Dialetika Islam dan Negara
Dalam konteks ideologis, dialektika antara Islam dan negara adalah masalah yang sangat penting bagi Indonesia, karena di sana tersimpan sumber energi bangsa yang menentukan masa depan.
Dialektika ini perlu dibedah dari aspek akar sejarah, kondisi kontemporer, serta inti masalahnya sendiri, baru setelah itu dapat diusulkan solusi rasional, dewasa dan permanen yang mungkin
dijalankan.
Pertama adalah aspek historis dialektika Islam dan Negara. Islam masuk ke wilayah Nusantara melalui Selat Malaka, menuju pulau Jawa di Jepara dan Gresik. Dari sana penyebaran Islam bergerak menuju Banjarmasin, Goa, Ambon, dan Ternate. Pada gilirannya, secara struktural berdiri Kerajaan Pasai, Kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, Kerajaan Goa, Kerajaan Ternate, dan lainnya. Secara damai, dialogis dan kultural, Islam masuk ke seluruh wilayah Nusantara ini. Sebagai agama populis, egaliter, dengan etos dan budaya dagang; Islam telah membangkitkan semangat wirausaha para pemeluknya yang terutama tinggal di daerah pesisir. Pemeluk awal Islam Nusantara adalah para pedagang kaya, makmur, dan terpelajar. Segera saja hal itu menjadi daya tarik bagi kaum pribumi. Pengembangan Islam selanjutnya memunculkan apa yang disebut sebagai pusat-pusat lingkaran peradaban, yakni istana, pesantren, dan pasar. Dengan karakter yang tidak membedakan antara kegiatan agama dan politik, bahkan ekonomi, maka agama ini
memiliki struktur-struktur tradisional mulai dari pesantren, madrasah, meunasah, majlis taklim, organisasi dagang, sampai tarekat sufi, pengajian, gerakan pemuda, masjid sampai pranata
haji. Struktur-struktur sosial ini selanjutnya menjadi wadah bagi upaya untuk menyediakan kader-kader kepemimpinan Islam. Para pedagang, mubalig, guru-guru agama, raja-raja pribumi, pengeran, ulama, pemimpin tarekat sufi, wali, sufi pengembara, seniman, sastrawan, cendekiawan, tabib, dan sebagainya memerankan diri dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara.
Pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam Nusantara serta penulisan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu sangat efektif sebagai faktor pendorong bagi terjadinya integrasi bangsa Indonesia. Sejak abad ke-16 praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam, agama yang relatif baru dan jauh dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam. Dalam tiga atau empat abad, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Betapa sedikit sekali yang tertinggal dari warisan Hindu di masa lalu, bahkan di pedalaman Jawa sekalipun dan memunculkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam begitu komplit (Religion of Java, Hodgson, 1974). Ketika kolonialisme datang di bumi Nusantara, agama dan jiwa kebudayaan Islam yang menolak penindasan, ketidakadilan secara langsung telah menggerakkan sikap penentangan terhadap penjajah. Kesadaran nasionalisme umat Islam pada fase awal dalam praktiknya mengambil bentuk yang beragam, mulai dari perlawanan fisik terhadap kolonialisme (paling lambat sejak awal abad ke-19 dalam bentuk apa yang disebut sebagai pre/proto nasionalisme), sikap anti-kapitalisme, perjuangan mengembangkan identitas yang berbeda dari bangsa asing, serta peningkatan kualitas pendidikan, dan ekonomi masyarakat pribumi.
Hal itu dimungkinkan, karena munculnya kesadaran sejarah Islam yang panjang di bumi Nusantara. Kesadaran inilah yang memunculkan nasionalisme Islam, yang berbeda dengan nasionalisme sekuler yang lepas dari agama. Proto nasionalisme itu, menampakkan wajahnya pada konfrontasi langsung dengan kolonialisme Belanda yang dimulai sejak pertengahan abad ke-17 dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646), Perang Makasar (1660-1669), Perang Trunojoyo (1675- 679) di Jawa, Perang Banten (1680-1682), dan terutama dalam perang antikolonial sejak akhir abad ke-18, ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh kekuasannya kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Pertempuran paling sengit dan menimbulkkan kerugian besar bagi pihak Belanda adalah Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang (1812-1816), Perang Paderi (1821-1838) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908). Semua aksi bersenjata ini digerakkan oleh raja-raja, pengeran, ulama, pemimpin tarekat serta santri-santri mereka.
