MENUMBUHKAN BASIS POLITIK



**(Numu Qudroh al Qo-idah as Siyasiyah) **

Qo-idah siyasiyah merupakan lapisan policy maker atau pembuat keputusan dalam jama’ah. Betapapun qo-idah siyasiyah dan fikriyah kita di tingkat mahali belum kuat tetapi terkompensasi oleh keterikatan kita secara ‘alami.
Dengan itu alhamdulillah kita dapat mereguk dari intaj fikriy dan hikmah siyasiyah yang dilahirkan oleh tanzhim ‘alami. Siyasat itu sendiri senantiasa terkait dengan masalah-masalah lapangan ( al qodloya al maidaniyah ) baik masa lalu, yang dihadapi sekarang maupun proyeksi masa depan. Lantaran itu para ikhwah di lapisan ini hendaknya mampu mengambil ibroh dari masa lalu untuk mengantisipasi masalah yang dihadapinya sekarang
serta membentuk rancangan-rancangan masa yang akan datang.

A. Disiplin Siyasat Islami ( dhowabith as siyasiyah al islamiyah ) Penumbuhan qo-idah siyasiyah sewajarnya lebih meningkat dari basis fikriyah dan basis harakiyah. Sebab meningkatnya basis politis akan menjadi pendorong bagi basis-basis lainnya. Pertumbuhan kemampuan basis siyasah sangat tergantung pada sejauhmana tingkat komitmen terhadap disiplin siyasat Islam ( dhowabith as siyasah al Islamiyah ). Dalam menentukan kebijaksanaan setiap qiyadah atau mas-ul hendaknya berdisiplin dengan :

1) Jelasnya sasaran dan tujuan dari kebijaksanaan yang diambil tersebut ( al ahdaf as shohihah al wadhihah ) Ini merupakan hal yang paling prinsip dari suatu kebijaksanaan. Terkait dengan komitmen dari para pembuat
keputusan tersebut dengan aqidah dan fikroh. Oleh karena itu semakin luas tanggung jawab seseorang dalam harakah, semakin tinggi tingkat kebutuhan pada aqidah dan fikroh. Berapa banyak gerakan, organisasi atau partai politik Islam yang pada pola siyasahnya tidak Islami atau sasarannya jauh dari kebenaran. Hal ini disebabkan lemahnya aqidah dan fikroh para
pemimpinnya. Nyatalah bahwa kelemahan aqidah dan fikroh membawa
penyelewengan terhadap amanah yang dipikul satu jama’ah. Dari kehidupan
Rasululloh dan para sahabatnya kita melihat betapa komitmen aqidah ini
mewarnai kehidupan mereka. Para sahabat tidak pernah melewatkan waktu mereka
sedikitpun dari mengingat Alloh. Sehingga ucapan mereka yang terkenal
“marilah sejenak meningkatkan iman “ ( ta’alau nu-minus sa’ah ). Dari itu
tarbiyah untuk peningkatan dengan wasailnya harus senantiasa digalakkan. Hal
lain yang penting adalah mewujudkan suasana ruhi di setiap liqo-at (
pertemuan ) yang berlangsung. Suasana jama’ah di semua lapisan dan semua
lini hendaknya dipenuhi dengan rahmat dan barkah dari ruhul Qur-an. Ingatlah
sabda Rosululloh SAW : “ Dan tidaklah satu kaum yang sedang duduk bersama
mengingat Alloh ( membaca Qur-an ) melainkan turun kepada mereka para
Malaikat, beredar di antara mereka rahmat “ ( HR. Muslim ).

