jalanpanjang.web.id - Kebijakan moratorium pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi, dan terorisme yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM terus menuai polemik di Tanah Air.
Fraksi PKS di DPR menilai, kebijakan pemerintah terkait penegakan hukum di negeri ini harus berdasarkan koridor hukum yang berlaku. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir Djamil.
Menurutnya, penegakan hukum yang tidak berdasarkan kepada koridor perundang-undangan yang berlaku, justru dapat menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, terutama terpidana atau warga binaan. "Kami setuju dan mendukung penuh upaya penegakan hukum di Indonesia sepanjang penegakan hukum itu berada dalam koridor hukum yang jelas," ujar Nasir di Jakarta, Ahad (10/12).
Dia mencontohkan, keputusan pengetatan remisi yang sebelumnya disebut moratorium yang dibuat Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, pengaturan tentang hal itu sudah diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 dan PP No. 28 tahun 2006. "Jadi, jangan (keputusan dibuat hanya) dengan telepon dapat membatalkan Surat Keputusan (sebelumnya)," cetusnya.
Terlebih lagi, lanjut Nasir, surat edaran tertanggal 31 Oktober 2011 ke setiap Kanwil Lapas yang mencantumkan kata-kata tidak memberikan remisi dalam menyambut hari Natal 2011. "Ini adalah hal yang bertentangan dengan UU No. 12 tahun 1995 dan PP No. 28 tahun 2006, di mana remisi itu adalah hak warga binaan berkenaan perayaan hari besar agama," kata dia.
Yang dikhawatirkan, menurut dia, akan menimbulkan kecemburuan SARA dan perbedaan perlakuan yang tidak seimbang, di mana pada hari Idul Fitri kemarin para terpidana atau warga binaan telah mendapatkan hak remisi-nya.
"Dapat kita bayangkan, bagaimana kalau dari 102 orang terpidana atau warga binaan yang telah menerima salinan surat keputusan tertunda hanya karena perintah telepon dan surat edaran tertanggal 31 Okt 2011 tersebut. Ini salah satu bagian dari alasannya," kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Aceh I ini.(republika.co.id)
Fraksi PKS di DPR menilai, kebijakan pemerintah terkait penegakan hukum di negeri ini harus berdasarkan koridor hukum yang berlaku. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPR, Nasir Djamil.
Menurutnya, penegakan hukum yang tidak berdasarkan kepada koridor perundang-undangan yang berlaku, justru dapat menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat, terutama terpidana atau warga binaan. "Kami setuju dan mendukung penuh upaya penegakan hukum di Indonesia sepanjang penegakan hukum itu berada dalam koridor hukum yang jelas," ujar Nasir di Jakarta, Ahad (10/12).
Dia mencontohkan, keputusan pengetatan remisi yang sebelumnya disebut moratorium yang dibuat Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, pengaturan tentang hal itu sudah diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 dan PP No. 28 tahun 2006. "Jadi, jangan (keputusan dibuat hanya) dengan telepon dapat membatalkan Surat Keputusan (sebelumnya)," cetusnya.
Terlebih lagi, lanjut Nasir, surat edaran tertanggal 31 Oktober 2011 ke setiap Kanwil Lapas yang mencantumkan kata-kata tidak memberikan remisi dalam menyambut hari Natal 2011. "Ini adalah hal yang bertentangan dengan UU No. 12 tahun 1995 dan PP No. 28 tahun 2006, di mana remisi itu adalah hak warga binaan berkenaan perayaan hari besar agama," kata dia.
Yang dikhawatirkan, menurut dia, akan menimbulkan kecemburuan SARA dan perbedaan perlakuan yang tidak seimbang, di mana pada hari Idul Fitri kemarin para terpidana atau warga binaan telah mendapatkan hak remisi-nya.
"Dapat kita bayangkan, bagaimana kalau dari 102 orang terpidana atau warga binaan yang telah menerima salinan surat keputusan tertunda hanya karena perintah telepon dan surat edaran tertanggal 31 Okt 2011 tersebut. Ini salah satu bagian dari alasannya," kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Aceh I ini.(republika.co.id)