Neo-Orientalisme dan Proyek Membenturkan Peradaban



jalanpanjang.web.id - Dalam L’Islam dans le miroir de l’Occident karya Jacques Waardenburg, ia meninjau lima ahli penting yang menurutnya adalah para ‘pencipta’ citra Islam yang membentuk pandangan Barat terhadap Islam. Kelima tokoh tersebut adalah Ignaz Goldziher, Duncan Black Macdonald, Carl Becker, C. Snouck Hurgronje dan Louis Massignon. Kelima tokoh ini memberikan kontribusi yang unik, di mana karya-karyanya memiliki kecenderungan visi yang sangat tendensius, bahkan bermusuhan, terhadap Islam.

Edward W. Said, dalam karyanya yang paling dikenal luas, Orientalism, menambahkan bahwa hal yang tidak cukup ditekankan oleh Waardenburg adalah bahwa sebagian besar orientalis abad kesembilan belas juga terikat secara politis. Snouck Hurgronje adalah penasihat Pemerintah Kolonial Belanda yang bertugas menangani wilayah jajahannya di Indonesia, Macdonald dan Massignon adalah penasihat yang kerap dimintai pendapatnya oleh para penguasa kolonial dari Afrika hingga Pakistan, dan secara umum kelima ahli tersebut telah membentuk wawasan yang koheren mengenai Islam yang memberikan pengaruh besar di kalangan pemerintah di seluruh belahan dunia Barat.

Mengikuti para pendahulu mereka, kaum neo-orientalis seperti Bernard Lewis dan Samuel P. Huntington pun punya banyak andil dalam membentuk citra Islam dalam pandangan masyarakat Barat dan pada akhirnya melegitimasikan berbagai serangan militer yang dilancarkan kepada dunia Islam. Lewis, menurut Edward W. Said, secara sistematis memainkan peranannya sebagai pemikir yang diakui otoritasnya di Barat untuk mendiskreditkan Islam dan Arab. Ia kerap kali berbicara tentang perlawanan Arab terhadap zionisme, namun mengabaikan begitu saja fakta-fakta tentang adanya invasi zionis dan kolonisasi Palestina. Ia berbicara mengenai tidak adanya demokrasi di Timur Tengah, kecuali di Israel, tanpa pernah sekalipun menyinggung Hukum Pertahanan Darurat yang digunakan Israel untuk memerintah warga Arab, atau mengenai “penahanan preventif” terhadap orang-orang Arab, dan juga tentang berlusin-lusin pemukiman illegal di Tepi Barat Gaza yang diduduki secara militer.

Lewis adalah tokoh pertama yang mengajukan istilah clash of civilizations (benturan peradaban) melalui sebuah artikelnya yang berjudul “The Roots of Muslim Rage”. Dalam bukunya yang berjudul The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, Lewis sama sekali tidak memberikan kritik terhadap kebijakan Barat pada dunia Islam. Lewis sendiri menegaskan bahwa Islam bukanlah musuh Barat. Akan tetapi, Muslim, dalam jumlah yang signifikan, fundamentalis atau tidak, pastilah jahat dan berbahaya, karena mereka memang seperti itu adanya. Itulah sebabnya Said menyimpulkan bahwa inti dari ideologi Lewis adalah bahwa Islam dan kaum Muslimin tidak pernah berubah; mereka hanya ada dan harus terus diawasi.

Mengikuti Lewis, Samuel P. Huntington pun berpendapat bahwa Islam adalah musuh Barat yang sebenarnya. Pertentangan antara Islam dan Kristen-Barat ini terutama disebabkan oleh perbedaan di mana kaum Muslim memandang Islam sebagai way of life yang tidak memisahkan antara agama dan politik, sedangkan Kristen mengambil posisi bertentangan dengan memisahkan kekuasaan Tuhan dan Raja. Di sisi lain, baik Islam maupun Kristen sama-sama agama misionaris yang mewajibkan umatnya untuk mengajak “orang-orang kafir” untuk mengikutinya; keduanya juga disebarkan dengan penaklukan-penaklukan wilayah, dan sama-sama memiliki konsep “jihad” dan “crusade” sebagai perang suci.