2) Menggunakan wasilah yang sesuai syari’at ( al wasail al masyru’ah )
Hendaknya dalam pelaksanaan keputusan dipergunakan wasilah ( sarana ) yang
sesuai dengan syari’at Islam. Kita tidak mengenal menghalalkan cara untuk
mencapai tujuan ( al ghoyah laa tubarrirul wasilah ). Sarana kita adalah
yang sah meurut syari’at Islam. Karena itu pemahaman dan penghayatan
terhadap fiqhul ahkam harus senantiasa baik. Kita ingin orang-orang di
lapisan ini merupakan pemimpin yang ulama dan ulama yang pemimpin ( za’imul
alim wa alimuz za’im ). Maka program tarbiyah senantiasa menekankan
pendalaman ajaran Islam ( tafaqquh fid din ). Ini diwujudkan agar para
ikhwah senantiasa bertindak sesuai dengan bimbingan dan hidayah Alloh.
Sebaliknya yang lepas dari ikatan syari’at akan menjadi liar dan bebahaya.
Kebijaksanaan yang menyimpang dari syar’i biasanya akan memunculkan maslahat
pribadi dari para pembuatnya. Tatkala membuat putusan, maslahat pribadi ini
harus dijauhkan sehingga tidak merusak nilai kebijaksanaan tersebut.
Kebijaksanaan hendaknya sepenuhnya mengarah pada maslahat Islam wal
muslimin. Ingatlah “ mauqifus shadiqin “ yang mampu melihat positif dan
mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa dengan tidak terganggu maslahat
pribadi. Ikhwah di qo-idah siyasiyah yang kuat dalam fiqhul ahkam, insya
Alloh tidak akan keliru membuat keputusan. Adapun yang lemah dalam memahami
syariat biasanya selalu menggunakan dalil darurat ( ad dhorurot tanhibul
mahdzurot ). Padahal darurat itu tidak boleh sembarang diungkapkan. Dalam
catatan ayat ghairu baghin wala ‘aadin itu terkandung pengertian “ terpaksa
“ atau “ tidak menginginkan dan tidak keterlaluan “, maka dhorurot bersifat
muaqqotah ( temporal ). Sifat dhorurot begini memang ada dalam syariat
tetapi dalam strategi dan aqidah tidak ada yang bersifat darurat.



3) Keterkaitan yang integral ( as syumuliyah al mutarabithoh ) Betapapun
kebijaksanaan biasanya bersifat kasual ( kasus per kasus ) dalam menentukan
kebijaksanaan hendaknya selalu melihat kaitannya dengan hal lain secara
integral. Harus senantiasa dilihat hubungan satu bidang dengan bidang-bidang
lain karena kekuatan jama’ah saling bertumpu satu dengan yang lain. Memacu
satu bidang dengan meninggalkan bidang lain akan membuat ketimpangan di sana
sini dan pada gilirannya menimbulkan kerepotan yang akan menguras tenaga dan
pemikiran. Untuk mencapai syumuliyatur rabithoh dalam suatu keputusan, para
mas-ul harus memiliki kefahaman yang mendalam terhadap fiqhud da’wah. Oleh
karena itu da’wah Islamiyah yang kita lakukan ini bersifat integral,
menyeluruh tidak sektoral atau terbatas. Di samping itu kebijaksanaan yang
integral hendaknya disesuaikan dengan daya dukung jama’ah. Seringkali banyak
ide yang brilian tetapi tidak bisa diterima oleh karena tidak sesuai dengan
daya dukung jama’ah. Ide seperti itu terpaksa kita tangguhkan. Sebab
kebijaksanaan yang tidak memperoleh dukungan jama’ah tentu tidak akan dapat
terlaksana dengan baik. Terkadang hanya menjadi sekedar program di atas
kertas bukan dalam kenyataan.

