assalaamu'alaikum wr. wb.
Sejak hasil quick count pertama kali keluar, sudah ada yang minta saya
untuk membuat analisa. Meskipun berbagai pertanyaan muncul, tapi
muaranya satu : mengapa PKS hanya dapat (sementara ini sekitar) 8%
suara?
Hal pertama yang harus diklarifikasi adalah bahwa saya tidak memiliki
basis data maupun latar belakang keilmuan yang cukup untuk memberikan
analisa yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabk an secara
ilmiah. Kedua, saya juga bukan orang yang berwenang dalam menentukan
langkah-langkah strategis PKS ke depannya, sehingga tak mungkin bagi
saya untuk memberitahukan bagaimana sikap resmi PKS berikutnya. Ketiga
dan terakhir, setelah saya pikir-pikir, nampaknya analisa yang ada di
otak saya terlalu rumit untuk dituangkan dalam sebuah artikel atau dalam
pembicaraan- pembicaraan singkat lagi santai.
Yang lebih penting daripada analisa, hemat saya, adalah memberikan
respon yang tepat terhadap semua fenomena. Penting sekali bagi setiap
Muslim untuk terus mengingatkan dirinya bahwa hidup ini cuma
aksi-reaksi. Allah SWT sebagai pemberi aksi, dan kita dituntut untuk
memberikan reaksi yang tepat. Bocorannya sudah diberikan sejak dahulu
kala. Rasulullah saw. pernah menjelaskan bahwa hanya ada dua hal yang
menyebabkan kehidupan seorang Muslim begitu luar biasa, yaitu : sabar
dan syukur. Respon yang perlu kita berikan tidak akan keluar dari yang
dua ini.
Prinsip pertama yang harus dipegang adalah berprasangka baik kepada
Allah SWT. Semua kehendak-Nya pasti terlaksana, dan tak ada satu pun
ciptaan-Nya yang tanpa hikmah, baik berupa material maupun fenomena.
Tapi tak cukup berhenti sampai titik itu. Kita pun wajib meyakini bahwa
skenario yang dipilih oleh Allah adalah yang terbaik. Perbedaan dari
evaluasi yang benar dengan menyesali nasib adalah pada perilaku
berandai-andai. Sebenarnya akal manusia tidak punya kemampuan untuk
menyusun skenario kehidupan, karena begitu banyaknya variabel yang
terlibat.
Maka, pandanglah angka 8% itu dengan perasaan dekat dengan Allah. Jika
hati merasa berat, maka bersabarlah. Kemudian cobalah tinjau fenomena
ini dari berbagai perspektif yang akan membuat kita untuk mudah
bersyukur.
Kenaikan dukungan dari 1,5% pada Pemilu 1999 menjadi 7,5% pada Pemilu
2004 tidak hanya ditanggapi dengan gegap gempita, namun ada juga sisi
bahayanya. Kita sudah sama-sama mengalami tahapan ketika dakwah harus
dilaksanakan seperti petak umpet dengan rejim penguasa. Kita juga
mengalami tahapan ketika para da'i merasa gamang diterjunkan ke kancah
politik. Kemudian, barangkali tempo hari adalah masa-masanya kita
mencicipi euforia ketika dukungan dari masyarakat berlipat ganda dan PKS
menjadi parpol yang sangat diperhitungkan. Namun pada saat yang
bersamaan, ketika jatah kursi di DPR berlipat ganda, maka waktu
pendewasaan diri bagi para kader pun disingkat hingga berkali-kali pula.
Pembagian tugas adalah sebuah keniscayaan. Ada yang harus duduk di
Majelis Syuro, ada yang mesti menerima amanah di Dewan Syariah, ada yang
'terpaksa' menjadi pengurus DPP, DPW, DPD, DPC, hingga ke DPRa. Di luar
jabatan struktural itu, ada juga yang mesti menjalani kaderisasi sebagai
mutarabbi, ada pula yang menjadi murabbi (sekaligus mutarabbi juga,
karena tarbiyah tidak mengenal kata 'lulus'). Kenaikan suara yang
signifikan tentunya memaksa kader untuk mengambil tanggung jawab yang
lebih tinggi daripada sebelumnya. Nampaknya, tidak semua kader siap.
