jalanpanjang.web.id - Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-oang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa: 95)
Menurut Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu Ayat ini bercerita tentang perang Badr dan orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya. Ketika terjadi perang Badr bertanyalah Abdullah bin Jahsy dan Abdullah bin Ummi Maktum, “Wahai Rasulullah, kami berdua buta, adakah rukhshah bagi kami?” maka turunlah ayat “Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa udzur” . Allah ‘Azza wa Jalla mengutamakan para mujahidin di atas orang yang tidak berangkat jihad, maksudnya adalah jika orang itu tidak berangkat tanpa memiliki alasan syar’i (udzur) atau Ulul Dharar. Begitu pula ayat “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar” adalah tertuju untuk orang beriman yang tidak berangkat tanpa ada alasan syar’i. Lafazh ini dari At Tirmidzi. Ia berkata hadits ini hasan gharib melalui jalur ini. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 2/387. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Ada beberapa ‘ibrah dari ayat ini. Pertama, Allah ‘Azza wa Jalla menceritakan tentang dua tipe orang beriman, yaitu mu’min mujahid (mu’min yang berjihad) dan mu’min qa’id (mu’min yang duduk tidak berjihad), di mana Allah melebihkan mu’min mujahid di atas mu’min qa’id sebanyak satu derajat, dan pahala yang besar. Kedua, ayat ini tidaklah mencela mu’min qa’id, namun demikian, memberikan stimulus (rangsangan) agar kita menjadi mu’min mujahid, sebab Allah ‘Azza wa Jalla telah menyediakan balasan yang besar bagi mereka. Ketiga, dari ayat yang mulia ini, kita mengetahui tentang adanya orang yang memang beriman tapi enggan berjihad. Walau sebenarnya, tidak pantas orang beriman tapi minus amal shalih.
Seringkali orang yang enggan bergerak memiliki alasan untuk itu. Baik alasan yang logis dan syar’i atau yang sengaja dicari-cari. Namun alasan apapun, Allah ‘Azza wa Jalla lebih mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Ada juga yang berdalih dengan ayat:
“Dan tidak sepatutnya orang mu’min semuanya pergi berjihad, mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At taubah: 122)
Padahal ayat ini bukanlah hujjah (alasan) bagi mereka yang diam-diam saja. Justru ayat ini hujjah bagi mereka yang pergi berjihad.
Berkata Imam Al Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu:
ليتفقه الذين خرجوا، بما يردهم الله من الظهور على المشركين، والنصرة، وينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم.
“Hendaknya orang-orang yang keluar itu mempelajari dengan apa-apa yang Allah kehendaki atas diri mereka berupa kemenangan dan pertolongan bagi mereka atas kaum musyrkin, dan mereka memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka kembali nantinya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/237. Imam Ibnu Jarir, Jami’ Al Bayan, 14/571. Muasasah Ar Risalah )
Apa yang dkatakan oleh Imam Al Hasan Al Bashri ini didukung oleh Imam Ibnu Jarir bahwa hendaknya ada sekelompok pasukan yang mempelajari bagaimana menolong agama Allah, umat Islam, dan para sahabat nabi, dari kekuatan musuhnya dan orang kafir. Secara hakiki makna tafaqquh di sini adalah mempelajari cara untuk memenangkan Islam atas orang-orang musyrik. (Ibid, 14/573)
Maka, tidak benar menggunakan saat ini sebagai dalil untuk meninggalkan perjuangan islam, hanya demi mempelajari ilmu-ilmu dunia dan demi kepentingan dunia. Simaklah ucapan Imamul Mujahid Asy Syahid Syaikh Abdullah ‘Azzam Rahimahullah berikut ini, “Sesungguhnya agama ini tidak akan dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang berjihad untuk merealisasikan secara nyata di bumi. Adapun orang yang menghabiskan hidupnya di antara lembaran kitab dan fiqih, tidak akan dapat memahami tabiat agama ini kecuali mereka berjihad untuk membelanya. Agama ini tidak dapat dipahami rahasia-rahasianya oleh orang faqih yang duduk-duduk, karena fiqih itu tidak diambil kesimpulannya kecuali dari perjalanan kehidupan berharakah bersama agama ini di alam realita.”
