Terminologi yang muncul di tengah kehidupan modern untuk menggambarkan aktivitas perubahan sosial terencana adalah pembangunan. Sejak akhir tahun lima puluhan dan awal tahun
enam puluhan, pembangunan disamakan artinya dengan kemajuan dan modernisasi. Menurut konsep ini, perbaikan lingkungan fisik atau kemajuan material merupakan fokus dari berbagai aktivitas pembangunan. Negara sedang berkembang atau negara terbelakang diartikan sebagai negara yang dalam bidang industri, ekonomi, teknologi, kelembagaan, dan kebudayaan sedang
berusaha untuk maju meniru model negara maju di Barat. Implementasi konsep pembangunan semacam itu akan menihilkan perlindungan terhadap lima aspek utama kebutuhan dasar manusia
(agama, jiwa, akal, harta dan keturunan). Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam atas konsep pembangunan yang akan diterapkan. Urbanisasi dan industrialisasi melahirkan masalah
kebodohan, kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan rasa tidak tenteram. Berbagai analisis mutakhir atas dampak ideologi developmentalisme Barat memperlihatkan suatu simpulan, bahwa
pembangunan telah menyeret manusia kepada enam ancaman serius: industri yang tak terkendali; mengeringnya sumber-sumber alam (seperti energi, hutan, pangan dan air); tekanan per kapita
yang telah melampaui titik kritis atas tanah dan lingkungan; limbah industri dan rumah tangga yang terus bertambah; perlombaan senjata nuklir, kimia dan biologi; dan pertumbuhan serta
penyebaran penduduk dunia secara tidak terkendali.
Dalam semua itu manusia lebih diposisikan sebagai alat pembangunan.Bangsa Indonesia harus segera merumuskan ulang paradigma pembangunannya dengan menyaring konsep yang datang dari luar secara kritis dan tepat, dan berani mengungkapkan gagasan – gagasan orisinalnya. Penyusunan Platform Kebijakan pembangunan PK Sejahtera melandaskan diri pada paradigma nasional (konsensus nasional), peraturan perundangan yang berlaku, AD/ART, Renstra, serta Falsafah Dasar Perjuangan Partai.
Secara obyektif dalam bingkai negara, maka Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera ini didasarkan pada paradigma dan konsensus nasional. Pancasila sebagai Dasar Negara secara
konsepsional mengandung nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), Demokrasi (syura), Hak Asasi Manusia (maqashid syari’ah), Pluralitas Persatuan dan Kesatuan, dalam semangat kekeluargaan dan kebersamaan yang harmonis serta untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan idiil kehidupan bersama; serta nilai-nilai dalam UUD digunakan sebagai landasan konstitusional Platform Kebijakan Pembangunan ini.
Tujuan didirikannya PK Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar PK Sejahtera pasal 5, yaitu:
(1) Terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945; dan
(2) Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang
diridlai Allah subhanahu wa ta'ala, dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang dilalui garis
khatulistiwa. Berdasarkan atas pemahaman tersebut, maka butir - butir pemikiran dalam Platform Kebijakan Pembangunan ini dirumuskan.
Renstra PK Sejahtera 2005-2010 menjadi landasan operasional Platform Kebijakan Pembangunan dalam rentang waktu tersebut. Renstra yang menjadi arah pergerakan PK Sejahtera selama interval waktu 2005-2010 ini mengamanatkan 14 butir arah perjuangan dalam melipatgandakan aset-aset mobilitas dan pencitraan dalam rangka membangun diri menjadi Partai Dakwah yang kokoh untuk melayani dan memimpin bangsa.
