RAMBU-RAMBU DAN KERANGKA DALAM MEMAHAMI SUNNAH NABAWIYYAH





RAMBU-RAMBU
DAN KERANGKA DALAM MEMAHAMI SUNNAH NABAWIYYAH
(Ma'aalim wa Dhawaabith Fi Fahmi as-Sunnah an-Nabawiyyah)


Oleh : DR Daud Rasyid, MA


ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS


Dlm Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati2nya Umar ra dlm menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg merawikannya melainkan berhati2 thd hukum yg disampaikan oleh Nabi SAW, sbg contoh ia mengatakan hal tsb kepada sahabat abu Hurairah ra : Innani la atahammuka wa lakinnani uridu an anatsabbat (Saya tdk pernah meragukanmu, semua ini saya lakukan karena ingin menegaskan).

Contoh yg lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : Innal mayyita layu'adzdziba bi buka'i ahli 'alaihi (Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya), maka Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tsb tidak pada sanadnya, melainkan pada redaksinya. Dengan dimulai dg mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata : Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : Innallaha yazidul kafirina 'adzaba (Sesungguhnya Allah SWT akan menambah azab bagi orang2 kafir). Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits abu Hurairah tsb bertentangan dg ayat al-Qur'an : Wala taziru waziratan wizra ukhra (Dan sesungguhnya seseorang itu tdk akan memikul dosa org lain).

Ternyata hadits abu Hurairah tsb diperkuat oleh riwayat2 yg lain dari Umar ra, Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bhw dr segi sanad kedua hadits tsb (hadits Aisyah maupun abu Hurairah) shahih, maka ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdziba artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tsb merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami hakikat hidup tsb.


KERANGKA DALAM MEMAHAMI HADITS

Memahami as-Sunnah disesuaikan dg al-Qur'an (Fahmu sunnah fi Dhau'il Qur'an). Artinya as-Sunnah merupakan penjelas (bayanu taudhih, tafsir) dan juga menambah apa yg tdk ada dlm al-Qur'an (bayanu tsabit), seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tsb dihapuskan oleh as-Sunnah untuk bangkai ikan dlm hadits berbunyi : Thahuru ma'ahu wal hillu maytatahu (Laut/sungai itu suci airnya dan halal bangkainya/ikan).
Menggabungkan hadits dlm 1 pengertian (Jam'ul ahadits fi maudhu'in wahid). Jk melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didpt 1 pengertian yg benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yg melewati kedua mata kaki di neraka) yg bertentangan dg dan hadits Abubakar ra yg menyatakan bhw tdk apa2 kata Nabi SAW kain Abubakar melewati mata kakinya, ternyata akan masuk neraka adalah jika dilakukan karena sombong, setelah digabung dg hadits khuyala' (org2 yg masuk neraka karena melabuhkan kain karena sombong). Atau hadits yg menyatakan batalnya orang puasa yg berbekam, sementara hadits lainnya menyatakan tdk batal, ternyata setelah digabungkan ditemukan bhw dlm hadits pertama org tsb berbekam sambil mengghibbah dan berdusta sehingga batalnya karena hal tsb dan bukan karena berbekamnya.
Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi fi dhau'i asbab wal mulabisat). Seperti hadits antum a'lamu bi umuri dunyakum (kalian lbh mengetahui ttg urusan dunia kalian) hadits ini hrs ditafsirkan berdsrkn sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yg sedang mengawinkan pucuk kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata2 yg ditafsirkan salah oleh org2 tsb sehingga tahun berikutnya mereka tdk lagi mengawinkan pucuk2 tsb yg berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lbh mengetahui urusan dunia kalian, artinya masalah2 sarana dan teknologi bukan masalah2 dasar2 yg telah ada hukumnya dlm Islam, seperti politik, ekonomi, dsb.
Menghukumi hadits2 yg bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil ahadits):
Digabungkan (thariqatul jam'i) : Spt dlm suatu hadits disebutkan Nabi SAW meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits2 lain Nabi SAW meminta kekayaan. Maka digabungkan bhw yg dimaksud miskin dlm hadits pertama adalah sikap org miskin yg tawadhu' (rendah hati dan tdk sombong).
Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tdk bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan), maka dilihat mana yg lbh dulu dan mana yg belakangan, sehingga yg belakangan adalah menghapus hukum yg duluan. Seperti hadits nikah Mut'ah yg banyak dipakai kaum syi'ah, memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dlm 1 peperangan tapi kemudian dihapus selama2nya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya dan dampaknya. Atau hadits yg melarang ziarah kubur, yg kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW.
Dipilih mana yg lbh kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tdk bisa juga, maka barulah dicari mana yg lbh shahih dan dibuang yg kurang shahih (artinya bisa juga keduanya shahih tapi yg 1 lebih shahih dari yg lain, maka yg dipakai yg lbh shahih tsb).
Melihat pd isi hadits tsb dan bukan pd sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il), contoh2 nya ;
Hadits bhw Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yg menyebutkan bhw Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul dari hadits ttg pakaian tsb adalah menutup auratnya dan bukan pd jenis pakaiannya.
Hadits bhw Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yg ushul nya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pd panahnya. Demikian pula berkuda, yg ushul mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya.
Hadits bhw pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yg ushul adalah metode shock terapy nya spt dg akupunktur, refleksi, dsb.
Menegaskan apa yg ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits). Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yg dilalah nya adalah jika untuk diagungkan, dipuja, lukisan 3 dimensi (patung), karena ternyata gambar yg telah dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tdk dilarang oleh Nabi SAW.

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com