Berkata Asy Syahid Sayyid Quthb rahimahullah, “Sesungguhnya fiqih tidak dipelajari dari seorang ‘alim yang duduk-duduk saja, sesungguhnya agama Allah ini tidak dipelajari dari seorang ‘alim yang duduk dan beku.” Dalam kesempatan lain ia berkata, “Sesungguhnya duduk meninggalkan jihad adalah tanda cacatnya aqidah dan lemahnya pemahaman agama.”
Kenapa Harus Berbuat?
Pertama. Allah ‘Azza wa Jalla, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang beriman melihat amal kita. Iman dan amal-lah yang menentukan kemuliaan dan kehinaan manusia. Dan untuk amal-lah kenapa Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan kita. Dan yang terpenting, Allah ‘Azza wa Jalla melihat amal terbaik (ahsanu ‘amala), bukan amal terbanyak..
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)
“Dan katakanlah, ‘Beramal-lah kamu, maka Allah, RasulNya, dan Orang-orang beriman akan melihat amalmu’ ” (QS. At taubah: 105)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ‘alaihi shalatu was salam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan penampilan kalian, tetapi Allah melihat hati-hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Kedua. Amal shalih di dunia adalah hujjah (alasan) bagi kita di depan mahkamah Allah pada yaumul hisab nanti. Walau hasilnya jauh dari yang diharapkan bahkan banyak menemui kegagalan, paling tidak kita telah berbuat dan memiliki deposito amal di dunia yang bisa dibanggakan di akhirat kelak.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
“Dan (ingattlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasehati kaum yang akan dibinasakan atau diazab Allah dengan azab yang keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertaqwa.’ “ (QS. Al A’raf: 164)
Ketiga. Amal shalih adalah tiket bagi manusia menuju surga. Apa yang kita perbuat di dunia dengan tujuan mengharapkan surgaNya adalah haq dan masyru’. Sebab dunia adalah ladang bagi akhirat. Dunia adalah tempat menanam dan berjuang, sedangkan akhirat adalah tempat kita menyemai hasilnya.
Jangan hiraukan ucapan para sufi yang melampaui batas. Mereka menyalahkan manusia yang beramal untuk mengharapkan surgaNya, bahkan bagi mereka itu adalah bentuk kemusyrikan. Bagi mereka beramal harus mengharapkan ridhaNya saja dan lantaran cinta kepadaNya, bukan keinginan yang lain seperti mengharap surga atau takut neraka. Lantaran sikap berlebihan ini, mereka terjebak pada sikap menggugat terhadap perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, mengharapkan surga dan mengharapkan ridhaNya bukanlah dua hal yang layak dipertentangkan. Sebab orang yang mendapatkan ridhaNya pastilah tempatnya di surga, sebagaimana penduduk surga adalah pasti orang yang telah diridhaiNya. Sebagaimana ayat: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu.” (QS. Al Fajr: 27-30) Semoga para sufi –khususnya yang ghuluw (melampaui batas)- dan para pengikutnya memahami ayat ini dengan baik dan benar, agar tidak mengeluarkan pernyataan yang merusak dan berlebihan.
Apakah kita berani menyalahkan orang yang mengharapkan surga, padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Salam sejahtera untukmu, masuklah kalian ke surga lantaran amal yang kamu lakukan.” (QS. An Nahl: 32) atau ayat lain: “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman dan beramal shalih, bahwa untuk mereka disediakan surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai ..dst” (QS. Al Baqarah: 25)
Apakah kita berani menyalahkan orang yang mengharapkan terhindar dari neraka padahal Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukan ke dalam surga, maka ia telah beruntung.” Dan Rasulullah ‘alaihi shalatu was salam mengajarkan doa Allahumma ajirni minannar (Ya Allah jauhkanlah aku dari api neraka) atau doa lain yang lebih tegas dalam masalah harap surga dan takut nereka ini, Allahumma inni as-aluka ridhaka wal jannah wa a’udzubika min sakhatika wan naar (Ya Allah aku mohon kepadaMu ridhamu dan surga, dan aku berlindung kepadamu dari panasnya api neraka).