Urgensi Ideologi
Ideologi sebagai istilah mulai diperkenalkan selama Revolusi Perancis oleh Antoine Destutt de Tracy dan pertama kali digunakan ke publik pada tahun 1796. Bagi Tracy, ideologi dimaksudkan
dengan “ilmu tentang ide” yang diharapkan dapat mengungkap asal-muasal dari ide-ide dan menjadi cabang ilmu baru yang kelak setara dengan biologi atau zoologi. Namun, makna ideologi berubah di tangan Karl Mark melalui kerja awalnya dalam buku The German Ideology yang ditulis bersama F. Engels. Sebagaimana penjelasan Frank Bealey (Blackwell, 2000), kini
ideologi lebih diartikan sebagai sistem berpikir universal manusia untuk menjelaskan kondisi mereka, berkaitan dengan proses dan dinamika sejarah, dalam rangka menuju masa depan yang lebih baik. Berakar pada kaum liberalis, ideologi diartikan sebagai sistem kepercayaan individu tentang dunia yang lebih baik, sehingga tampak sebagai pola berpikir (mind-set) bagi penganutnya. Ideologi pun dapat dilihat sebagai “cara pandang dunia” (world view) penganutnya untuk menilai situasi keseharian mereka dalam rangka mencari jalan untuk mewujudkan kehidupan terbaik di masa yang akan datang. Namun berdasarkan kecenderungan masyarakat masa kini, ideologi dipandang sebagai kumpulan ide atau konsep mengenai cara hidup (way of life) diwarnai oleh budaya dan tatanan masyarakat serta kehidupan politik. Ideologi memiliki unsur konsep atau ide yang diyakini serta diaplikasikan sebagai cara pandang menghadapi masa depan. Ideologi sarat dengan dimensi “keyakinan” dan “utopi”. Ideologi adalah sistem kepercayaan atau tata nilai yang diperjuangkan dan dijabarkan secara sadar oleh para pemeluknya dalam totalitas kehidupan, terutama dalam jagad sosial-politik. Ideologi menjadi visi yang komprehensif dalam memandang sesuatu, yang diformulasi secara sistemik dan ilmiah dari seseorang atau sekelompok orang mengenai tujuan yang akan dicapai dan segala metode pencapaiannya. Ideologi berisi pemikiran dan konsep yang jelas mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta serta kehidupan, dan mampu diyakini menyelesaikan problematika kehidupan. Dalam konsep ini, maka tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa ideologi. Manusia tanpa ideologi hanya akan mengejar kemajuan material, namun mengalami kehampaan dalam aspek emosional dan spiritual, sehingga teralienasi dan kehilangan identitasnya yang sejati, lalu mereka mengalami disorientasi dan kegersangan hidup. Ideologi menyediakan kejelasan arah bagi manusia, dorongan, pembenaran dan dasar bagi aktivis untuk bergerak menggulirkan agenda dan aksi-aksinya. Karenanya, ideologi menyediakan elan vital, etos, dan bahkan militansi perjuangan. Semangat rela berkorban adalah refleksi keyakinan ideologis.
Dimensi “ide” dari ideologi memberikan bingkai konsepsi bagi pemahaman, arah perjuangan, dan dasar pergerakan bangsa. Sementara dimensi “keyakinan” dan “utopi” memunculkan komitmen, militansi, dan fanatisme positif yang memicu gairah dan darah perjuangan, sekaligus memompakan api semangat rela berkorban. Itulah yang terjadi di awal-awal kemerdekaan atau masa jauh sebelum kemerdekaan di era para pendiri bangsa ini berjuang bahu-membahu merebut kemerdekaan. Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian dilanjutkan Orde Baru dengan pragmatisme politiknya, praktis memandulkan ruh ideologi dari hati manusia-manusia Indonesia. Orde Baru dengan jargon pembangunan-isme telah mengarahkan mata bangsa Indonesia hanya pada pembangunan ekonomi. Moderenisasi, pasar bebas, hubungan-hubungan pembangunan yang lebih mementingkan tujuan jangka pendek, tumbuhnya elit kelas menengah yang sibuk dengan profesi, serta kompromikompromi pragmatis, meminimalkan perhatian orang pada aspek ideologi. Jargon yang diadopsi adalah seperti apa yang dikatakan Deng Xiao Ping, “Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu, yang penting dapat menangkap tikus.”
