Buku Aku dan Al Ikhwan Al Muslimun




Judul : Aku dan Al Ikhwan Al Muslimun
Penulis : DR. Yusuf Al Qaradhawi
Judul Asli : Mudzakkiraat Al Qaradhawi
Penerjemah : M. Lili Nur Aulia
Penerbit : Tarbawi Press
Tebal Buku : 407 halaman, hard cover

jalanpanjang - Buku ini merupakan biografi yang ditulis langsung oleh DR. Yusuf Al Qaradhawi yang hingga saat ini tulisan itu pun belum rampung. Saya hanya mengambil satu episode penting dari kehidupan Syaikh Al Qaradhawi, yang dianggap sangat mewarnai perjalanan hidup beliau selanjutnya. Yakni, ketika awal bersentuhan dan proses interaksinya dengan organisasi dakwah Al Ikhwan Al Muslimun, di bawah pimpinan Ustadz Imam Hasan
Al Banna rahimahullah.


"Aku ingin berterus terang mengatakan,
bahwa aku memperoleh manfaat
agama yang begitu besar dari Al Ikhwan Al Muslimun. Aku memperoleh
faidah yang sangat banyak dari dakwah Ikhwan. Dakwah Ikhwan telah memperluas
cakrawala pikiranku memahami Islam secara utuh, sebagaimana disyariatkan Allah swt, sebagamana tertera

dalam Kitab-Nya, seperti diserukan Rasul-Nya
dan dipahami oleh para sahabatnya. Islam adalah agama dan dunia, dakwah dan negara, aqidah dan syariat, ibadah dan kepemimpinan,
mushaf dan pedang.”

(DR. Yusuf Al Qaradhawi)


Berikut kutipannya yang saya ambil dari Bab :
Menjelang Fase Pembebasan dari Penjara Perang

Masih ingat ketika sebagian Ikhwan akhirnya terpaksa mengetuk jeruji sel penjara untuk meminta air minum? Masih ingat dengan sikap Al-Akh yang sabar dan pemberani Hilmi Mukmin, yang kemudian ia dipukuli oleh tentara penjara, lalu terjadi peristiwa tidak biasa dari pengelola penjara? Di mana para sipir penjara itu mendatangi Al-Akh Hilmi untuk meminta maaf, sampai akhirnya kami semua memulai lembaran baru dalam berinteraksi dengan para sipir penjara. Allah memaafkan apa yang dilakukan sebelumnya.

Tampaknya – wallahu a’lam – peristiwa itu memang menjadi awal interaksi baru di antara kami, di mana para sipir penjara berusaha mengobati luka dan sakit hati yang selama ini dialami Ikhwan. Mereka lalu mulai berpikir untuk membebaskan kami secara bertahap. Ada juga yang mengatakan, perubahan sikap para sipir penjara itu dilatarbelakangi oleh pendekatan yang dilakukan Malik Saudi Arabia dengan pemerintahan Mesir.

Yang jelas, para Ikhwan kemudian dipanggil keluar sel setelah itu. Mereka turun dari tingkat dua dan tiga, lalu berga­bung bersama para Ikhwan yang lain yang ada di tingkat satu dari banguan penjara yang luas itu. Semuanya duduk dalam kondisi tidak mengerti. Salah seorang mereka kemudian berinisiatif untuk membuka forum itu dengan bacaan Al-Qur’anul Karim. Salah seorang Ikhwan lalu membaca beberapa ayat suci dari surat Ali Imran. Ayat yang berbicara tentang ujian di medan perang Uhud, dimulai dari firman Allah swt. surat Ali Imran ayat 138 hingga 149.

Selanjutnya salah seorang dari kami diminta untuk berbicara menyampaikan permintaan maaf atas apa yang mereka lakukan selama ini. Al-Akh Syaikh Mukhtar Haij yang melakukan tugas ini. Ia lantas memuji Allah dan menyampaikan shalawat kepada Rasulullah lalu mengatakan: “Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menyampaikan rasa hormat kami kepada pasukan Mesir, para penjaga penjara perang atas kemenangan mereka dalam peperangan yang panjang terhadap para tahanan, yang tidak lain warga mereka yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun. Tidak ada yang kami katakan kecuali kalimat “Tuhan kami adalah Allah “. Kami sampaikan ucapan selamat dengan kemenangan-kemenangan besar ini setelah mereka memperlakukan kami dengan kejam dan kami berharap agar mereka mendapatkan kemenangan demi kemenangan yang lain dalam berperang melawan Yahudi para perampok bumi Palestina…”

Sebelum Syaikh Mukhtar menyelesaikan perkatannya, suasana kembali berubah menjadi tidak menentu. Para militer penjara membubarkan Ikhwan dan menggiring mereka kembali memasuki sel penjara. Syaikh Haij kemudian ditahan dalam sel seorang diri sebagai hukuman karena ia dianggap telah melecehkan para militer penjara. Tapi tidak lama kemudian dia dibebaskan kembali.

Satu-satunya Shalat Maghrib
Di antara peristiwa yang sulit kulupakan dalam kehidupanku bersama Ikhwan di penjara adalah shalat Maghrib satu-satunya yang diizinkan oleh militer penjara untuk kami lakukan secara berjamaah di halaman penjara perang.

Tiba-tiba pengumuman sipir penjara mengejut­kan kami. Mereka mengizinkan kami melakukan shalat Maghrib berjama’ah sore ini. Benar-benar mengejutkan karena selama ini kami sama sekali dilarang melakukan shalat berjama’ah, meskipun di dalam sel. Membaca Al-Qur’an pun jika terdengar, maka kami akan mendapat hukuman berat.