Dalam pergerakan modern menjelang kemerdekaan, institusi penting Islam yang menonjol adalah Syarekat Islam (SI) yang bergerak dalam lapangan politik, Muhammadiyah yang bergerak dalam lapangan sosial dan pendidikan, serta NU yang terutama bergerak dalam lapangan pendidikan pesantren. Syarikat Islam yang merupakan organisasi kelanjutan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) merupakan organisasi yang memiliki agenda politik selain ekonomi. Organisasi berskala nasional dan modern ini menghendaki pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari penjajahan.
Tujuan lainnya adalah untuk membangkitkan semangat dagang pribumi dan membangun kerjasama untuk melawan kaum pedagang asing, yang mendapat perlakuan istimewa dari penjajah Belanda. Dari fakta historis di atas, maka sangat jelas, bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru melalui rahim Islam, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan. Dibandingkan organisasi kedaerahan yang masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo (basis kepentingan priyayi Jawa), gerakan SI justru bersifat nasional. Islam terbukti berfungsi sebagai faktor integrasi, bahkan lebih jauh lagi akar dari nasionalisme dan pembentukan negara-bangsa untuk kasus Indonesia. SI telah berhasil menarik para pedagang, para pekerja di kota-kota, para kyai dan bahkan sejumlah priyayi serta kaum tani ke dalam gerakan politik massal pertama di jaman penjajahan (Benda, 1958). Kedua adalah fakta dan kondisi kontemporer hubungan Islam dan Negara. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang relatif baru merdeka, banyak yang masih dihantui oleh masalah mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni masalah stabilitas ideologi. Kerapkali konsensus sejarah dalam memutuskan ideologi negara berakhir tanpa penerimaan total dari seluruh komponen bangsa yang bersangkutan. Ketika Ideologi negara yang melandaskan kebangsaan dalam kasus Indonesia dinegosiasikan secara demokratis di panggung politik, terlihat sekali bahwa proses dialektika tersebut berjalan sangat alot. Hal itu terlihat pada dialog tahap pertama selama diskusi di BPUPKI dan dilanjutkan di PPKI pada tahun 1945, maupun dalam dialog tahap kedua pada sidang-sidang Konstituante pada tahun 1956-1958.Pada fase pertama dialog nasional, Piagam Jakarta yang memuat tujuh kata, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang sebelumnya telah disepakati dalam rapat BPUPKI sebelum lembaga ini dibubarkan pemerintah Jepang, berhasil dicoret dalam sidang PPKI. Sejarah memperlihatkan, bahwa secara politis penerimaan total pada pencoretan Piagam Jakarta itu tidak terjadi. Komponen Islam belum sepenuhnya menerima tafsiran nasionalis sekuler terhadap dasar negara. Maka, perjuangan untuk menjadikan keyakinan agama—penduduk mayoritas negeri ini—sebagai dasar negara tetap dilakukan, baik melalui perjuangan pergerakan oleh NII sejak 17 Agustus 1949 dan secara konstitusional melalui partai-partai Islam nasionalis seperti Mayumi, NU, dan PSII.
Pada dialog tahap kedua, partai-partai Islam dengan komposisi suara 40% di parlemen kembali dengan sangat alot mempertahankan konsep dasar negara berdasarkan keyakinan agama. Ujung akhirnya adalah ketiadaan kesepakatan Konstituante yang menyebabkan Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden tahun 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Melalui sistem Demokrasi Terpimpin, persoalan ideologi ditekan di bawah upaya-upaya pembangunan negara. Penumpasan gerakan NII (1949-1965) pun dilakukan. Sejarah memperlihatkan kedua jalur upaya penegakan dasar negara berdasarkan keyakinan agama gagal. Selama rezim Soeharto berkuasa, trauma ideologis ini mengambil bentuk marjinalisasi partai politik dan penekanan pada kuasi-ideologi, yakni pragmatisme melalui pembangunan ekonomi, yang selanjutnya menghasilkan teknokratisme yang bebas ideologi. Kebijakan massa mengambang, kesibukan pembangunan, pengawasan oleh militer sampai tingkat-tingkat terkecil pemerintahan. Puncak dari itu semua adalah pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Maka, lengkap sudah the end of ideology.