Keempat. Adanya permusuhan orang-orang kafir yang terus-menerus. Sejak fajar da’wah Islam bersinar, kaum kafirin tidak pernah ridha dengan agama ini dan pemeluknya. Mereka membenci Rasulullah dan para sahabat, dengan memberikan julukan-julukan hina dan gambaran yang dusta yang disebarkan. Kebencian ini terus menerus terjadi dari masa ke masa hingga hari ini, bahkan selamanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak membuat jengkel hati orang-orang kafir terhadap orang-orang beriman. Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan meramal shalih, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
“Dan tidak akan pernah senang kepadamu selamanya, orang-orang Yahudi dan Nashrani, sampai kamu mengikuti millah mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)
Karena kebencian inilah mereka bersatu satu sama lain.
“Dan orang-orang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain.” (QS. Al Anfal: 73)
Walau mereka bersatu, sebenarnya hati mereka bermusuhan satu sama lain.
“Kamu kira mereka bersatu padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (QS. Al Hasyr: 14)
Demikianlah, permusuhan mereka ini membuat mereka selalu mengintai, membuat makar, perangkap, dan bahkan penyerangan, terhadap kaum muslimin. Mereka mengetahui kelemahan umat ini, menyusup ke dalam barisannya, dan rela banyak berkorban untuk itu. Sementara umat ini, sedang apa kalian ?
Dari Mana Kita Bergerak?
Telah jelas alasan syar’i dan waqi’ , kenapa kita harus bergerak. Maka, bukan waktunya bagi para ikhwah aktifis bersikap diam, jutek, merengut, cemberut, hanya bisa mencaci maki keadaan, dan gagal gaul. Bertambah buruk bila justru zhan terhadap ikhwah yang bergerak hanya karena ada hal yang tidak berkenan di hati. Lebih buruk jika hal-hal itu sifatnya sangat remeh, tidak prinsip. Akhirnya kader dakwah seperti ini hanya disibukkan dengan apa yang berkecamuk di pikirannya sendiri, hatinya sempit, ingin pergi dari lingkungan da’wah hanya karena ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan dan para da’i lannya. Alangkah baik jika kita memberikan banyak pemakluman, sebab bagaimanapun juga, orang bergerak lalu ada kesalahan masih lebih baik dibanding orang yang tanpa kesalahan sebab memang tidak ada yang diperbuat. Kesalahan orang yang berbuat akan terhapus oleh kebaikan yang menyusulinya. Bukankah demikian?
Namun dari mana kita memulai? Dalam hal ini, potret perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah contoh terbaik untuk diteladani oleh para pejuang. Imam Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan, ‘Islam tidak akan tegak kecuali dengan cara pertama kali ia ditegakkan.”
Aqidah (Ideologi)
Inilah yang harus dibenahi oleh para pejuang Islam. Sebab Inilah yang pertama kali dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Yaitu ‘ani’budullah wajtanibuth thaghut (mengabdi kepada Allah dan menjauhi thaghut) bahkan inilah yang diperjuangkan para Rasul. Sebab dibalik aqidah yang kuat dan bersih, terdapat kekuatan yang maha dahsyat yang mampu merubah si lemah menjadi kuat, si pengecut menjadi pemberani. Kekuatan aqidah adalah kekuatan revolusioner yang merubah secara drastis kondisi Arab jahiliyah menjadi Arab berperadaban. Kekuatan inilah yang merubah Bilal bin Rabbah dari seorang budak menjadi mulia, bahkan dialah yang membunuh dengan tangannya sendiri Umayyah bin Khalaf, mantan majikannya nan kejam ketika jahiliyah.
Kekuatan aqidah inilah yang menjadikan umat Islam menjadi pemimpin dunia selama satu milenium. Hilangnya kekuatan aqidah adalah penyebab utama hilangnya supremasi umat Islam dalam percaturan pergaulan dunia.