4) Saling sempurna menyempurnakan ( al kamilatul mutakamilah ) Ingatlah
bahwa ajaran Islam yang hendak kita wujudkan dalam realitas itu bersifat
kaaffah ( menyeluruh ). Sedangkan kita sebagai manusia memiliki kemampuan
sektoral dan terbatas ( qudroh juz’iyah mahdudah ). Lantaran itu perlu upaya
upaya mendekati sempurna dengan saling menyempurnakan dalam melakukan
aktifitas. Disiplin siyasah ini menuntut kita lebih memahami dan menghayati
fiqh amal jama’i dalam gerakan da’wah. Sebab potensi yang dimiliki hendaknya
terintegrasi, lengkap melengkapi; ikhwah yang berkafa’ah da’wah berwawasan
ilmiyah dan fanniyah, mereka yang berkafaah ilmiah berwawasan da’wah dan
fanniyah dan orang berkemampuan fanniyah berwawasan da’wah dan ilmiyah.
Dalam pengambilan keputusan hendaknya selalu diingat bahwa potensi para
ikhwah itu berlainan. Potensi yang lebih sebaiknya disalurkan untuk membina
yang lain. Ini karena kita hendak membangun jama’ah yang kuat bukan tokoh
yang kuat. Biasanya tokoh kuat dijadikan standar dan itu akan jelek
akibatnya. Kita menyadari benar bahwa kekuatan ummat hanya akan muncul bila
ada jama’ah yang kuat, bukan figur tertentu yang dominan. Karena itu jama’ah
tidak menghendaki adanya plafon berupa tokoh. Plafon kita adalah Rosululloh
SAW. Demikian juga tidak boleh ada orang yang mendahului shof ini atau
sangat tertinggal di belakang. Sebab keadaan itu sama buruknya dengan akibat
yang merugikan gerakan. Gerak kemajuan ikhwah hendaknya bertingkat dan
saling seimbang ( tadarruj wa tawazun ). Di satu bidang yang kita butuhkan
biasanya kita terperangah oleh orang-orang tertentu dengan kemampuan yang
super, telah terangkat namanya di masyarakat. Lantas karena kemampuannya
kita menjadi longgar dalam pembinaan di bidang yang menurut Alloh dan Rosul
justru paling prinsip. Akibatnya mungkin kita hanya sibuk mengurus sang
tokoh dan potensi harakahpun tersedot karenya. Sesungguhnya manusia
berpotensi dan berkemampuan yang kita butuhkan sangat banyak tetapi
kebutuhan ini jangan sampai membuat kita meninggalkan standar pembinaan.
Ingatlah kewajiban tarqiyah sebelum tausi’ah ( peningkatan sebelum perluasan
) sehingga produk-produk da’wah tarbiyah nanti sesuai dengan daya dukung
jama’ah.

5) Pandangan positif yang dinamis ( al ijabiyah al hayawiyah ) Ikhwah
para pengambil keputusan hendaknya senantiasa melihat setiap persoalan
dengan pandangan positif dan dinamis. Meskipun dalam kesukaran atau dalam
posisi sulit. Kesulitan besar dalam da’wah suatu ketika akan menghadang maka
kesulitan-kesulitan kecil mestinya dipandang sebagai upaya mencari
pengalaman menghadapi masalah. Kemampuan mengatasi masa-masa sulit akan
menumbuhkan tingkat survive dalam harakah. Tetapi tentu saja dalam strategi
da’wahpun kita dilarang untuk mencari kesulitan. Misalnya dalam bergerak
kita berupaya agar front yang kita hadapi tidak meluas bahkan menjadi
sesempit mungkin. Watak senantiasa memandang positif dan dinamis erat
hubungannya dengan siyasatud da’wah. Bila ikhwah senantiasa berpedoman pada
siyasatud da’wah maka ia akan berhati-hati dalam bertindak, penuh rancangan
dan perhitungan. Ia mengikuti rencana yang besar yaitu menghancurkan musuh
dari akar-akarnya sehingga kehancurannya itu kehancuran yang total bukan
sebagian-sebagian. Firman Alloh : “ Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka
telah mengadakan makar, maka Alloh menghancurkan rumah-rumah mereka dari
fondasinya, lalu atap ( rumah itu ) jatuh menimpa mereka dari atas dan
datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yng mereka tidak sadari “ (
16:26 ).

6) Kesupelan yang didasari kenyataan lapangan ( al murunah wal waqi’iyah
) Siyasah da’wah sangat terkait dengan kesupelan yang didasari oleh realita
yang dihadapi. Bukan didasarkan pada manfaat yang akan diperoleh. Ini sesuai
dengan hikmatut tasyri’ yang menjadi karakteristik ajaran Islam. Dalam
kitabulloh, syari’at ilahi memberikan range ( skala toleransi ) yang jelas
bila menetapkan suatu hukum. Contohnya dalam masalah makanan yang haram
Alloh berfirman : “ Dan barangsiapa dalam keadaan terpaksa ( memakannya )
sedang dia tidak menginginkan dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (
2:173 ). Dalam perintah shaum Alloh mengatakan : “ … Alloh berkehendak
memberi kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu … “ ( 2:185
). Dalam masalah hutang Alloh menyatakan : “ Bila kamu tidak menjumpai
seorang laki-laki ( untuk menjadi saksi ) maka dengan dua orang perempuan
yang kamu ridhoi agar yang satu dapat mengingatkan yang lain “ ( 2:282 ).
Maka kesupelan ini sangat terkait dengan pengenalan terhadap medan da’wah (
ma’rifatul maidan ). Tanpa mengenal medan dawah yang dihadapi ikhwah sukar
untuk memberikan toleransi dalam menetapkan suatu kebijaksanaan.