Ini titik kekuatan sekaligus tantangan besar bagi PKS. PAN dan PMB,
yang memiliki background Muhammadiyah, misalnya, punya sumber daya
manusia yang sangat besar. Demikian pula PKB dan PKNU, mereka punya
basis dengan SDM yang sangat masif. Di partai-partai lain, kadang kita
temukan juga 'kader karbitan', yang pindah dari parpol satu ke parpol
lainnya, lalu tiba-tiba menerima jabatan yang cukup tinggi. Politik
uang atau apa, entahlah. Yang jelas, hal yang semacam ini sangat tidak
disukai di PKS yang murni partai kader dengan jenjang kaderisasi yang
sangat jelas.
Ketika dukungan naik menjadi 7,5%, tentunya tidak seluruhnya dari 7,5%
itu merupakan kader. Banyak juga yang simpatisan; tidak terlibat di
struktur PKS namun mendukung perjuangan PKS (dan tentunya, insya Allah
memilih PKS). Jika angka 1,5% pada Pemilu 1999 cukup mendekati
prosentase jumlah kader diantara keseluruhan masyarakat Indonesia, maka
angka 7,5% pada Pemilu 2004 bergerak semakin jauh dari realita jumlah
kader. Andaikan perbandingan kader dan simpatisan adalah 50:50, maka
itu berarti hanya setengah dari 7,5% perolehan suara tersebut yang
merupakan mesin politik PKS.
Target suara 20% dalam Pemilu 2009 juga mesti dilihat dari dua sisi.
Tentu tidak ada salahnya mematok harapan setinggi langit, namun harus
siap juga menghadapi kewajiban-kewajiban yang datang beserta cita-cita
itu. Andaikan angka 20% benar-benar berhasil ditembus, itu artinya
dukungan suara untuk PKS kembali berlipat ganda hingga nyaris tiga kali
lipat. Kalau benar-benar mendapat 20% suara, bagaimanakah perbandingan
antara kader dan simpatisan? Seberapa siapkah mesin politik PKS untuk
mengelola tanggung jawab sebesar itu?
Kalau sudah bisa menerima angka 8% dengan hati lapang (baca : bersabar),
tibalah gilirannya untuk bersyukur. Pandanglah angka 8% sebagai tanda
cinta Allah kepada jalan dakwah ini. Segala puji bagi Allah yang tidak
menuntut hamba-hamba- Nya untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.
Kita punya waktu lima tahun lagi untuk membenahi apa-apa yang belum
sempat kita benahi lima tahun ke belakang. Segala yang kendur bisa
dikencangkan, yang lalai bisa dikoreksi, sementara mendewasakan diri
untuk menerima tanggung jawab di marhalah dakwah berikutnya. Kita tidak
perlu memaksa diri mengambil tanggung jawab 'level 20%' jika posisinya
masih di 'level 8%'.
Keadilan Untuk PKS
Menjelang Hari-H Pemilu 2009 kemarin, iklim perdebatan di kalangan umat
Islam mencapai puncaknya. Dari wacana golput atau tidak golput, beralih
pada topik kekecewaan terhadap parpol-parpol Islam, dan biasanya
berujung pada kritik pedas terhadap PKS. PKS tidak seperti Al-Ikhwan
Al-Muslimun lah, PKS tidak seperti Masyumi lah, PKS tidak seperti PK
lah, dan seterusnya.