Aqidah di sini adalah kekuatan cinta dan iman mendalam kepada Allah ‘Azza wa Jalla, siap mati untuk membela agamanya. Siap menjalankan segala perintahNya dan ridha menjauhi semua laranganNya, disertai pengagungan asma dan sifatNya, menetapkan adanya, tanpa ta’thil (mengingkari), tahrif (merubah), takyif (bertanya bagaimana), tasybih (menyerupakannya dengan yang lain). MenjadikanNya sebagai satu-satunya Asy Syari’ (pembuat syariat) dan paling berhak diibadahi, selainNya adalah thaghut dusta yang wajib diingkari secara total.
Aqidah disini adalah kekuatan cinta dan iman kepada nubuwwah Muhammad Shallallhu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti jejak hidupnya, dan menjadi pembela sunah-sunahnya. Mentaati dan mencintainya, serta mencintai apa yang dicintainya, dan membenci apa yang dibencinya. Dan mengimaninya sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Memuliakan seluruh sahabatnya dan menilai bahwa mereka semua adil dan merupakan generasi terbaik sepanjang masa yang menjadi panutan setuiap muslim sepanjang masa dan di seluruh tempat.
Menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah Ash Shahihah sebagai satu paket pedoman hidup yang tak boleh dipisahkan dan tidak ada keraguan di dalamnya, baik di depan maupun di belakangnya, serta tidak tergantikan dan tertandingi oleh yang lainnya. Semua adalah Al haq (benar), sebab ia turun dari yang Maha Benar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan Kami turunkan adz Dzikr (Al Qur’an) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.” (QS. Al Hijr:44) atau ayat lain: “Dan tidaklah yang diucapkan (Muhammad) itu berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyuNya kepadanya.” (QS. An Najm: 4-5)
Meyakini Islam adalah agama dan kehidupan, pemerintahan dan rakyat, akhlak dan kekuatan, undang-undang dan peradaban, da’wah dan jihad, aqidah dan syariah. Tidak menjadikan selainnya sebagai ideologi dan pedoman hidup, sebab semua selain Islam adalah batil dan sesat, baik Nashrani dan Yahudi yang telah dirusak oleh pemeluknya sendiri, atau isme-isme jahiliyah modern seperti marksisme, komunisme, sosialisime, kapitalisme, nasionalisme sempit, dan lain-lain.
Demikianlah sebagian kecil masalah aqidah yang harus segera dibenahi dalam dada kaum muslimin, sebagai modal dasar menuju kemenangan da’wah Islam.
Akhlak (Moralitas)
Pembenahan akhlak adalah tuntutan selanjutnya, sebab “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia” demikian sabda yang masyhur dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang diinginkan dari perbaikan akhlak ini? Tujuan perbaikan akhlak begitu jauh dan mendalam. Perbaikan ini menginginkan agar seorang muslim tetaplah menjadi seorang muslim yang sebenarnya di mana saja mereka berada, apapun kondisinya. Sehingga mereka menjadi intan permata yang tegar di tengah gundukan sampah. “Bertaqwalah kalian kepada Allah di mana saja berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskannya.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih). Tidak menjadi mumayyi (plin-plan), tidak berpendirian, mudah diwarnai keadaan.
Perbaikan ini menginginkan agar setiap muslim menjadikan akhlak Islam dalam urusan keseharian mereka, politik, ekonomi, pendidikan, militer, kelembagaan, dan lain-lain. Tidak mengunakannya secara parsial. Shalat cara Islam, tetapi ekonomi cara Yahudi. Nikah cara Islam, politik cara machiaveli. Aqiqah cara Islam, mendidik anak cara Amerika.
Setiap bangsa memiliki akhlaknya sendiri, satu sama lain saling bertentangan dan intervensi. Maka akhlak Islam yang memiliki kekhasan dan keunggulan -sebab sifatnya universal tidak terbatas pada bangsa tertentu- lebih berhak mewarnai yang lain. Namun kenyataannya umat Islam sendiri telah menjauh dari akhlak Islam.