Namun Islam tetap berkembang di Indonesia, terutama melalui jalur kultural. Fakta sosial, budaya dan politik umat Islam memperlihatkan bahwa umat Islam adalah penduduk mayoritas di negeri ini. Mereka tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Budaya Islam telah terakulturasi dalam budaya Indonesia. Islam, sebagai faktor budaya telah mempersatukan Nusantara yang terdiri lebih dari 250 etnik menjadi “bangsa baru” bernama Indonesia. Secara politis, meski negara nasional Indonesia tidak berdasarkan Islam, namun Islam diyakini para Pendiri Bangsa yang nasionalis sekuler sekalipun sebagai agen katalisator bagi nasionalisme dan persatuan kebangsaan; menjadi faktor integrasi dan kohesi sosial; sekaligus menjadi simbol nasional. Islam adalah api, spirit dan jiwa negara Indonesia; menjadi sumber karakter dan landasan moral bangsa dan negara. Hal itu terbukti dan terpatri dalam Pembukaan UUD 1945 yang secara tekstual berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah” serta “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sila pertama Pancasila) yang memperlihatkan keislaman Indonesia berdasar pada prinsip tauhid. Begitu pula, Dekrit Presiden Juli 1959 pada alinea kelima berbunyi: ”Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Sebagai kelanjutan dari capaian politis ini, maka perhatian negara terhadap agama adalah sebuah proses dialogis yang melalui pasang surut dan pasang naik. Adanya Departemen Agama yang mengatur urusan haji dan pendidikan agama Islam yang menjangkau dari Ibtidaiyah sampai universitas Islam, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, penataan Bank Islam dan Badan Amil Zakat, penetapan pemberlakuan syariat di Aceh melalui UU. No.18/2001, serta penerapan syariah di daerah lain berdasarkan Perda.Fakta politis menjelang akhir kejatuhan Orde Baru, umat Islam yang semula termarjinalisasi mulai mendapat perhatian. Kesan “ijo royoroyo” di parlemen dan terutama adalah pembentukan ICMI dengan ketuanya B.J. Habibie menandakan politik mendekat ke umat mulai
dijalankan. Terlihat mobilitas vertikal kaum Muslimin dalam birokrasi, seiring dengan tingkat pendidikan mereka, yang merupakan buah dari gerakan kultural Islam. Namun mobilitas vertikal SDM umat untuk ikut serta menentukan isi dan arah pembangunan kerap dipandang oleh sebagian komponen bangsa lain bukan sebagai suatu kewajaran atau sebagai suatu keniscayaan secara politis, sosial dan ekonomis. Pasca reformasi, dengan kebebasan yang makin meluas, pendirian parpol yang lebih mudah memunculkan banyak partai berasaskan Islam, apalagi setelah Tap MPR tentang asas tunggal Pancasila dicabut.
Penemuan kembali ideologi yang sudah mapan, maupun elemen-elemen ideologi dari butir-butir Pancasila terjadi, termasuk secara nyata muncul partai-partai Islam. Berdasarkan hasil pemilu demokratis di era reformasi memperlihatkan suara umat Islam secara politis menurun dibandingkan hasil pemilu tahun 1955. Meski Islam politik memiliki kecenderungan meningkat untuk hasil pemilu 2004 dibandingkan dengan hasil Pemilu tahun 1999, namun kenyataan, bahwa mayoritas Islam Indonesia bersifat moderat dan kultural ketimbang politis nampaknya masih valid. Ini mungkin disebabkan, karena mayoritas, sekitar 75% dari masyarakat, Muslim Indonesia berafiliasi ke NU atau Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar yang menganggap NKRI dan Pancasila sudah final bagi umat Islam Indonesia.