Di sisi lain, asas tunggal Pancasila yang dipaksakan penguasa melalui indoktrinasi, tafsir tunggal dan sakralisasi terbukti tidak membawa kebaikan bagi bangsa ini. Stigma anti-Pancasila sebagai
alat penghalau musuh-musuh politik Orde Baru secara represif telah menjadi trauma politis-ideologis yang masih membekas. Kondisi itu menjadi sangat mengenaskan ketika praktek sehari-hari rezim Orde Baru justru sama sekali tidak mencerminkan, bahkan mengingkari jiwa Pancasila. Pancasila menjadi mantra yang indah diucapkan, namun tidak pernah dipraktekkan. Maka, badai yang dituai kemudian adalah kemunafikan massal yang dipertontonkan penguasa otoritarian-militeristik. Berbeda dengan China yang merasa sebagai bangsa besar dan dengan budaya kuno tinggi warisan ribuan tahun, atau Jepang yang melalui jalur tenno heika merasa sebagai bangsa keturunan Dewa Matahari (Amaterasu), maka Indonesia kontemporer Tampak merunduk lesu secara ideologis. Tidak ada cita-cita besar dan heroisme untuk membangun peradaban adiluhung sebagai bangsa besar.
Budayawan Koentjaraningrat menyebut kita mengidap budaya “menerabas” budaya potong-kompas, budaya miopis (rabun dekat). Ingin cepat sukses, kaya, atau berkuasa dengan usaha sedikit, dan kalau perlu tabrak aturan. Tak mampu melihat masa depan yang jauh, paling banter melihat dalam periode “lima tahunan”. Budaya “menanam jagung” yang tiga bulanan, ketimbang budaya “menanam jati” yang harus menunggu puluhan tahun. Budaya “jalur cepat” menuju sasaran, kalau perlu melangkahi kepala orang. Budaya selebritis instan yang ingin populer dalam sekejap. Atau, budaya “satu hari untung beliung”. Penyakit kronis yang kita idap adalah kurang menghargai mutu, memburu rente dalam ekonomi, politik uang dalam kekuasaan, gelar palsu dalam pendidikan, barang tiruan dalam perdagangan, serta budaya judi di kampung-kampung.
Dalam budaya pragmatis dan hedonis itu, ideologi tak mendapat tempat, idealisme hanya tersisa di pojok-pojok sempit ruang kuliah atau kelompok diskusi publik. Kita sempat bangga ketika pesawat N-250 diluncurkan, seratus prosen buatan anak bangsa, terbang fly by wire di atas dirgantara pertiwi. Rasa percaya diri dan nasionalisme produktif menyembul di balik baling-balingnya. Namun, emosi itu segera padam bersama diobralnya industri unggulan kita ke pihak asing serta dicabutnya subsidi bagi berbagai industri strategis.Selanjutnya, satu pertanyaan harus kita ajukan, apakah bangsa ini masih punya ”mimpi” untuk menjadi negara besar? Atau sekedar menjadi soft nation, bangsa yang lembek tanpa militansi. Atau hari-hari berjalan business as usual, rutin, tanpa digerakkan oleh ”masa depan” yang menantang. Bangsa ini perlu kembali menata cara pandang, membiakkan mimpi, memfokuskan masa depan, membangun gairah dan militansi, serta menancapkan cita-cita besar yang hidup dan terasakan di dalam hati. Sehingga energi bangsa ini tidak terbuang dalam gerak chaotic melingkar, namun mengalir sinergis dan fokus. Untuk itu, kita butuh kehangatan ideologi. Tanpa ideologi manusia hanya berlari mengejar peradaban materi, namun hampa dalam aspek emosi dan spirit. Secara kolektif jadilah kita bangsa yang adem-ayem, miskin romantika —negara besar, namun dipenuhi dengan manusia kerdil yang tidak punya utopi.
Falsafah Dasar Perjuangan
PK Sejahtera, sebagai entitas politik nasional, secara subyektif berjuang dengan dasar aqidah, asas, dan moralitas Islam untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera dan bermartabat. Bersama-sama dengan entitas politik lainnya secara kompetitif berjuang untuk mecapai cita-cita nasional. Islam secara eksternal adalah bentuk diferensiasi dan sekaligus positioning PK Sejahtera sebagai entitas politik nasional berhadapan dengan entitas politik lainnya. Di sisi lain dengan menjadikan Islam sebagai aqidah, asas dan basis moral, maka PK Sejahtera berkeyakinan dan ingin menegaskan, bahwa secara internal-subyektif aktivitas politik adalah “ibadah”, yang apabila bertujuan untuk kemaslahatan umat, didasarkan pada niat yang ikhlas untuk mencari ridha Allah SWT, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang baik dengan akhlak terpuji, maka aktivitas ini menjadi ibadah yang bernilai “amal shalih”.
