Mozaik Cinta Sang Murobbiyah



Masih kuingat rumah sederhana yang tepat berada di depan Ma’had Al-Hikmah Jln Bangka IV Jakarta Selatan itu. Rumah tempatku bercengkerama saat jam istirahat kuliah dirosah sepekan 3 kali, atau sekedar numpang wudhu karena antrian wudhu di Ma’had cukup panjang. Sering kulihat Umar dan adik-adiknya keluar rumah lalu pergi diajak naik Toyoya Kijang kotak coklat bersama abi mereka, Ust Budi Dharma. Kadang, di hadapanku melintas Umar, atau Asma yang waktu itu masih kecil-kecil. Umar pernah kuledek, “Eh ada Umar bin Khattab”

Dia menjawab spontan, “Bukan, aku Umar bin Budi”

Jawaban spontan yang sangat cerdas dari seorang anak balita J

Ustadzah sering mengisi kajian di Masjid Al-Hikmah, kurun waktu 1991-1997 itu. Salah satu yang kuingat betul adalah saat beliau memberikan trik praktis saat ada peserta kajian yang bertanya, “Ummi, gimana kalau punya bayi ya? Kok saya sholat lail-nya jadi banyak bolongnya? Baru aja ditinggal sebentar, bayi saya sudah nangis”

Waktu itu, tahun 1994-an mungkin, aku belum menikah, jadi belum terlalu paham juga dengan kerepotan si ibu muda tadi.

Ummu Umar menjawab, “Insya Allah masih bisa ukhti…Yang namanya bayi, ya tugasnya memang nangis. Malah kuatir kita kan, kalau dia gak bisa nangis tapi anteng terus? Nah, anti bisa siapkan bayi dulu dengan memmbersihkan dari najis, terus dipasang pampers, lalu menyempatkan diri wudhu sebentar. Saatnya sholat, gelarlah kasur kecil di samping sajadah kita dan taruh bayi di situ. Kalau dia menangis, jangan panik dulu, tetap teruskan sholat. Tapi kalau terlihat tanda-tanda nangisnya tak mau berhenti, gendonglah dia sambil sholat. Insya Allah dalam dekapan si ibu, dia akan tenang kembali. Sekaligus ini memberikan tarbiyah ruhaniyah padanya, sejak kecil sudah merasakan dan menyaksikan ibunya selalu bangun untuk sholat lail di sepertiga malam”

Mendengar penjelasan beliau, haru sekali rasanya. Benar-benar aplikatif. Oh, ini rahasianya mungkin ya? Hinga meski putra beliau buanyak, tetap tampak kompak, teduh wajahnya dengan seringnya berwudhu.

Saat lain, Oktober 2002, aku dan teman-teman berkunjung ke rumah beliau (sudah pindah) di Depok, menjelang Ramadhan.  Ummu Umar sempat bertanya tentang penyerapan dan pemahaman kami terhadap muwashofat tarbawiyah yang sudah ada. Tentu rata-rata kami menjawab dengan malu, banyakan belum tercapainya dari pada sudah tercapai. Dengan senyum bijak, Ummu Umar bercanda, “Akhowatiii….padahal muwassofat itu sudah menghabiskan berkilo-kilo jeruk dan begadang hampir tiap malam lho untuk bisa jadi seperti itu”

Duuh jadi makin malu.

Kalau jenjang pendidikan formal bisa sampai gelar S2, ini tarbiyah sudah berbilang tahun tapi kok kompetensinya (baca:  pencapaian muwashofatnya) setara anak SD juga belum. Hiks hiks….

Waktu itu, beliau juga menyitir ucapan Bunda Zainab Al-Ghazali, mujahidah tangguh dengan pengorbanannya yang luar biasa, yang buku kisahnya di penjara waktu itu , kubaca saat aku SMA dan membuatku merinding berhari-hari. Bunda Zainab membandingkan kiprah beliau dengan kiprah Asy syahid Ust Sayyid Qutb,“Ibarat membangun rumah, rumahku ini baru pondasi dan kerangka. Tapi rumah Sayyid Qutb sudah berlantai enam”

Huhuhu, kalau bunda Zainab saja merasa baru pondasi, terus macam aku ini apa? Tanah rawa-rawa yang masih penuh akar bakau dan belum diurug kali ya?  Atau comberan di pinggir tanah yang akan dibangun rumah? Hiks hiks

Ustadzah juga memberikan kiat-kiat untuk berinteraksi dengan Al-Quran dengan lebih  baik, saat beliau membahas tentang hadist bahwa posisi seseorang di akherat sesuai dengan ayat terakhir yang dia baca.

“Jadi, seolah-olah, setiap kali kita membaca Al-Qur’an, kita sedang membuat tangga ke surga. Kalau bacanya cuma sedikit-sedikit ya gak bakal nyampek ke surga. Umar bin Khattab itu meninggal saat mengimami sholat subuh dan membaca surat Al-Anfaal. Utsman dan Ali juga dibunuh saat membaca Al-Quran. Kematian seseorang itu, tergantung pada kebiasaannya saat dia hidup

“ Jadi akhowatii, upayakan untuk terus berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jika fisik lelah, akal masih bisa beraktifitas. Tidak kuat lagi bersuara untuk tilawah, bisa beralih dengan membaca tafsir. Jika akal kita lelah juga, ruh masih bisa beraktifitas. Membaca tafsir pun mata dan otak sudah berat, bisa beralih dengan mendengarkan tasmi’ Al-Qur’an. Intinya, jangan keterusan tidur hanya sekedar memenuhi rasa kantuk”

Huwaa, jadi malu sangat. Sering kebablasan tidur padahal belum memenuhi target tilawah 1 juz per hari L

(Tausiyah beliau tentang interaksi dengan Al-Qur’an  inilah yang menjadi ilham bagiku untuk menulis note ‘Bukan Belum Mampu, Tapi Belum Mau’, beberapa waktu yang lalu).

Beliau saat itu juga mengajarkan sebuah doa yang sangat indah bagi kami, para ibu muda. Begini doanya:

Allahumma  baarik fii awlaadinaa wa laa tadzurrohum wa waffiqhum litho ‘atika war zuqnaa birrohum

Ya Allah, berkahilah anak-anak kami. Jangan susahkan mereka. Berikanlah mereka taufiq untuk taat kepada-Mu dan berikanlah rizki pada kami berupa kebaikan2 mereka.

Pertemuan sore itu di tutup dengan secangkir teh jahe hangat dan semangkok bakso panas yang rupanya sudah dipersiapkan Ummu Umar mengingat suasana hari itu yang mendung dan hujan. Kehangatan yang tidak hanya memenuhi kerongkongan dan perut kami yang telah berada di majlis ilmu itu sejak siang berada di rumah beliau, tapi juga menembus jauh ke dalam lubuk hati kami.

Ummu Umar, sungguh belum puas aku mendapat bimbinganmu yang penuh kasih…
(Dituturkan Mukti A. Farid pada Islamedia)

Artikel Terkait



Tags: ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com