Perseteruan Dua Cinta




"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-anak kamu ada yang menjadi musuh bagi kamu."
Bisakah anda membayangkan bahwa suatu saat, istri dan anak-anak yang anda cintai justru menjadi musuh bagi anda? Mungkin. Mungkin sekali itu terjadi. Pada siapa saja. Karena cintanya pada istri dan anak-anaknya tidak "turun" dari cinta misi, dari cintanya pada Allah. Atau sebaliknya. Jika cinta pada istri dan anak-anak tidak berhasil membawa mereka ke dalam lingkaran cinta misi.
Itulah tragedi dua orang nabi dan seorang perempuan shalihah. Dengan segenap cinta dan harapan jiwanya, Nabi Nuh masih terus berusaha mempertahankan istri dan anak-anaknya ketika tsunami itu datang. Tapi tidak! Cinta misinya tidak tersambung dengan nasabnya. Begitu juga Nabi Luth. Istrinya ada dalam daftar umatnya yang dibinasakan oleh Allah. Dan perempuan shalihah itu bernama Asia, istri seorang thagut terbesar sepanjang sejarah, Fir'aun. Ketika cinta harus memilih, ia memilih Tuhannya. Ia memilih cinta misinya. Meskipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Itu saat yang getir. Ketika kita harus memilih dua cinta yang bertarung dalam jiwa. Dan Allah mengabadikan cerita pertarungan dua cinta itu dalam jiwa Nuh, Luth dan Asia. Agar kita mengerti bahwa pemisalan itu adalah takdir kehidupan, bahwa siapapun mungkin mengalami itu: saat-saat dimana kita harus memutuskan pilihan dari dua cinta yang tidak dapat dipertemukan.
Tidak harus selalu begitu, memang. Sebab juga ada cerita lain. Cerita tentang dua cinta yang bertemu. Seperti cinta Muhammad dan Khadijah, atau Yusuf dan Zulaikha, atau Adam dan Hawa. Cerita tentang Adam yang memakan buah khuldi yang terlarang adalah manifestasi cinta jiwa yang tidak terangkai dalam cinta misi. Tapi mereka segera bertaubat dan meluruskan arah cinta mereka. Tapi ketegarn Yusuf menghadapi godaan istri sang raja adalah pesona yang mengantarkan hidayah ke dalam jiwa Zulaikha. Adapun Muhammad dan Khadijah : itu kisah cinta yang sejak awal tumbuh dan berkembang dalam bingkai cinta misi.
Secara manusiawi perseteruan dua cinta ini lahir dari kecenderungan jiwa yang tidak terbingkai dengan nilai-nilai cinta misi. Itu cobaan hati yang paling banyak menimpa orang shalih. Ketika "bentuk" mengalahkan "makna", ketika "rupa" mendahului "jiwa", itu pertanda awal datangnya cobaan. Mereka yang memenangkan bentuk dan rupa biasanya harus membayar harga kenikmatan duniawi dengan ongkos makna dan jiwa yang seringkali terlalu mahal. Itu sebabnya Rasulullah saw menganjurkan kita mendahulukan agama dalam memilih pasangan hidup.
Itu kalau harus memilih. Tapi masalah ini tentu selesai dengan sendirinya kalau bentuk berpadu dengan makna, rupa bertemu jiwa. Dan itu, kata Ibnul Qoyyim, adalah puncak karunia dan kenikmatan dunia akhirat: menikahi seorang perempuan shalihah, cerdas dan cantik sekaligus. Seperti Muhammad kepada Aisyah. Tidak mudah memang. Tapi tetap saja mungkin.
M. Anis Matta

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com