Nampaknya memang sikap paling bijak dalam menyikapi debat kusir adalah
meninggalkannya. Kita semua (termasuk saya) harus belajar untuk
mengimani sungguh-sungguh petuah Rasulullah saw. tentang hal ini. Pada
akhirnya, debat kusir hanya mencederai ego masing-masing. Yang salah
akan mencari pembenaran, dan yang benar akan menghadapi resiko sombong
(ingat, yang sombong takkan masuk surga!). Kalau atmosfernya sudah
dipenuhi keinginan untuk saling menjatuhkan, itulah saatnya untuk
mundur.
Sebagian orang 'menyerang' PKS simply karena memang tidak suka.
Akibatnya, setiap isu negatif soal PKS akan langsung dicerna, bahkan
disebarluaskan ke milis-milis. Asalkan berita tentang PKS itu buruk,
mereka akan langsung percaya tanpa mengecek sanad-nya. Kadang-kadang
berita semacam itu mereka ambil dengan mudahnya dari media-media sekuler
yang jelas-jelas memusuhi Islam, bahkan mereka pun pernah membicarakan
tentang keberpihakan media-media tersebut kepada kekuatan anti-Islam.
Untuk berita yang lain, mereka mau tabayyun. Untuk berita soal PKS,
lain lagi hukumnya. Kalau mau direpotkan oleh yang seperti begini, maka
waktu 24 jam sehari akan habis begitu saja. Yang terbaik yang bisa kita
lakukan adalah mendesain rencana ke depannya untuk menangkis
berita-berita tidak benar tentang PKS.
PKS memang seringkali diperlakukan tidak adil oleh sebagian pihak.
Kalau melihat fenomena parpol-parpol Islam yang sulit bersatu, tiba-tiba
semua pandangan diarahkan ke PKS, seolah-olah PKS-lah biang kerok tidak
terwujudnya persatuan tersebut. Kemudian jika ada satu saja keburukan
PKS, maka orang akan bersikap seolah-olah PKS adalah yang paling buruk
dari semua parpol, bahkan yang paling buruk diantara semua parpol.
Banyak orang menyindir PKS karena menunjukkan keinginan untuk berkoalisi
dengan Partai Demokrat. Menurut mereka, PKS hanya akan dimanfaatkan
saja oleh kekuatan sekuler di partai itu. Tapi ketika PKS menunjukkan
sikap tegasnya belakangan ini (yaitu untuk menimbang ulang koalisi jika
Partai Golkar ikut-ikutan dalam koalisi), nyaris tak ada yang mau
memberikan apresiasinya. Padahal, sikap tegas ini menunjukkan bahwa PKS
pun siap menunjukkan integritasnya untuk kepentingan umat. "Sungguh,
umat terdahulu ada yang digergaji kepalanya dan disisir oleh sisir besi,
namun mereka tidak mundur dari agamanya. Sungguh, demi Allah, urusan
ini akan disempurnakan kelak. Akan tetapi kalian terlalu terburu-buru. "
Begitulah penggalan nasihat Rasulullah saw. kepada umatnya yang kurang
bersabar. Ingin berlagak raksasa padahal masih kelas liliput.
PKS memang banyak kekurangan, namun tidak jarang juga difitnah. Dari
sekian banyak berita bohong yang disebarluaskan itu, berapakah yang
dikembalikan dengan sebuah permintaan maaf? Sepanjang pengamatan saya
di berbagai milis, belum ada. Mereka yang menebar berita bohong tentang
PKS sama sekali enggan meminta maaf meskipun beritanya sudah terbukti
bohong. Insiden memalukan yang kerap terjadi ini semestinya tidak
membuat hati kita susah. Jelaslah bahwa diskusi yang sehat dengan
oknum-oknum semacam ini sudah nyaris tak mungkin terjadi, karena egonya
sudah mendahului akal dan moralnya. Jika mereka tak sanggup bersikap
adil, barangkali memang kitalah yang ditakdirkan untuk menjadi orang
yang lebih besar hatinya.
Melarikan Diri ?
Beredar pula sugesti-sugesti negatif. "Dulu saya aktif di PK.
