Share tulisannya akh Akmal , berbicara tentang masalah klasik profesionalisme aktivis da'wah dan sebenarnya hanya ulah segelintir oknum.
Masalahnya seringkali justru seolah mencerminkan image aktivisda'wah seperti ini bahkan lebih gawat lagi jika dianggap cerminan umat Islam.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi pengingat bahwa kesalihan berkorelasi positif dengan profesionalisme.Masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra. Masyarakat Arab mulai gandrung dengan buku. Pabrik kertas berdiri di ibukota, kertas-kertas pun dikirim ke seluruh propinsi kekhalifahan. Orang mulai giat membaca dan menulis.
Tak berapa lama, masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas mulai membangun perpustakaan pribadi di rumah masing-masing. Ada yang koleksinya mencapai ratusan jilid. Sebuah angka fantastis yang menunjukkan betapa pesat perkembangan budaya baca-tulis di tengah-tengah masyarakat Arab yang dahulu justru dikenal sebagai penghapal, bukan pencatat. Pada masa itu belum ada mesin cetak. Para juru tulis harus bekerja siang-malam untuk menerima orderan menyalin buku. Segala keterbatasan diterobos oleh masyarakat yang memang sudah sangat haus akan ilmu.
Kecintaan pada ilmu kemudian menjadi ‘wabah nasional’. Sains berkembang dengan begitu pesatnya. Orang meninggalkan perdukunan dan beralih pada kedokteran ilmiah yang didukung oleh riset yang lengkap. Para ilmuwan sibuk dengan observasi dan eksperimennya masing-masing, dan tentu saja mereka pun sibuk dengan kegiatan mencatat, mencatat dan mencatat.
Ada masa-masanya ketika seorang ilmuwan yang hidup di wilayah kekhalifahan Islam tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya. Biaya riset ditanggung negara. Segala kebutuhan tercukupi, asalkan sumbangsihnya bagi ilmu pengetahuan terlihat nyata. Pada masa-masa inilah lahir para cendekiawan sekelas Al-Biruni yang karyanya meliputi daftar berat jenis macam-macam logam, ensiklopedi tumbuh-tumbuhan, catatan pengamatan pergerakan bintang, astrolab, catatan sejarah dan kehidupan bangsa India, perintisan ilmu geodesi, hingga perhitungan diameter Bumi yang hanya meleset sedikit saja dari perhitungan modern.
Ada masa-masanya ketika para petualang Muslim menjelajah ke seluruh penjuru bumi. Mereka tak pernah dihalangi oleh berbagai macam takhayul semacam makhluk raksasa di seberang lautan, karena ke arah manapun layar dikembangkan pastilah mereka tetap di bumi Allah. Mereka juga bukan petualang yang punya kecenderungan kejam kepada masyarakat pribumi, karena ekspedisi yang mereka lakukan adalah untuk dakwah dan memakmurkan bumi, bukan untuk menguras kekayaan negeri lain. Para petualang inilah yang kemudian mewariskan catatan yang ekstensif tentang bangsa-bangsa lain. Di hadapan peradaban Islam yang sudah sangat maju ketika itu, peradaban lain terlihat begitu menyedihkan. Ada yang masih sangat kental nuansa mistis dan takhayulnya, ada yang masih barbar dan kejam pada anggota keluarganya sendiri, ada yang masih jarang mandi dan mencuci tangan sebelum makan, ada juga yang punya kekuasaan besar dan mampu mengkonstruksi bangunan-bangunan megah, namun perilakunya tidak kalah biadabnya dengan yang lain.
Itulah kejayaan masa lalu. Dulu masyarakat Eropa berbondong-bondong kuliah ke Spanyol untuk belajar dari umat Muslim. Tapi antiklimaks melanda peradaban Islam. Umat Islam dibuai oleh prestasinya sendiri. Banyak yang lupa agamanya, karena sudah mengecap kenikmatan duniawi. Orang mulai berebut kekuasaan. Masing-masing ingin jadi penguasa di negerinya sendiri, mengabaikan persatuan Islam. Akhirnya keadaan berbalik. Banjir darah melanda Spanyol. Umat Muslim yang beruntung disuruh angkat kaki, sisanya dibantai.
Gelombang sekularisme melanda dunia, memberikan akibat yang sangat berbeda terhadap peradaban Islam dan peradaban Barat. Peradaban Islam, yang tradisi keilmuannya ditumbuhkan dari agama, runtuh berantakan. Peradaban Barat, yang justru memberangus agamanya sendiri, terus bergerak maju. Jangan heran kalau masyarakat Barat kini justru memandang sebagian masyarakat Muslim dengan sebelah mata. Di mata mereka, kini kitalah yang jarang mandi, jarang mencuci tangan, tidak tertib, malas membaca, tidak giat bekerja, tidak menepati janji dan seterusnya.