Shalat Magrib berjamaah akan dilakukan di halaman penjara militer. Para Ikhwan segera bersemangat mempersiap­kan diri melakukan shalat berjama’ah Maghrib. Bagaimanapun, wajah mereka terlihat lebih bersemangat sore ini. Betapa tidak, mereka sudah berbulan-bulan tidak merasakan shalat berjama’ah. Mereka semua berbondong-bondong turun dari gedung penjara dan berkumpul di halaman penjara. Salah seorang Ikhwan lalu menguman­dangkan azan: Allahu akbar … Allahu akbar… Aku seperti tidak percaya dengan peristiwa ini. Apakah ini mimpi?

Para Ikhwan memintaku untuk mengimami mereka dalam shalat Maghrib itu. Aku tengggelam dalam kekhusyuan, ketenangan, ketundukan yang sulit kulupakan kenikmatannya. Aku membaca ayat demi ayat Al-Qur’an dengan bacaan yang menyentuh, menggetarkan dinding penjara yang bertingkat empat itu. Aku membaca dalam dua raka’at shalat Maghrib itu, seperempat akhir dari surat Ali Imran ayat 186:

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang memper­sekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”

Kemudian aku melewati bacaan ayat yang mengandung do’a yang dilantunkan para ulul albab, di ayat 191:

“(Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Aku merasa seperti tidak menginjak bumi, terbang di angkasa yang tinggi. Aku mendengar isakan para Ikhwan yang berdiri di belakang. Aku terus membacakan ayat demi ayat akhir surat Ali Imran. Aku mendapatkan banyak kandungan makna yang baru dari ayat-ayat Al-Qur’an itu dari pada sebelumnya.

Sampai akhirnya kututup dengan ayat “Yaa ayyuhallazina amanush biru wa shobiru wa rabitu wat taqullaha la’allakum tuflihuun.” (Wahai orang-orang beriman, bersabarlah dan lipat gandakanlah kesabaran kalian dan kuatkanlah ikatan kalian dan bertaqwalah pada Allah niscaya kalian menang)

Aku membacanya seperti ini:

Yaa ayuhalazina amanush biruuu
Yaa ayuhallazina amanush biruuu wa shobiru
Yaa ayyuhallazina amanushbiruuu wa shobiru wa rabitu
Yaa ayyuhallazina amanush biruuu wa shobiru wa rabitu wat taqullaha la’allakum tuflihun.

Aku mengucapkan salam diikuti para Ikhwan. Aku menoleh ke belakang, dan kulihat air mata membasahi pipi mereka. Aku tidak tahu apakah itu air mata kekhusyuan, air mata rahmat, atau air mata bahagia?

Subhanallah, bagaimana halaman penjara yang selama ini menjadi medan penyiksaan luar biasa, yang selama ini menjadi tempat kami dihukum di malam hari, yang menjadi tempat tangan dan kaki kami diikat dan disalib pada sebuah papan kayu melingkar untuk kemudian disiksa. Halaman yang saksikan di sana pemukulan dan siksaan bertubi-tubi atas Al-Akh Hilmi Mukmin. Tempat yang menjadi lokasi dibakarnya mushaf Al-Qur’an milik kami. Bagaimana kini tempat itu menjadi seperti masjid jami yang besar, yang bisa digunakan melakukan shalat bersejarah ini? Sejumlah polisi militer di penjara berdiri menyaksikan pemandangan ini dengan pandangan haru.

Usai shalat, para Ikhwan memintaku menyam­paikan beberapa hal, tapi aku menolaknya. Entahlah, tenggorokanku seperti tercekat dan aku merasa tidak bisa lagi bicara setelah melakukan shalat. Kemudian Al-Akh Ustadz Farid Abdul Khalik maju ke depan. Ia menyampaikan beberapa kalimat untuk membangkitkan kembali harapan dan semangat dalam diri para Ikhwan. Ia mengata­kan bahwa fajar pasti akan datang. Bahwasanya tidak putus asa terhadap rahmat Allah kecuali orang-orang kafir dan tidak putus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang sesat.

Sayangnya, shalat yang demikian nikmat itu, menyejukkan pandangan dan menenangkan hati, tidak pernah terulang lagi setelah itu. Ini adalah yang pertama dan terakhir. Tampaknya mereka para sipir penjara telah menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka, efek dari shalat berjamaah ini yang semakin mengokohkan hati dan memperkuat tekad para Ikhwan. Karena itu mereka tidak mengizinkan kami lagi untuk melakukan shalat secara berjama’ah.
Sampai suatu saat, ketika pintu penjara dibuka dan kami diizinkan berbaur, saling berkunjung, saat awal kami memasuki tahap pra pembebasan, para penjaga penjara membolehkan kami melakukan shalat jama’ah. Tapi itu tidak dilakukan di halaman penjara melainkan di setiap sel penjara. Mereka juga tidak melarang bila ada beberapa orang dari sel lain untuk ikut shalat di sel yang lain. Syaratnya hanya satu, shalat itu dilakukan di dalam sel penjara.

Meski telah lewat puluhan tahun, tapi para Ikhwan yang mengalami shalat Maghrib itu, masih terus mengingatnya. Mereka terkadang suka mengingat­kanku dengan shalat Maghrib itu jika kami bertemu. Seperti Yusuf Nada, Ikhwan yang kutemui di Swiss pada tahun 70 an, yang mengata­kan kepadaku: “Apakah engkau masih ingat shalat Maghrib saat engkau menjadi imam kami di penjara perang?” Aku katakan: “Bagaimana aku bisa melupakan shalat yang tak terlupakan itu? Aku tidak merasakan lagi kenikmatan shalat yang sebanding dengan shalat itu dalam hidupku. Atau bahkan aku juga tidak merasakan shalat yang agak mendekati kenikmatan shalat ketika itu.”

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com