Karenanya, dapat dipahami mengapa selama empat kali amandemen UUD-1945 di era reformasi, MPR tidak berkehendak untuk mengubah pembukaan UUD-1945.Ketiga adalah inti masalah sebenarnya. Berlatar belakang sejarah dan fakta serta kondisi kehidupan umat dalam berbangsa dan bernegara, terlihat bahwa penyelesaian atas krisis ideologis yang telah banyak memakan korban ini, nyatanya tidak bersifat permanen. Api nasionalisme yang meredup oleh pragmatisme, memunculkan separatisme dan radikalisme sebagai akibat ketimpangan pembangunan dan ideologis. Yang paling menyedihkan adalah menganggurnya energi umat dalam pembangunan bangsa dan negara. Umat Islam termarjinalisasi oleh trauma politis-idologis masa lalu. Islam yang secara kuantitatifnominal mayoritas belum representatif dalam aspek sosial-budaya dan sosial-politik. Fakta sejarah yang terpampang adalah mandulnya kebijakan pro-Islam di tingkat elit. Kebijakan pemerintah, baik era Soekarno maupun Soeharto, cenderung menyingkirkan peran Islam dari wilayah negara.Semestinya, apabila Islam adalah agama mayoritas, pastilah ia juga merupakan agama mayoritas budaya daerah. Apabila kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, seperti tertera dalam UUD 1945, maka semestinya semenjak berdirinya Republik ini, Islam menjadi paradigma pembentukan kebudayaan nasional. Kenyataannya, pemerintah mengabaikan fakta antropologis dan kultural yang sangat penting ini. Dalam Orde Baru, Islam tidak boleh memberikan warna untuk dirinya sendiri dengan leluasa, apalagi kepada yang lain. Yang dipromosikan adalah nasionalisme non- Islam, nasionalisme Gajahmada-majapahit yang mencontohkan persatuan dengan penaklukan kekerasan, bukan sejarah penyebaran Islam Nusantara yang dialogis, damai dan lebih moderen. Padahal, bangsa Indonesia menegakkan NKRI dilakukan dengan dialog dan jauh dari kekerasan-penaklukan sebagaimana model persatuan Majapahit tersebut. Proses sejarah yang melahirkan pengaruh Islam di kepulauan Nusantara seringkali direduksi menjadi sekedar ”sejarah Islam di Indonesia” dan bukannya ”sejarah Indonesia” itu sendiri.
Begitu lama dan luasnya pengaruh Islam di Nusantara, namun dalam kenyataannya tidak dipandang penting dalam konstruksi negara moderen Indonesia. Dalam buku sejarah resmi maupun tidak, Islam diposisikan secara marjinal tidak signifikan dalam bangun pembentukan negara-bangsa. Peran Islam dalam mempersatukan ikatan emosional, dan heroisme perjuangan mengusir kolonial, serta pembentukan wilayah kepulauan Nusantara menjadi Indonesia pun hendak diabaikan. Indonesia berhutang budi pada nasionalisme, nasionalisme sendiri dalam konteks Indonesia sebenarnya identik dengan Islam. Nasionalisme sekuler datang terlambat, karena 150 tahun sebelum kedatangannya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim, yang melahirkan proto-nasionalisme yang unik.Keempat adalah solusi yang mungkin diambil.Dalam rangka mencari solusi atas problem ideologis di atas, maka harus muncul kesadaran dasar dari seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam sendiri, bahwa masa depan demokrasi di Indonesia sangat ditentukan oleh faktor Islam. Hal itu hanya akan berhasil bila nilai demokrasi eksplisit diartikulasi secara kompatibel dalam doktrin Islam secara ideologis (Islam in Modern Indonesia, 2002). Maju-mundurnya pembangunan nasional Indonesia sangat ditentukan oleh sejauhmana peran umat Islam, karena Indonesia adalah bangsa Muslim, dimana sumberdaya budaya, sosial, politik dan ekonomi negara secara potensial berada dan melekat dalam tubuh umat Islam Indonesia. Energi bangsa Indonesia ada di dalam tubuh umat Islam. Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam bertanggung-jawab penuh terhadap kelangsungan NKRI yang dulu diperjuangkan dengan tetesan darah dan air mata. Kolaborasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang berlangsung berabad-abad telah meletakan dasar yang kukuh bagi sebuah bangunan keindonesiaan modern. Keislaman adalah faktor yang paling dominan dalam menopang identitas keindonesiaan. Itulah faktor keislaman Indonesia. Karenanya, memarjinalkan umat Islam
Indonesia, sama seperti membonsai kebesaran bangsa Indonesia itu sendiri.