Itulah dasar PK Sejahtera secara internal-subyektif dalam menghimpun kader-kadernya dalam barisan yang rapi untuk memperjuangkan aspirasi umat dan mencapai tujuan nasional. Atas dasar itu pula dibangun elan vital, etos, dan bahkan militansi perjuangan para kader, termasuk semangat rela berkorban. Dengan keyakinan, bahwa aktivitas politik bukan sekedar kegiatan profanduniawi, namun sarat dengan dimensi sakral-relijius-ukhrawi yang bernilai ibadah, maka dipercaya, bahwa politik bukanlah alat untuk sekedar mengejar kemajuan material-kekuasaan, tetapi hampa dalam aspek emosional-spiritual, sehingga para kader teralienasi dan kehilangan identitas diri yang sejati, lalu mereka mengalami disorientasi dan kegersangan hidup. Sebaliknya, aktivitas politik dapat menjadi ruang ekspresi dan menguak potensi diri, sarana untuk peningkatan kapasitas diri, dan juga sebagai tempat bagi kader untuk berkhidmat kepada publik, sebagai bagian dari bentuk pengkhidmatan mereka terhadap agama yang sarat dengan aspek spiritualitas dan kemanusiaan. Darah pergerakan itu menjadi mungkin dengan menempatkan Islam secara internal-subyektif sebagai aqidah, asas, dan moralitas perjuangan Partai Keadilan Sejahtera.
Substansi moralitas perjuangan PK Sejahtera sendiri adalah bersih, peduli dan profesional.
Dalam tataran kenegaraan, PK Sejahtera meyakini, bahwa pluralitas etnik dan ideologis masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke—yang melebihi panjang dari pantai barat sampai pantai timur benua Amerika—adalah sebuah realita kebhinekaan yang nyata dan obyektif. Indonesia bagai zamrud khatulistiwa, sebagai benua maritim, paru-paru dunia, dengan biodiversitas yang berlimpah, kekayaan alam di darat maupun di laut, secara geografis dan demografis memperlihatkan fakta empiris kekayaan alam disamping pluralitas kekayaan budaya itu.Secara khusus Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera didasarkan pada Falsafah Dasar Perjuangan PK Sejahtera. Kondisi “Indonesia Baru” yang kita inginkan sesuai dengan arahan ini adalah kondisi ideal normatif yang menjadi harapan masyarakat, bangsa dan negara. Sesuatu yang kita idam-idamkan bersama, sesuai dengan cita-cita dan tujuan luhur bangsa, yakni “masyarakat yang adil, sejahtera, dan bermartabat”.
Dengan demikian, maka arah pembangunan Indonesia yang kita citakan adalah terbentuknya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi dengan individu-individu yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri.Berkumpul dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan “amanah” penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara proporsional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan mekanisme yudisial yang berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warnawarni kehidupan mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara harmonis menuju kemajuan peradaban. Individu dan masyarakat mendapat pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan“amanah” penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.Itulah masyarakat yang relijius, masyarakat madani, yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, masyarakat dengan budaya takwa.
Indonesia yang kita citakan adalah kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan kasihsayang, yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan. Semua itu adalah kondisi yang kita citakan sekaligus kondisi kehidupan berdakwah yang diharapkan, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam memenuhi lima kebutuhan primer hidupnya, yakni perlindungan atas agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Hakikat Dakwah
Dakwah Islam pada hakekatnya merupakan aktifitas terencana untuk men-transformasi individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyyah ke arah kehidupan yang mencerminkan semangat dan
ajaran Islam. Proses transformasi individu yakni pembentukan pribadi-pribadi muslim sejati (syakhsiyyah islamiyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial. Sebab terbentuknya pribadi muslim sejati bukanlah tujuan akhir. Oleh karena itu pribadi-pribadi ini mesti memperkaya kualitas dirinya untuk mengemban amanah dakwah (syakhsiyyah da’iyyah), sehingga mampu berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial. Dakwah yang dibutuhkan untuk memperbaiki umat adalah suatu gerakan dakwah yang menyeluruh (dakwah syamilah), dakwah yang mampu mempersiapkan segala kekuatan untuk menghadapi segala medan yang berat dan rumit.