Perbaikan ini menginginkan agar setiap ukhti muslimah kembali kepada jati dirinya. Tidak diperbudak mode, fashion, dan para propagandis kebebasan. Tidak menjadikan para artis dan celebritis sebagai acuan hidup dan bahan obrolan. Betapa aneh, sebuah dunia yang tengah ditinggalkan di tempatnya lahir, justru sedang trend di negeri-negeri muslim. Apa yang disebut emansipasi dan isu kesetaraan gender, semua bermuara pada satu hal yang sama, menjerumuskan muslimah dalam jurang tak berujung, menjadi budak hawa nafsu dan syetan, merusak peradaban Islam dan generasi baru, sebab bagi mereka wanita adalah madrasah pertama yang harus dirusak. Adakah ini disadari?
Perbaikan ini menginginkan lahirnya para pemuda yang tangguh, militan dan shalih. Sebagaimana pemuda kahfi. Pemuda yang tidak lupa Tuhannya, menghormati orang tua dan menyayangi anak kecil. Pemuda yang mengetahui tugasnya sebagai agen perubahan dan penerus perjuangan, serta menjadi pasukan iman yang menjadi oposisi bagi kebatilan dan kekuatan syetan.
Amat disayangkan bila ada Harakah Islamiyah yang menyepelekan masalah akhlak ini, bagi mereka perubahan akhlak tidaklah signifikan untuk menuju Khilafah Islamiyah. Mereka lupa, sempitnya negeri bukanlah karena padatnya penduduk, melainkan karena bobroknya akhlak penduduknya. Bukankah demikian?
Fikrah (Pemikiran)
Tidak syak lagi, ghazwul fikri telah lama merontokan bangunan dan struktur pemikiran Islam yang melanda sebagian besar kaum muslimin. Kaum kafir, khususnya Yahudi dan Nashrani, menyerang pemikiran umat melalui berbagai media dan sarana. Sarana informasi dan propaganda seperti televisi, radio, koran dan majalah, yang mudahnya masuk ke negeri-negeri muslim. Bahkan mereka memiliki kaki tangan di negeri-negeri muslim.
Bagai obat bius, -disadari atau tidak- serangan pemikiran ini juga menyusup ke dalam kurikulum pelajaran sekolah-sekolah. Sehingga umat Islam terasa asing di hadapan budaya, peradaban, dan sejarahnya sendiri. Jangan tanyakan mereka, tentang kehebatan Shalahuddin al Ayyubi atau Muhammad al Fatih, keberanian Barra bin Malik atau ‘Imad Aqil, kejeniusan Syaikh Ahmad Yasin atau Yahya Ayyash, kecerdasan Ali bin Thalib atau kehebatan debat Imam Abu Hanifah, kepahlawanan Ummu Khansa atau kepintaran ‘Aisyah, kekuatan hujjah Imam Syafi’i atau ketegaran Imam Ahmad bin Hambal, kecermelangan otak Ibnu Haitsam sang ahli fisika atau Ibnu Nafis penemu pembuluh darah, Al Khawarizmi ahli matematika atau Ibnu Sina rujukan para dokter, Ibnu Batutah sang pengembara atau Laksamana Ceng Ho muslim cina penemu Amerika, Ibnu Rusyd filsuf besar Islam atau Al Ghazaly faqih yang sosiolog, dan lain-lainnya. Jangan tanyakan itu semua! Allahul musta’an
Coba tanyakan tentang Che Guevara, Karl Marx, Lenin, Isaac Newton, Einstein, Thomas Alfa Edison, Superman, Batman, Power Rangers, Ksatria Baja Hitam, Dora, Sponge Bob, Metallica, Guns n Roses, Nirvana, J-Lo, Michael Jackson, Madonna, Britney Spears, Christina Aguilera, Simple Plan, David Beckham, David Trezeguet, Ronaldo, Ronaldinho, Batistuta, Veron, Michael Jordan, Shaqil O’neal, Kobe Bryant, dan lain-lain. Tanyakanlah ini, niscaya meluncurlah jawaban menakjubkan dari mereka, yang tidak kita dapatkan dari pertanyaan sebelumnya.