Solusi permanen dari problem ideologis ini perlu diupayakan melalui suatu penyelesaian yang dewasa dan rasional. Arah inilah yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju negara yang stabil, yang berdasarkan penerimaaan komponen bangsanya secara rasional, obyektif, tulus dan menyeluruh. Bukan atas desakan represif dibawah moncong senjata atau berdasarkan marjinalisasi sumber daya energi umat yang sangat berlimpah, yang akhirnya hanya memunculkan Indonesia sebagai, negara yang lemah (the weak state) karena tidak didukung oleh mayoritas warganya.Bila yang diinginkan adalah umat Islam yang kuat dalam Negara Indonesia yang kuat, dimana umat Islam menjadi pelaku, yang menentukan arah dan isi jalannya negara, yang menjadi tulangpunggung negara dalam konteks Indonesia yang plural secara etnik dan agama, maka format perjuangan umat mestilah bersifat: Islami (damai dan non-kekerasan); rasional dan obyektif; kultural dan struktural, serta konstitusional. Dengan format perjuangan seperti di atas, maka arah perjuangan umat akan mengambil bentuk: Islamisasi secara struktural dan kultural. Umat Islam Indonesia berhak melaksanakan Islamisasi kehidupan baik secara struktural maupun kultural—dalam maknanya yang positif dan obyektif. Karena agama berpengaruh pada manusia—secara individual maupun kolektif—yang kemudian pada gilirannya memberi pengaruh kepada publik dan lingkungan. Islamisasi secara kultural dilakukan melalui berbagai media dakwah dan pranata budaya untuk menguatkan basis kebudayaan dan intelektualitas umat untuk mendorong mobilitas vertikal umat dalam berbagai lapangan baik birokrasi, ekonomi, budaya, intelektual, sosial maupun politik. Dengan ajaran moralitas Islam universal, maka akan tersedia basis moral yang tangguh yang selanjutnya akan menciptakan sistem ideologis dan politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Di samping itu,
islamisasi akan semakin cepat bila dilakukan dengan menggunakan kereta peradaban (Iptek). Basis kebudayaan akan menyebar bersama kemajuan peradaban material. Kecepatan penyebaran
basis material akan jauh lebih cepat daripada basis kebudayaan, karena penetrasi peradaban material akan merasuk jauh ke dalam kehidupan pragmatis manusia.
Islamisasi secara kultural seperti tersebut di atas juga mempunyai pijakan historiknya dalam konteks Indonesia, seperti hadirnya wayang, batik, maupun ragam budaya yang diwariskan oleh para Wali Songo. Ia adalah pengejawantahan kongkret dari Syumuliyyatul Islam dan risalahnya yang Rahmatan Lil Alamin. Karenya agenda ini tentu tidak dimaksudkan untuk menghadirkan konflik budaya apalagi pembenaran terhadap stigma Islam yang dihubungkan dengan ke-Arab-an maupun terorisme. Sementara itu Islamisasi secara struktural dilakukan melalui jalur politik. Islam memang tidak dapat dipisahkan dari politik sebagai bentuk dari pengamalan Syuro, serta Amar Ma’ruf Nahi Munkar, memperjuangkan keadilan dan pendakwahkan amal sholeh. Politik berguna untuk mendekatkan perjuangan kaum Muslimin dalam menjalankan kehidupan serta mendakwahkan kebudayaannya serta solusi-solusi kreatif yang dimilikinya agar mereka dapat mewujudkan nilai Islami itu sesudah pada tingkat kehidupan individual, keluarga lingkungan masyarakat, organisasi bahkan pada penyelenggaraan kehidupan bernegara. Baik melalui kegiatan Legislasi dengan menghadirkan undang-undang, peraturan pemerintah maupun kebijakan publik lainnya. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan Syariah atau negara sekuler yang menolak Syariah, tapi yang kita inginkan adalah negara Indonesia yang merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal, melalui perjuangan konstitusional dan demokratis agar dapat hadirlah Masyarakat Madani yang dicitakan itu.