7) Kemudahan yang toleran ( as suhulatul mutasamihah ) Dalam pelaksanaan
keputusan da’wah, kita menghadapi berbagai bentuk budaya yang dalam
pelaksanaannya memerlukan kesupelan, tidak kaku dan intoleransi. Ingatlah
bahwa Rosululloh berpesan kepada para du’at : “ Mudahkanlah dan jangan
mempersulit ! Gembirakanlah dan jangan mengecewakan “ ( HR. Bukhori Muslim
). Tetapi toleransi disini tentu saja bukan dalam masalah aqidah atau
prinsip tetapi dalam masalah-masalah syari-at dan uslub da’wah. Untuk
menimbulkan kemudahan dan toleran, para pengambil keputusan hendaknya
menguasai ma’rifatur rijal ( mengenal kader-kader ) baik yang menjadi asset
kita ataupun bukan. Mengenal manusia dengan segala kelebihan dan
keterbatasannya akan membuat kita bijaksana. Allohpun memberi toleransi
dalam perintah-perintahnya : “ Dan barangsiapa di antara kamu yang sakit
atau berada dalam safar maka boleh berbuka dan mengganti ( shaum ) di bulan
yang lain … “ ( 2:185 ). Atau seperti mencukur rambut dalam haji, dalam
firman Alloh : “ … dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum hewan korban
sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada
gangguan di kepalanya ( lalu ia bercukur ) maka wajiblah atasnya berfidyah
yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban … “ ( 2:196 ). Ketujuh unsur
dhowabith siyasat da’wah di atas bila direalisasikan dalam pengambilan
keputusan, insya Alloh akan menghasilkan siyasat al hakimah ( politik yang
bijaksana ) dan akan mempunyai dampak yang baik dalam sebuah gerakan.

Hakimah ma’nanya “ ishobatul haq fil qauli wal amali “ ( mencapai kebenaran
dalam lisan dan perbuatan ). Refleksi dari siyasat hakimah adalah :

a. Penerimaan yang luas ( wasi’atul qobul ).

b. Kuatnya dukungan yang diberikan ( qowiyatud da’m ).

c. Mudah untuk dilaksanakan ( suhulatut tanfizh ).

d. Hasil-hasil yang baik ( thoyibatun nata-ij ).

B. Siyasat Manajemen Harakah ( as siyasat al idariyat al harakah )
Pertumbuhan qo-idah siyasiyah di samping harus berdisiplin dengan dhowabith
siyasiyah juga bertumpu pada manajemen politik ( siyasat idariyah ) dari
gerakan da’wah ini. Semakin ikhwah berpegang teguh dengan siyasat idariyah
semakin sukses pula sebagai qo-idah siyasiyah. siyasat idariyah itu sendiri
berdasarkan pada tiga landasan utama :

1) Memahami policy umum ( as siyasat al ‘aamah ) dan jama’ah. Hendaknya
ikhwah menyadari benar bahwa jama’ah kita bekerja secara syumul dan
menyeluruh untuk kepentingan tegaknya Khilafah Islamiyah. Bukan menegakkan
aktifitas yang sektoral.

2) Memahami Policy tahapan-tahapan/Fase-fase ( as siyasat al marhaliyah
) yang ditempuh da’wah. Siyasat umum ( alami ) adalah sama tetapi
masing-masing qutriy itu memiliki marhalah yag berbeda-beda tergantung dari
medan da’wah yang dihadapi. Ikhwah perlu memahami aplikasi dan implikasi
dari tahapan-tahapan da’wah yag berlain-lainan ini.

3) Menentukan Policy yang Bersifat Bagian ( siyasat far’iyah ) yaitu
kebijaksanaan da’wah yang hendak ditentukan atau dilaksanakan terkait dengan
siyasat ‘aamah dan siyasat marhaliah. Bila ketiga fundamen ini sudah
difahami dan ditentukan barulah dibuat takhtit ( perencanaan ). Harus selalu
diingat bahwa kefahaman terhadap ketiga unsur di atas sangat menentukan
sejauhmana kualitas perancangan yang akan dihasilkan.