Telah terjadi korupsi makna “iman” di peradaban Islam, sehingga seolah-olah iman tidak memiliki implikasi terhadap ‘adab. Padahal Rasulullah saw. sering sekali menyatakan bahwa ‘adab adalah parameter iman itu sendiri. Simaklah tiga contoh hadits di bawah ini:
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR Bukhari)
‘Anas ra berkata, Rasulullah saw sangat jarang menyampaikan kepada kami kecuali perkataan “Tidak ada iman bagi orang yang tidak menunaikan amanah, dan tidak ada agama bagi yang tidak menepati janji.” (HR Ahmad)
Dari Abu Syuraih Al-Khuza’i ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berbuat baik terhadap tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berbicara baik atau diam.” (HR Ibnu Majah)
Malu, menepati janji dan amanah, berbuat baik terhadap tetangga, memuliakan tamu dan bicara baik atau diam adalah sebagian dari sekian banyak parameter iman. Itulah sebabnya iman tidak dibatasi di hati, melainkan juga di lisan dan perbuatan. Iman yang benar itulah yang akan memberikan shibghah, sehingga orang tak beriman seharusnya tak perlu mengeluarkan KTP untuk membuktikan keislamannya. Jika konsep iman benar-benar kita pahami, maka ia pasti akan terpancar dari sikap kita.
Masalah yang kita jumpai kini adalah begitu banyaknya Muslim yang keislamannya belum terpancar dari sikap dan perbuatannya. Banyak yang tidak lalai dari shalat lima waktu tapi tidak tertib dalam antrian. Banyak yang shaum-nya sempurna tapi masih suka menyikut orang ketika pintu kereta dibuka. Banyak yang rajin baca al-ma’tsurat tapi datang tepat waktu untuk syuro saja susahnya minta ampun. Banyak yang sangat disiplin menyetor hapalan Al-Qur’an tapi tak bisa disiplin di tempat kerjanya. Banyak yang sangat sigap menjawab panggilan adzan, tapi kalau untuk urusan deadline kerja justru sesuka hatinya saja.
Masalah inilah yang harus kita pahami bersama. Masyarakat Islam di masa lampau tidak mencapai puncak peradaban hanya dengan shalat, shaum, zakat dan pergi berhaji. Kenyataannya, memang ajaran Rasulullah saw. penuh dengan hal-hal yang bukan shalat, shaum, zakat dan haji. Sikap profesional, menumbuhkan inisiatif, memenuhi deadline kerja, check & recheck, tertib dalam segala sesuatunya, bergerak cepat dan sigap, gemar membaca dan seterusnya, itu pun bagian dari ajaran Islam. Mengabaikannya adalah juga pengabaian terhadap ajaran Islam, dan cacat besar dalam keimanan kita.
Pernah saya jumpai seseorang yang menubruk barisan untuk berebut masuk ke dalam kereta. Ketika ia sudah di dalam, barulah saya melihat perawakannya. Janggut lumayan panjang, celana sedikit ngatung, dan di puncak dahinya ada bekas berwarna kehitaman. Tak perlu ditanya lagi penampilannya identik dengan umat yang mana. Ada jeda waktu sekitar 20-30 detik sebelum pintu kereta ditutup. Waktu yang sempit itu dimanfaatkan oleh beberapa orang yang tersinggung karena tadi ditabrak-tabrak oleh lelaki tadi ketika ia ingin masuk ke dalam kereta. Berbagai caci maki pun terlontar dari lidah mereka. Beberapa kata-kata kotor yang tak perlu saya sampaikan di sini pun tak lupa disampaikan.
Ada juga aktifis dakwah lain yang penampilannya sangat santun, bersahaja, dan ibadahnya dikenal baik. Orangnya ramah dan mudah bergaul. Sayang, reputasinya di dunia kerja kurang baik. Pekerjaan-pekerjaannya jarang sekali yang selesai tepat waktu. Sikapnya ini tentu saja sangat membebani teman-teman sekantornya. Saya cukup optimis mengatakan bahwa posisinya di kantor hanya masalah waktu saja.
Dalam interaksi dengan sesama manusia, terutama di dunia kerja, status seseorang sebagai aktifis dakwah tidak akan menolong. Orang takkan peduli jika kita tak pernah ketinggalan Shalat Rawatib tapi tak bisa datang tepat waktu. Orang tak ambil pusing apakah yang dihadapinya ini ustadz atau da’i kalau perilakunya tidak santun.
Memang benar, ada konspirasi global untuk menghambat kemajuan umat Islam. Akan tetapi di luar itu, kita masih punya banyak PR, terutama untuk membenahi kondisi internal umat. Kalau ingin bersaing dengan peradaban lain, maka profesionalitas harus ditumbuhkan. Tradisi ilmu harus dijunjung tinggi. Kita perlu banyak da’i yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya masing-masing, yang tidak hanya menguasai ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, tapi juga berkontribusi dengan menjadi ahli di bidang-bidang ilmu yang fardhu kifayah.
Jika kondisi ini belum tercapai, maka saya tidak yakin pembicaraan soal mengganti sistem pemerintahan dengan Syariat Islam atau mendirikan Khilafah Islamiyah adalah hal yang perlu kita prioritaskan kini.
Sumber : Akmal.multiply.com