SEBUAH pidato terlontar di depan anggota partai politik Liga Muslim pada 29
Desember 1930 di Allahabad, kini di bagian Uttar-Pradesh, India. Sang
pembicara adalah presiden baru partai yang sedang menyampaikan visi tentang
masa depan British India, nama negeri mereka ketika itu.
Pilihan diksinya ringkas, tenang, dan menyentuh. Sarannya sederhana:
terapkan teori dua bangsa (two-nation theory) untuk memecahkan problem tak
berkesudahan antara warga Hindu dan muslim yang sudah mengakar berabad-abad.
Dirikan sebuah negara bagi umat Islam, kaum minoritas di antara mayoritas
pemeluk Hindu British India.
Liga Muslim dan teori dua bangsa? Dua frase ini biasanya bersekutu menghela
imaji pembaca kepada nama Muhammad Ali Jinnah (1876-1948), sang
Quaid-e-Azzam, pemimpin besar Pakistan. Dan memang, Jinnah pernah menekankan
pentingnya ihwal yang sama pada pidato pelantikannya sebagai ketua partai
pada 22 Maret 1940—satu dekade setelah pidato bersejarah pada 1930 yang
disampaikan oleh 'Allama Muhammad Iqbal.
Kiprah Iqbal sebagai politikus memang tak terdengar sekuat perannya sebagai
seorang filsuf-cum-penyair. Padahal posisinya di ranah politik Pakistan sama
sekali bukan peran picisan. Meski sebagian besar waktunya habis untuk
menggeluti dunia hukum dan puisi, kekecewaan Iqbal terhadap dominasi
kelompok Hindu di Kongres Nasional India membuat partisipasinya di bidang
politik yang hanya "pas banderol" di awal abad ke-20 kian mengental.
Berkat dukungan para karibnya, seperti Maulana Mohammad Ali, tokoh vokal
pendukung terbentuknya Khilafah Islamiyah, atau Ali Jinnah, yang saat itu
hidup di pengasingan di London, Iqbal membulatkan tekad untuk bertarung
dalam pemilihan umum parlemen, merebut satu kursi untuk daerah pemilihan
Punjab. Ia terpilih menjadi senator pada November 1926 dalam usia 49 tahun.
Di situ, sebagai senator ia mengerahkan segenap energi dan waktunya untuk
mengegolkan proposal konstitusi usul Ali Jinnah yang bertujuan menjamin
hak-hak politik muslim, memperluas pengaruh politikus muslim di parlemen. Ia
juga bekerja sama dengan Sultan Muhammad Shah (Aga Khan III), presiden
pertama Liga Muslim, dan para pemimpin muslim lainnya untuk membenahi
faksi-faksi yang bertikai dalam partai yang berdiri pada 1906 tersebut.
Selama menjadi senator, Iqbal terus berkeliling Pakistan, memberi aneka
ceramah dengan topik hubungan Islam dan politik. Hasilnya adalah buku
berjudul Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930). Dengan
hipotesis bahwa Islam adalah ajaran agama, politik, dan filsafat hukum,
Iqbal menggodam laku politikus muslim yang digerogoti tiga kelemahan:
moralitas melenceng, pengejar jabatan, dan tak memiliki hubungan erat dengan
masyarakat muslim sendiri.
Sepanjang periode itu, Iqbal terus berkorespondensi intensif dengan Ali
Jinnah yang masih hidup di London. Pada salah satu suratnya Iqbal menulis:
"Saya tahu Anda orang yang sangat sibuk, tapi saya harap Anda tak keberatan
jika saya kerap menulis surat, karena Andalah satu-satunya muslim di India
saat ini tempat masyarakat bisa mencari panduan keselamatan untuk melewati
badai yang sedang mendekati barat laut India (maksudnya wilayah Pakistan
sekarang) dan, bahkan, seluruh India."
Berkali-kali pula Iqbal meminta Ali Jinnah segera pulang kampung, sebuah ide
yang akhirnya dilakukan Jinnah pada 1935. Meski akur secara pribadi,
perbedaan ide mereka tentang bentuk negara ideal bisa selebar langit dan
bumi. Ketika Iqbal yakin Islam sebagai basis utama untuk menjalankan
pemerintahan, Ali Jinnah lebih percaya pada bentuk pemerintahan sekuler
karena "Islam tak ada urusannya dengan urusan bernegara". Saat Iqbal
menyerukan perlunya ditegakkan kembali kekhalifahan Islam, Ali Jinnah
berpendapat ide semacam itu hanya bisa muncul akibat "kegilaan beragama".
Dan ketika Iqbal sudah mengkampanyekan pemisahan India-Pakistan (sejak
1930), Ali Jinnah masih mengupayakan kolaborasi Hindu-muslim di parlemen.
Sejarah mencatat, satu dekade kemudian Ali Jinnah merangkul ide Iqbal, yang
saat itu sudah dua tahun meninggal. Ketika akhirnya Pakistan berdiri pada
1947, atau sembilan tahun setelah kematian sang penyair, Ali Jinnah
mengumumkan bahwa Iqbal termasuk salah seorang Bapak Bangsa dengan panggilan
penuh takzim: sang Pemandu Zaman.