Memisahkan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia dari keterlibatan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara adalah hal yang mustahil dan absurd bahkan ahistoric,bahkan tidak sesuai dengan prinsip dasar berdemokrasi konstitusional itu sendiri. Karenanya wajar saja bila pada masa awal pembentukan NKRI ini, Bung Karno telah dengan tegas mempersilahkan umat Islam untuk memperjuangkan ideologi dan aspirasinya melalui lembaga Parlemen. Dan umat pun memang telah dan akan terus secara rasional-objektif-konstitusional berjuang melalui jalur politik sehingga dapat turut serta
menghadirkan kemerdekaan Republik Indonesia, menggagalkan kudeta PKI yang akan menggantikan ideologi negara dengan Komunisme, dan kemudian turut menghadirkan era Reformasi dan lain-lain. Agar Masyarakat Madani dapat diwujudkan, dan karenanya umat pun dapat melaksanakan ajaran agama dan menghadirkan Syariah Islam yang Rahmatan Lil Alamin, sangat penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor utama yang dulu menjadi pilar kokoh dan telah sukses menghadirkan Masyarakat Madani seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang secara positif dan konstruktif menerima dan menghormati asas pluralitas baik karena faktor suku, agama, asal-usul maupun profesi untuk disinergikan bagi hadirnya masyarakat yang saling menghormati, saling menguatkan, gotong-royong dan bersatu padu bela kedaulatan negara, menegakkan hukum, menjunjung moralitas, menghadirkan masyarakat yang dinamis dalam Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah dan Ukhuwwah Basyariyyah, kemudian mengaktualisasikannya dalam konteks Keindonesiaan kontemporer.
Karenanya perjuangan Islamisasi secara struktural tetap harus menghadirkan sikap adil dan bijaksana terhadap non-Muslim maupun yang berbeda organisasi politik dengan PK Sejahtera, serta mengacu pada prinsip konstitusional, proporsional dan demokratis, agar hadirlah hasil perjuangan yang betul-betul dapat merealisasikan cita-cita berdirinya NKRI dan hadirnya era Reformasi.
Obyektifikasi Islam tidak menjadi kekuatan penentang disintegratif atau sebagai ideologi alternatif. Islam menjadi kekuatan integratif bangsa dan negara. Format perjuangan Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk Indonesia yang kuat, adil sejahtera dan bermartabat. Perjuangan utama umat adalah menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya perjuangan umat adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam dalam masyarakat dan bangsa Indonesia dalam rangka menebarkan rahmat bagi seluruh alam, menjadi guru bagi peradaban, yang dilakukan baik secara kultural maupun struktural.
Obyektifikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subyektif ke ranah publik-obyektif, dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik, Gambar 2-11. Secara subyektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun keinginan subyektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif), dan; resolusi konflik, agar konsep atau ide tadi memenuhi prinsip “keadilan publik”. Kebajikan universal Islam yang mampu menembus dimensi zaman, teritorial, generasi, dimensi kehidupan, sebagai rahmat bagi semesta alam akan menjadi ide atau konsep yang mudah diterima publik. Dalam titik ini, maka persoalannya bukan terletak pada debat mengenai siapa yang memerintah atau apa bentuk negara, tetapi pada soal bagaimana menegakkan nilai-nilai universal Islam di negeri Muslim terbesar ini. Dengan demikian, ide amar ma’ruf nahyi munkar secara obyektif dapat dirumuskan bukan sekadar upaya untuk memberantas judi, miras, prostitusi dan mengajak ke masjid, infaq, shadaqah, puasa, haji dan sebagainya, tetapi juga upaya memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani dan nelayan, menegakkan HAM, demokratisasi dan pembangunan ekonomi umat, mengurangi diskriminasi di hadapan hukum, melestarikan lingkungan hidup, membangun Iptek, dan seterusnya. Bila gerakan ini digelorakan, maka sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah kita membangkitkan energi dan ruh umat untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Pendekatan di atas, bila diringkas dan diasosiasikan dengan bentuk perjuangan awal Islam, maka akan serupa dengan konsep Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya. Ini adalah basis untuk masyarakat plural relijius dalam menjalankan agama juga memeliharanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, mengingat pluralitas keagamaan masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Bila ini adalah arah yang ingin kita tempuh, maka Islam politik akan bergerak pada rel yang tepat. Gerakan Islam politik yang kuat dalam sistem demokrasi, maka secara langsung akan mereduksi gerakan radikalisme Islam nonkonstitusional. Bila hal itu terwujud, maka stabilitas Indonesia secara politik dan keamanan semakin kokoh, energi umat akan tersalurkan secara positif, dan terjadi sinergi luar biasa di tubuh bangsa ini.