Kekuatan utama Partai Dakwah adalah para kader dakwah itu sendiri. Dakwah harus mampu mencetak kader-kader yang handal dari berbagai latar belakang kemampuan dan kemahiran yang saling bertaut memberdayakan umat. Dakwah membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan, kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi yang diembannya melalui suatu orkestra kepemimpinan yang cerdas, tangguh dan amanah.
Grand Strategy Dakwah
Strategi PK Sejahtera sebagai Partai Dakwah (khuthuth ‘aridhah) dalam transformasi bangsa, adalah gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal/ta’biah al afaqiyah) dan gerakan struktural (strategi mobilitas vertikal/ ta’biah al amudiyah). Mobilisasi vertikal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan), agar mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik. Sedangkan mobilisasi horizontal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. Gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal) dilakukan melalui penyebaran kader ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat
untuk menggerakkan peran serta masyarakat dalam mentransformasi diri sendiri. Dalam gerakan kultural ini, maka kader secara individual maupun melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, yayasan/ormas, dan berbagai lembaga/organisasi lainnya, melaksanakan pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up.
Kader PKS akan bergerak bersama masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, kemiskinan, dan sebagainya. Karenanya, dibutuhkan dan harus ditumbuhkan kader-kader yang profesional dalam berbagai bidang kehidupan untuk dapat bergerak bersama masyarakat. Dalam menjalankan gerakan kultural penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, dimungkinkan terbangunnya aliansi strategis antara Partai Dakwah dengan simpul simpul kepemimpinan kantong-kantong kultural masyarakat (mashadirul quwwah) sehingga terbangun suatu barisan massa yang menerima dan mendukung nilai-nilai dakwah.
Aliansi strategis yang terbangun merupakan bentuk kepercayaan atau mandat yang diberikan masyarakat kepada Partai Dakwah untuk selalu berjuang membela kepentingan masyarakat.
Gerakan struktural adalah penyebaran kader ke dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor lain dalam kerangka melayani, membangun dan memimpin bangsa, melalui mekanisme konstitusional sebagai partai politik yang ikut pemilu dan pembinaan profesionalisme kader. Tujuannya adalah untuk berkontribusi dalam membangun sistem, membuat kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural dan topdown digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi masyarakat. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Dalam menjalankan gerakan struktural, dengan dasar kesamaan falsafah atau platform, dimungkinkan terbangunnya strategic partnership antara Partai dakwah dengan lembaga dan tokoh yang mempunyai kekuatan untuk merumuskan kebijakan (mashahidur qoror) sehingga terbangunnya suatu lapisan pemikiran yang menghasilkan kebijakan yang membela rakyat.
Grand Strategy transformasi bangsa yang diusung PK Sejahtera ini tidak lain dari kombinasi antara gerakan kultural dengan struktural, kombinasi antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan topdown yang merupakan ciri khas PK Sejahtera sebagai Partai dakwah. Grand Strategy transformasi bangsa PK Sejahtera ini adalah suatu gerakan yang menyeluruh dalam berbagai sektor kehidupan (sektor publik, sektor swasta, dan sektor ketiga) yang bertumpu pada kader dengan berbagai disiplin ilmu dan profesi dengan kekuatan integritas moral-relijius dan kualitas-profesional. PK Sejahtera sebagai Partai Dakwah berupaya mengoptimalkan kader dalam berbagai disiplin ilmu untuk berkembang dan berfungsi mendukung dan memperkuat gerakan kultural dan struktural transformasi bangsa.
Mobilitas Kader
Dakwah dapat ditegakkan secara utuh bila bertumpu pada dua sayap, yakni sayap syar’iyah dan sayap kauniyah. Sayap syar’iyah bermakna bahwa segala kebijakan dan arah dakwah bersandar kepada aturan-aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan sayap kauniyah adalah segala aturan, sifat, tabiat dan ketentuan yang terjadi di alam semesta yang merupakan sunnatullah. Dengan sayap syar’iyah, amal islami selalu berada pada jalan yang benar dan selalu terjaga asholahnya. Melalui sayap kauniyah, amal islami ini menjadi dinamis dan bersesuaian dengan tabiat kauniyah. Keduanya dilihat sebagai saling melengkapi, Karena efektifitas dan dinamika amal islami akan tidak menentu arah dan tujuannya apabila tidak dipagari oleh rambu-rambu syar’iyah.