Dalam perancangan hendaknya ditentukan hal-hal berikut :

a) Menentukan sasaran-sasaran ( tahdidul ahdaf ) dan rencana yang hendak
kita buat tersebut hendaknya diukur sejauhmana ahdaf tersebut bisa mencapai
sasaran siyasah ‘aamah, marhaliyah atau far’iyah.

b) Menyusun program operasional ( barnamijul ‘amaliyat ) untuk memastikan
tugas-tugas yang akan dikerjakan.

c) Menentukan time schedule ( barnamij az zamaniy ) yaitu target sasaran
berdasarkan waktu. Tetapi kita menyadari hal ini bersifat dzonniyah dan
tidak boleh dimutlakkan. Ingatlah bahwa sering kita jumpai ide-ide baik yang
tidak aplikatif. Ide-ide seperti ini bisa ditangguhkan sampai kita sanggup
melaksanakannya.

d) Menentukan metode bergerak ( uslubut taharruk ) yang dipilih
berdasarkan kebutuhan lapangan yang dihadapi. Uslub bisa variatif agar tidak
menimbulkan kejenuhan. Ingat semboyan “ al ghoyah tsabitah al uslub
mutaghoyyirot “ ( tujuan itu tetap sedangkan metode berlain-lainan ).

e) Menentukan sarana-sarana yang diperlukan ( tahdidul wasail ).

f) Mencantumkan prakiraan biaya yang dibutuhkan ( mizaniyah taqdiriyah
). Setelah keenam hal ini dilaksanakan kita mulai memasuki penataan. Dalam
penataan ( tanzhim ) ada beberapa kewajiban yang tidak boleh dilalaikan,
yaitu: 1. Pembagian tugas ( taqsimul wajibat ) yang disesuaikan dengan
kemampuan ikhwah. Pertimbangkan kondisi medan dan rijal yang kita miliki. 2.
Menentukan tanggung jawab ( tahdidul mas-uliyat ) tanpa menghilangkan sikap
bertanggung jawab terhadap masalah secara umum. 3. Menentukan batas-batas
wewenang dalam tanggung jawab yang diberikan ( tahdidus sulthot ). 4.
Menumbuhkan bentuk administrasi ( tanmiyah al hai-at al idariyah ) tanpa
menghimpun data kearsipan. 5. Menentukan prosedur mekanisme struktural ( al
ijro-at at tanzhimiyah ) yang bila telah diputuskan wajib untuk dipatuhi
bersama. Untuk menggerakkan ikhwah dalam merealisir program tanzhim ini
hendaknya ada pengarahan yang bersifat terus menerus. Bentuk-bentuk
pengarahan ( taujih ) ini bisa : 1. Pengarahan pemimpin ( taujih qiyadi )
yang langsung seperti berupa perintah-perintah, anjuran-anjuran, briefing
dan lain-lain. Hendaknya para mas-ul memerintah dengan cara yang
sebaik-baiknya. 2. Pengarahan untuk meningkatkan semangat moralitas ( taujih
raf’ul ma’nawiyat ) dengan nasihat, mauizhoh, busyro bahkan terkadang dengan
penghargaan yang pantas. Tujuannya agar menggairahkan ikhwah dalam bekerja.
3. Pengarahan untuk komunikasi ( taujih lil ittisholat ). Hubungan
komunikasi harakah ini selalu berubah-ubah sesuai dengan keadaan medan yang
dihadapi berdasarkan pertimbangan amni. Setelah itu diperlukan adanya
pengawasan ( ar roqobah ) yang dalam pelaksanaannya hendaknya ada
unsur-unsur berikut : 1. Standar penerimaan ditunaikannya suatu pekerjaan (
miqiyasul ada ). 2. Adanya standar pengawasan ( al maayirur riqobiyah )
yaitu hanya pada titik-titik rawan yang perlu mendapat perhatian dengan
tidak menutup kemungkinan menerima laporan dari sumber terpercaya. 3. Adanya
upaya untuk melakukan perbaikan dari kekeliruan yang dibuat ( tashihul
inhirof ). Wallohu a’lam.

Artikel Terkait



Tags:

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com