Dalam pengantar untuk bukunya, The Clash of Civilizations, Huntington menjelaskan bahwa karyanya adalah sebuah penafsiran atas evaluasi politik global sesudah Perang Dingin yang dimaksudkan sebagai kerangka kerja dan paradigma dalam memandang politik global bagi para pembuat kebijakan. Baik Lewis maupun Huntington memang sangat dekat dengan para pembuat kebijakan Amerika Serikat (AS). Itulah sebabnya Huntington begitu kuat menyatakan dukungannya pada supremasi AS dalam percaturan politik dunia, sebagaimana yang telah dijelaskannya dengan tegas:

A world without U.S. primacy will be a world with more violence and disorder and less democracy and economic growth than a world where the United States continues to have more influence than any other country in shaping global affairs.

Pada kesempatan lain, Huntington memberikan ‘wejangan’ agar pemerintah AS menjalankan fungsinya secara efektif sebagai negara superpower untuk memegang kendali negara-negara lainnya di dunia, meskipun dengan cara yang tidak kasat mata:

The architects of power in the United States must create a force that can be felt but not seen. Power remains strong when it remains in the dark; exposed to the sunlight it begins to evaporate.

Karena pandangan-pandangannya yang sangat radikal dan tendensius inilah Lewis dan Huntington dipandang sebagai propagandis – bukan cendekiawan – oleh sementara ahli seperti Edward W. Said dan Noam Chomsky. Pemerintah AS seolah merasa berkewajiban untuk mewujudkan ramalan-ramalan kedua neo-orientalis ini. Setelah era Perang Dingin, pemerintah AS secara efektif menjadikan Islam sebagai musuh bersama, ‘memerangi teror dengan teror’, hingga akhirnya AS – dalam pandangan Chomsky – menjelma menjadi negara yang paling ekstremis-fundamentalis di dunia.

Meski demikian, Chomsky sendiri lebih cenderung menganggap kebijakan politik luar negeri AS tidak bermotifkan agama atau antiagama, melainkan murni karena kepentingan politis belaka. Iran, misalnya, mengalami perlakuan yang sangat berbeda di masa lampau. Sebelum Revolusi, Syah Iran adalah sekutu AS. Pada tahun 1970-an, pemerintah AS mengatakan bahwa Iran seharusnya tidak menghabiskan minyak bumi dan mencari alternatif sumber energi lainnya, yaitu nuklir. Kini, orang menggunakan argumen yang sebaliknya, yaitu bahwa Iran memiliki begitu banyak minyak bumi, dan karena itu, jika Iran berusaha melakukan pengayaan Uranium, pastilah untuk membangun persenjataan nuklir. Ketika Henry Kissinger ditanya oleh surat kabar The Washington Post tentang sikap AS yang bertolak belakang ini, ia menjawab dengan polos bahwa dahulu Iran adalah sekutu, dan mereka membutuhkan nuklir, sedangkan Iran kini adalah musuh, dan karenanya, mereka tidak membutuhkan nuklir.

Apa pun tujuan asalnya, neo-orientalis memang merupakan kekuatan intelek yang dikerahkan untuk mengamankan kepentingan bangsa-bangsa Barat. Oleh karena itu, mereka kerap kali memandang umat Islam dalam kelompok-kelompok kecil yang digolongkan berdasarkan sikap mereka terhadap Barat; kooperatif atau non-kooperatif. Dari sanalah munculnya istilah-istilah Islam militan, Islam moderat, Islam fundamentalis, Islam liberal, Islam tradisionalis, Islam progresif, dan seterusnya.

Oleh : Akmal Sjafril ( Penulis Buku Islam Liberal 101)

Artikel Terkait



Tags: ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com