Sebaliknya, amal islami yang berjalan menuju tujuan yang benar akan terasa monoton dan kurang dinamis tanpa dilengkapi dengan sayap kauniyah. Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah berupaya mengoptimasi potensi dan kemampuan (istighalul amsal lil kafa’ah) kader, baik yang berada pada sayap syar’iyah maupun kauniyah, dengan tujuan agar seluruh potensi kader yang terhimpun dapat berkembang dan berfungsi optimal, untuk mendukung dan memperkuat gerak dan perkembangan dakwah. Sasaran mobilitas kader sebagaimana telah dijelaskan adalah penyebaran kader ke berbagai pusat kekuatan dan kekuasaan dalam rangka mempengaruhi, merumuskan, menerjemahkan, dan mengimplementasikan kebijakan publik agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dengan demikian, maka ada paling sedikit tiga tahap dalam strategi mobilitas vertikal, yaitu: Pertama, penyebaran kader dakwah ke organisasi/lembaga di berbagai sektor kehidupan menuju pusat kekuatan dan kebijakan. Kedua, penapakan karir kader dakwah dalam organisasi/lembaga tersebut. Ketiga, berperan dalam mempengaruhi, merumuskan, menerjemahkan, dan mengimplementasikan kebijakan publik agar sesuai dengan manhaj Islam.
Di dalam negara terdapat tiga jenis organisasi/lembaga yang menjalankan fungsi dari seluruh bidang kehidupan, yaitu birokrasi pemerintahan (sektor publik), korporasi swasta (sektor privat) dan organisasi kemasayarakatan (LSM/sektor ke tiga). Dalam kegiatannya setiap individu merupakan bagian dari organisasi/lembaga tersebut, atau berada pada dua sektor atau bahkan ketiganya. Mobilitas kader perlu diarahkan ke berbagai organisasi sektor kehidupan, kemudian menapaki kurva karir dalam setiap sektor yang digeluti dan bergerak secara vertikal. Sesuai
dengan kemampuan, kecenderungan, dan kesempatan yang tersedia.
Sektor Publik. Organisasi sektor pemerintahan bersemangat utama pelayanan kepada publik, seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Pada hakekatnya, organisasi sektor publik dibentuk melalui kontrak sosial, dimana masyarakat memberikan mandat kepada sekelompok orang—sebagai bagian dari mereka—untuk mengatur, mengelola kebijakan publik, sebagai juri untuk mencegah diskriminasi, mencegah penindasan antara satu orang atau kelompok dalam masyarakat kepada orang atau kelompok lain, serta mempromosikan ikatan sosial di antara mereka. Dalamnegara modern, organisasi sektor ini dibentuk melalui kontrak sosial yang terbuka dan demokratis dalam proses politik. Presiden, menteri dan birokrat negara adalah aparat negara dalam sektor publik. Mereka mendapat mandat dari rakyat dalam suatu periode tertentu untuk melaksanakan layanan publik kepada mereka.
Penyebaran kader dakwah sebagai gerakan struktural ke lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dimaksudkan dalam kerangka partisipasi dalam transformasi bangsa melalui mekanisme konstitusional sebagai partai politik yang ikut pemilu.
Tujuannya untuk berkontribusi dalam membangun sistem, kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural dan top-down digunakan sebagai pedoman transformasi masyarakat. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Sektor Swasta (private sector).
Organisasi di sektor swasta adalah organisasi sektor kehidupan masyarakat yang semangatnya mencari keuntungan, yang bekerja dalam mekanisme pasar. Karenanya motif yang dikembangkan dalam sektor ini adalah motif ekonomi. Ukuran-ukuran yang ada serta nilai penting yang dianut adalah efisiensi dan produktivitas yang bermuara pada keuntungan material. Sebagian besar masyarakat suatu negara bergerak di sektor ini dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup diri mereka secara ekonomi menuju kemandirian. Ini adalah sunatullah, karena setiap individu mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Penyebaran kader ke sektor ekonomi, pada prinsipnya adalah perjuangan menuju kemandirian ekonomi yang akhirnya memunculkan kekuatan ekonomi bangsa. Kekuatan ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap kekuatan politik dalam perumusan kebijakan publik.