Karakteristik Pembangunan
Partai Keadilan Sejahtera memandang bahwa pembangunan mestilah didasarkan pada tiga karakteristik berpikir yang realistis yakni integral, universal, dan partisipasi total.
Pertama: bersifat integral, dimana program pembangunan di satu sektor tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan di sektor lain. Pembangunan ekonomi misalnya, tidak terlepas dari pembangunan SDM yang berkualitas, pembangunan politik yang adil dan jujur serta bersih dari penyimpangan, pembangunan hukum yang berkeadilan, pembangunan iptek yang bertumpu pada kekuatan sendiri dan pembangunan sosial budaya yang berakhlak. Dalam pandangan ini tidak ada ruang bagi arogansi sektoral yang menyempitkan pembangunan pada satu sektor saja. Sekaligus ini mensyaratkan koordinasi yang harmonis antar sektor pembangunan. Sebab inti dari pembangunan adalah manusia baik sebagai pelaku, obyek dan sekaligus tujuan pembangunan.
Kedua, PK Sejahtera berkeyakinan bahwa keberhasilan pembangunan tergantung pada cara padang bangsa Indonesia terhadap berbagai aset yang dimiliki, baik aset SDA, sosial, politik
maupun budaya. Pembangunan tidak akan mencapai hasil yang optimal apabila berbagai modal dasar yang ada dipandang hanya untuk satu generasi saja. Karenanya perlu dikembangkan pandangan universal, yaitu pandangan yang mencakup lintas generasi, lintas teritorial dan lintas kehidupan, yaitu keberadaan akhirat. Dengan pandangan lintas generasi berarti pembangunan harus dijaga agar tetap dapat berlanjut (sustainable) untuk generasi berikutnya. Begitu pula dengan pandangan lintas teritorial, maka pembangunan di suatu tempat atau pembangunan wilayah Indonesia tidak dilakukan semena-mena dengan mengabaikan pengaruhnya terhadap tempat dan wilayah lain.
Dengan pandangan lintas kehidupan, maka diyakini para pelaku pembangunan akan menjadikan segala aktivitasnya dalam pembangunan sebagai bagian dari ekspresi relijiusitas mereka. Bahkan, bangsa Indonesia akan diakui dunia sebagai bangsa yang membawa rahmat bagi seluruh alam karena pandangan yang universal tersebut.
Ketiga, PK Sejahtera menilai bahwa pembangunan merupakan hak sekaligus kewajiban masyarakat, bukan hanya negara. Karenanya pemberdayaan masyarakat, baik pemberdayaan politis maupun ekonomis akan mengantarkan rakyat pada posisi sejajar sebagai mitra pemerintah, yang duduk satu meja bersama-sama untuk merumuskan kepentingan bersama. Dengan demikian Partai Keadilan Sejahtera memandang partisipasi total masyarakat, pengusaha, pemerintah serta kerjasama internasional, yang merupakan lintas komponen dan aktor, adalah sebuah keniscayaan dalam mengelola pembangunan dengan pandangan yang bersifat integral, global dan universal menuju keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga komponen negara, pemerintah - dunia usaha - masyarakat, harus bekerjasama secara egaliter tanpa ada upaya saling mendominasi. Dalam bingkai tersebut di atas, maka pemerintah sedapat mungkin mengambil fungsi minimalis menjadi fasilitator dan dinamisator melalui berbagai regulasi penting dan strategis.
Prinsip-prinsip di atas dilaksanakan dengan jiwa dan komitmen bersih, peduli dan profesional, sebagai bentuk moralitas sekaligus integritas PK Sejahtera. Di atas prinsip dan paradigma berpikir inilah Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera dirumuskan.