguh-sungguh tak pernah mengenal istirahat. Demikian Syaikh Hasan Al-Banna.

Kepakan sayapnya adalah cermin kekhusyu’an, paduan antara keseriusan, kerja keras, kesungguhan dan konsentrasi yang mendalam. Cengkeram kakinya adalah kegeraman terhadap semua tirani pengkungkung negeri yang setiap saat, secepat kilat, meyambar dan merobeknya di tengah awan bersambar halilintar. Kilatan matanya bak pedang, awas terhadap setiap kezaliman. Kepalanya tegak menunggu lagi karya dan prestasi gemilang, pengukir peradaban. Waktunya adalah detik-detik angkasa. Merekalah jiwa-jiwa perindu yang telah mengukir kisah peradaban gemilang. Yang telah jauh meninggalkan mereka yang lemah dan putus asa.

Ambisi…
Obsesi….
Bukan, ia bukan keduanya, atau bisa jadi keduanya.
Karena ia……..thumuh
Akulah thumuh (keluh, dorongan berprestasi)
Aku ingin naik kelangit angkasa (Demikian Iqbal)
Tak ada lagi ruangan kosong antara idealisme dan realitas. Karena ujung tali keduanya telah tersimpul oleh ikatan thumuh.
Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas, yang kelelahan niscaya lelah mengitarinya. Seperti pepatah Arab.
Bila jiwa itu besar
Raga akan lelah mengikuti
Kehendaknya
Thumuh telah menautkan jiwa mereka dengan titah langit. Sesuatu yang selalu membebaskan mereka dari semua bentuk ketegangan akibat interaksi duniawi. Thumuh telah mengubur habis keinginan untuk mendapatkan kebesaran dan kemegahan bumi manusia. Thumuh telah menanamkan cita mereka untuk investasi ukhrowi. Prestasi yang dicapai selalu berubah menjadi ‘tangga’ yang akan mengantarnya kepada alam ketinggian sampai saat kematian.

Ia tak bisa terjebak dengan dua penyakit thumuh, terlalulemah atau cepat puas.
Ia tidak senang terhadap hal-hal ringan dan tidak senang pada yang ‘biasa-biasa saja’. Citanya adalah mengukir sejarah peradaban. Prestasinya adalah kreativitas agung yang lahir dari cita-cita akhirat.

Ia tidak senang terhadap pujian, karena bukan untuk itu ia berkarya.

Ia juga tak pernah puas terhadap prestasinya, merasakan belum berbuat apa-apa. Takut hasil karyanya tak diterima Sang Maha Penilai. Merasa kerdil dan kecil dengan karyanya, takut tak layak untuk membeli syurga.

Didalamnya terdapat pemikiran yang brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan yang bergelora, hati yang penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang dan lidah yang tajam lagi berkesan.

Disitu juga ada kezuhudan dan kesahajaan, kesungguhan dan ketinggian cita dalam menyebarkan pemikiran dan da’wah, jiwa dinamis yang sarat dengan cita-cita, dan semangat yang senantiasa membara.

Disitu juga ada pandangan yang jauh ke depan, kecintaan yang sempurna pada da’wah, ketegaran, kerendahhatian yang jauh dari menuruti ambisi pribadi.
Demikian Abul Hasan Ali an-Nadwi mensifati pribadi mereka.
Merekalah idealnya para pemuda.
Merekalah yang nantinya mewarisi negeri mulia para syuhada.
Merekalah jiwa-jiwa perindu.
Perindu cinta,perindu kematian, perindu syurga, perindu kesyahidan.

Abu Hanifah
Dimuat di Al Izzah No. 3/th1, Syawal-Dzulqo’idah 1420 H.

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com