Menuntut kepedulian mereka terhadap kesengsaraan saudaranya di Palestina, Irak, Afghanistan atau lainnya, adalah tuntutan yang sulit terwujud. Tapi dengarkan tuturan mereka tentang HAM, kesetaraan gender, kebebasan, persamaan, mereka telah meguasainya dengan baik. Tentu dengan definisi yang terbaratkan. Apalagi berbicara tentang kematian artis, perceraiannya, kumpul kebo, dan tetek bengek lainnya. Sunguh begitu peduli. Demikianlah gambaran suram yang meracuni sebagian umat Islam lantaran dahsyatnya ghazwul fikri.
Inilah generasi muslim yang hilang. Mereka kosong dari kebanggaan Islam dan peradabannya. Maka tidak heran bila setelah ghazwul fikri berhasil, musuh-musuh Islam mudah menaklukan wilayah Islam.
Tarbiyah (pendidikan dan pembinaan)
Apa yang Allah ‘Azza wa Jalla tegaskan bahwa Dia meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu dengan banyak derajat adalah benar adanya. Kemuliaan dan kejayaan umat ini pernah diraih lantaran pesatnya ilmu pengetahuan. Saat itu tak ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan dunia. Mereka memahami semua ilmu adalah tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi dan bernilai ibadah mempelajarinya. Allah ‘Azza wa Jalla adalah Al Haq (Yang Maha Benar), maka apa yang diturunkanNya melalui QauliyahNya adalah benar, dan apa yang diturunkanNya melalui KauniyahNya adalah benar. Kedua kebenaran ini tmustahil berbenturan, ilmu-ilmu agama yang berasal dari QauliyahNya akan selalu sejalan dengan iptek yang berasal dari KauniyahNya. Jika ada perbenturan, maka ipteklah yang harus dikaji ulang sebab ia mengalami perkembangan. Sekarang teorinya A, besok berubah B. Sedang agama ini tetap. Hanya sihir, perdukunan, dan sejenisnya yang bukan berasal dari ilmu Allah, melainkan dari syetan.
Paradigma inilah -paradigma yang selalu memuliakan ilmu, apapun ilmu itu selama bermanfaat bagi kehidupan dunia akhirat manusia- yang membuat umat memimpin dunia. Sebab mereka membina diri disertai dengan kesungguhan dan rasa pengabdian kepada Allah Rabbul Jalil, dan berharap balasan yang baik dan besar.
Mereka tidak merasa remeh dengan apa yang dipelajarinya. Adapun saat ini, kita lihat sendiri, calon mahasiswa mencari jurusan bukan semata-mata menuntut ilmu melainkan mengutamakan prospek profesi masa depan. Ya, ujung-ujungnya duit dan perut. Mereka lupa, Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan mewafatkan hambaNya sebelum hak rizkinya terpenuhi semua baginya. Inilah aqidah yang harus dipegang erat. Sungguh, ilmu akan menjaga pemiliknya di mana saja berada. Sebaliknya, harta akan merepotkan pemiliknya, dia akan selalu mencari cara untuk menjaganya.
Jihad
Jihad adalah puncak ajaran Islam. Ia wajib ada dalam benak para pejuang Islam, walau negerinya tanpa pergelokan. Hakikatnya, esensi jihad ada di manapun. Kita bisa jihad di bidang apa saja, sebab jihad adalah kesungguhan dan kesulitan. Namun dalam konteks ini, jihad dalam arti sebenarnya yaitu qital bi saif (perang dengan pedang) tidak boleh redup apalagi hilang dalam agenda para pejuang Islam. Sebab cepat atau lambat akan datang masanya umat ini akan mengalami jihad besar melawan kekuatan kafir, Nashrani dan Yahudi. Peristiwa Bosnia Herzegovina atau Ambon adalah bukti dan akibat dari kelengahan umat dalam mempersiapkan dirinya dengan jihad.
Rasulullah ‘Alaihi shalatu wa salam mengingatkan:
"من مات ولم يغز ولم يُحَدِّثْ نفسه بالغزو مات على شعبةٍ من نفاقٍ".
“Barangsiapa yang belum pernah berperang, dan belum pernah dirinya membicarakan perang, maka jika ia mati, mati dalam cabang kemunafikan.” (HR. Muslim No. 1910, Abu Daud No. 2502, )
Wallahu a’lam wa lillahil ‘izzah