Imam Syafi'i: Pembela Sunnah



jalanpanjang.web.id - Mazhab Syafi’i adalah salah satu mazhab fiqh terbesar di dunia Islam. Pendirinya adalah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H) yang dijuluki naashirussunnah, artinya pembela sunnah.

As-Syafi'i adalah seorang muhaddits besar (ahli hadits), namun karena prestasi beliau di bidang fiqih sangat fenomenal, ke-muhadditsan beliau jadi tidak begitu kelihatan. Kalah dengan cahaya sosok beliau sebagai ahli fiqih yang jauh lebih terang. Ibarat cahaya bintang yang sedemikian terang di malam yang gelap, begitu datang sinar matahari, maka cahaya bintang seakan redup.

Beliau adalah orang yang sangat berhati-hati dalam menggunakan hadits. Beliau tidak akan mengguatkan suatu hadits yang dhaif atau lemah untuk membangun pendapatnya. Kalau pun ada hadits yang beliau gunakan dan dituduh sebagai hadits lemah, sesungguhnya tidak demikian, karna boleh jadi beliau punya jalur dan sanad khusus yang tidak dimiliki oleh para muhaddits lainnya.

Yang menarik, ternyata silsilah yang beliau miliki adalah silsilah yang paling shahih yang pernah ada di muka bumi. Yang mengatakan demikian adalah maestro kritik hadits sendiri, Al-Bukhari. Sebab As-Syafi'i adalah murid Al-Imam Malik dan mengambil riwayat darinya. Dalam dunia hadits dikenal istilah silsilah dzahabiyah, rantai emas, yaitu jalur periwayatan yang paling shahih, yaitu jalur sanad dari Imam Malik, dari Nafi', dari Ibnu Umar. Al-Bukhari mengatakan tidak ada jalur periwayatan yang lebih shahih dari jalur ini. Dan Al-Imam Asy-Syafi'i berada di dalam jalur ini, karena beliau mengambil hadits dari Al-Imam Malik.

Bahkan kitab Al-Muwaththa' karya Al-Imam Malik telah dihafalnya dalam waktu hanya 9 hari di usia 13 tahun.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya tentang sosok Asy-Syafi'i dengan pertanyaan, apakah Asy-Syafi'i seorang ahli hadits? Maka Imam ahli hadits ini menjawab dengan sangat tegas, "Demi Allah, beliau adalah ahli hadits. Demi Allah, beliau adalah ahli hadits. Demi Allah, beliau adalah ahli hadits."

Al-Imam Ar-Razi pernah berkata bahwa Asy-Syafi'i menulis kitab hadits secara khusus, yaitu Musnad Asy-Syafi'i. Itu adalah kitab hadits yang teramat masyhur di dunia ini. Tidak ada seorang pun dari ahli hadits dan mengerti ilmunya yang bisa mengkritik kitab ini. Kalau pun ada penolakan, datangnya dari mereka yang sama sekali tidak mengerti ilmu hadits, yaitu dari para ahli ra'yi (ahli akal).

Nasab Asy-Syafi'i
As-Syafi'i dilahirkan pada tahun 150 hijriyah di Gaza, Palestina. Dahulu disebut dengan wilayah Syam. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek beliau Abdul Manaf. Ia merupakan keturunan Bani Quaraisy sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Masa Kanak-kanak: Hafal Quran, Syair dan Ahli Bahasa Arab

Pada usia 2 tahun, As-Syafi’i ditinggal wafat ayahnya. Sang ibu kemudian membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyangnya. Disanalah beliau tumbuh besar dalam keadaan yatim.
Sejak kecil As-Syafi’i cepat menghafal Quran. Diriwayatkan bahwa beliau telah hafal Quran di usia yang teramat dini, yaitu 5 tahun. Selain Quran, beliau juga banyak menghafal syair sastra Arab yang indah dan pandai bahasa Arab secara nahwu dan sharf. Sampai-sampai Al-Ashma’i berkata, ”Saya mentashih syair-syair Bani Hudzail dari seorang pemuda Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab."

Masa Remaja: Menjadi Mufti Termuda

Di Mekah, As-Syafi’i berguru fiqih kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az-Zanji. Karena ketekunannya, semua ilmu fiqih dilalapnya dengan cepat. Beliau juga cerdas dan benar-benar seorang yang berbakat menjadi mufti.

Az-Zanji mengakui kemampuan muridnya yang ajaib itu sehingga beliau mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Wah, luar biasa. Kalau sekedar jadi mufti di kampung-kampung atau di pelosok pedesaan, wajar-wajar saja. Tapi ini menjadi mufti di Masjid Al-Haram Makkah, tempat yang begitu mendunia, didatangi oleh jutaan umat manusia setiap tahunnya. Di tempat yang paling mulia di muka bumi itulah, As-Syafi'i menjadi mufti dalam usia yang teramat belia.

Mahasiswa Pasca Sarjana Madinah Imam Malik

Merasa masih kurang ilmu, As-Syafi'i mendengar bahwa di Madinah (Masjid Nabawi) ada seorang alim besar yang ilmunya sangat luas dan mendalam. Beliau adalah Al-Imam Malik rahimahullah.
Maka As-Syafi'i muda bertekad belajar dan berguru kepada tokoh besar dunia Islam itu. Tapi kelas itu adalah kelas untuk ulama besar, bukan untuk anak muda belia berusia belasan tahun. Namun As-Syafi'i tidak pantang mundur. Meski kelas itu khusus untuk ulama sepuh, beliau tetap penasaran ingin belajar kepada Al-Imam Malik. Berbekal hafalan kitab Al-Muwaththa' yang tebal itu, As-Syafi'i mendaftarkan diri. Akhirnya beliau diterima mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam.

Ke Yaman

Puas menyerap semua ilmu Al-Imam Malik, As-Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan.
As-Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukh-nya.

Di Baghdad, As-Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qadim). Kemudian beliau pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Salah satu karangannya adalah “Ar-Risalah”, buku pertama tentang ushul fiqh, dan kitab “Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. As-Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.

Imam Ahmad berkata tentang As-Syafi’i, ”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan As Sunnah. Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.

Thasy Kubri mengatakan di Miftahus Sa’adah, ”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap, ”

Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah.

As-Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”.
Kitab “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Sementara kitab “Al-Umm” sebagai mazhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman.

As-Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, ”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

Demikian sekilas tentang sosok As-Syafi'i rahimahullah. Untuk mendalaminya, kita bisa membaca begitu banyak rujukan dan literatur, baik yang lama maupun yang modern berbentuk disertasi ilmiyah.

Yang lumayan komplit dan ilmiyah adalah kitab yang ditulis oleh seorang ulama besar Indonesia yang telah menghabiskan 40 tahunan lebih masa hidupnya di Mesir dan Saudi. Beliau adalah Dr. Nahrawi Abdussalam almarhum, dan untuk disertasinya beliau menulis kitab Al-Imam Asy-Syafi'i baina madzhabaihil qadim wal jadid." (Al-Imam Asy-Syafi'i: Di antara dua pendapatnya yang lama dan yang baru).

Kitab setebal 700-an halaman ini, sayangnya, belum ada yang menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Ust. Ahmad Sarwat, www.al-intima.com

Artikel Terkait



Tags: ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com