Sekarang, saya sudah muak. PKS tidak sama dengan PK. Militansinya jauh
beda. Kualitas kader menurun jauh. Buat apa saya habiskan waktu dengan
jamaah yang seperti ini?"
Buang waktu atau tidak, itu sepenuhnya keputusan dirinya sendiri. Jika
memang tidak mampu lagi mengambil manfaat, maka itu adalah kelemahan
dirinya sendiri. Hampir semua orang yang menyatakan dirinya 'mantan
aktifis PK / PKS yang kecewa berat' tidak mau (atau tidak mampu)
membuktikan klaimnya. Ada beberapa orang yang saya kenal dengan
karakter seperti itu, namun ternyata ia bukan aktifis dimana-mana.
Aktifisme yang dibangga-banggakann ya di masa lalu itu cuma sebatas
halaqah pekanan dan beberapa kepanitiaan saja, itu pun statusnya cuma
'bantu-bantu' , bukan Ketua Panitia atau apalah. Sama dungunya seperti
pernyataan Arbania Fitriani yang konon 'membongkar rahasia PKS' sebagai
parpol yang hendak menyebarluaskan kultur Arab di Indonesia.
Para pengkhianat takkan pernah jadi kader yang baik. Komprador akan
dipandang rendah, baik di negerinya sendiri maupun di negeri penyandang
dananya. Paling tinggi, ia hanya akan jadi alat bagi orang lain.
Dalam pandangan saya, orang yang melarikan diri dari jamaah (jamaah apa
pun, asalkan masih dalam tubuh umat Islam) ketika ia menjumpai
kekurangan di dalamnya, sebenarnya telah memelihara sikap khianat dalam
dirinya. Yang seperti ini takkan pernah puas, karena jamaah impiannya
(yaitu jamaah yang sempurna tanpa cela) takkan pernah eksis. Lagipula,
sikap mental meninggalkan kelompok yang butuh bimbingan bukanlah modal
yang baik bagi seorang da'i (ingat kisah Nabi Yunus as.?). Meskipun
ilmu agamanya selangit, namun jika masih terus-terusan menjadi barisan
sakit hati, pasti bukan da'i namanya, dan pasti bukan dakwah kerjanya.
Mau kecewa sampai kapan? Mereka yang gampang memisahkan diri dari
jamaah biasanya hanya jadi penggembira dan pengamat, bukan pekerja yang
sesungguhnya. Paling banter hanya akan jadi Khawarij umat ini, dan
bukannya Bilal ra. yang memompa semangat di Perang Badar, atau pasukan
pemanah yang tidak ikut silau matanya dengan harta rampasan di Perang
Uhud. Lucu juga membayangkan apa jadinya jika pasukan pemanah pada
Perang Uhud itu terbagi dua : kelompok yang pertama lari menyongsong
harta rampasan, kelompok yang kedua diam di posnya masing-masing
kemudian kecewa dengan jamaah dan pergi meninggalkan medan perang. Di
medan perang manapun, mereka yang pergi meninggalkan teman-temannya
ketika tenaganya justru sangat dibutuhkan tidak akan pernah dicatat
dalam sejarah.
Seorang pembawa acara di sebuah stasiun televisi swasta nampak
kebingungan ketika ust. Hidayat Nur Wahid menceritakan sekelumit sejarah
di balik berdirinya PK. Banyak orang tak menyangka bahwa dulunya beliau
termasuk kelompok yang tidak setuju didirikannya parpol. Namun beliau
tunduk pada syura', memahami resiko dari pilihan yang diambil, dan
konsisten bersama jamaah ini, menghadapi senang dan susahnya. Siapakah
yang namanya lebih besar, ust. Hidayat ataukah barisan sakit hati yang
hanya bersama kita di saat senang?
oleh: Akmal Sjafril
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Magister Pendidikan dan Pemikiran
Islam, Universitas Ibnu Khaldun Bogor)