Sektor Ketiga (third sector). Organisasi/lembaga sektor ketiga, pada hakekatnya adalah pelengkap dari organisasi kedua sektor sebelumnya. Pemerintah, dalam melakukan pelayanan publik kepada masyarakat, kadang-kadang dalam batas tertentu, memerlukan bantuan masyarakat. Misalnya, dalam soal pelayanan kesehatan, sosial maupun pendidikan. Peranserta masyarakat ternyata dibutuhkan. Hal ini terjadi bukan saja di negara berkembang, juga di negara-negara maju. Peranserta masyarakat dalam lapangan sosial ini terbukti sangat tinggi. Semangat utama organisasi sektor ini adalah tanggung-jawab individu untuk mengusung tugas sosial mensejahterakan masyarakat. Istilah NGO (Non-Govermental Organization) yang disematkan kepada komponen organisasi sektor ketiga ini membuktikan bahwa organisasi sektor ini adalah komponen nonpemerintah yang mengambil peran komplementatif dalam upaya mensejahterakan masyarakat—sebuah tugas yang secara normatif semestinya dilaksanakan oleh pemerintah.
Sebagai bagian dari masyarakat,organisasi sektor ketiga juga berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi kualitas layanan publik pemerintah,termasuk juga terhadap regulasi yang dikembangkan pemerintah. Karenanya organisasi sektor ini bermata dua. Satu matanya dihadapkan kepada masyarakat untuk melaksanakan tugas komplementatif pemerintah dalam pelayanan publik. Sedang mata lainnya
dihadapkan kepada pemerintah untuk mengawasi kualitas pelayanan publik. Penyebaran kader ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat adalah untuk menggerakkan peranserta masyarakat dalam mentransformasi diri mereka sendiri. Dalam gerakan kultural ini, maka kader secara individual maupun institusional melalui yayasan dan ormas yang ada melaksanakan penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up. Kader PK Sejahtera akan bergerak bersama masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Karenanya dibutuhkan dan harus ditumbuhkan kader-kader yang profesional dalam berbagai bidang kehidupan untuk dapat bergerak bersama masyarakat.
Peluang Mobilitas Vertikal
Secara umum mobilitas vertikal kader sangat ditentukan oleh dua faktor; yakni faktor kualitas dan peluang (jaringan). Kualitas kader berkaitan dengan kredibilitas personal, yakni profesionalitas, integritas moral dan keluwesan sosial. Sedangkan peluang mobilitas vertikal sangat ditentukan oleh kondisi internal dan eksternal. Paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan peluang mobilitas vertikal kader dakwah, yakni perubahan konteks, peran aksi politik, penataan kader dan kondisi obyektif internal. Perubahan Konteks. Dinamika mobilitas dalam sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh sifat atau jenis masyarakatnya. Secara ekstrim masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis:
a. Masyarakat feodal atau berkasta (feudal or cascte society)
Dalam masyarakat seperti ini strata sosial ditentukan oleh status bawaan (ascribed status) dan bersifat kaku sehingga mobilitas hampir mustahil terjadi. Masyarakat seperti ini disebut
sebagai masyarakat tertutup (closed society). adalah kasta-kasta di India atau pemisahan priyayi-wong cilik di Jawa yang hampir tidak memungkinkan adanya perubahan strata sosial anggotanya.
b. Masyarakat sederajat (egalitarian society)
Dalam masyarakat seperti ini strata sosial ditentukan oleh prestasi (achieved status) atau meritokrasi dan bersifat cair sehingga mobilitas sangat terbuka lebar. Masyarakat seperti ini disebut sebagai masyarakat terbuka (open society). Contohnya adalah apa yang terjadi di beberapa negara maju yang memungkinkan perubahan strata sosial lebih mudah terjadi.
Sebelum terjadi reformasi, Indonesia lebih cenderung bersifat feodal, sehingga mobilitas agak sulit terjadi. Kecenderungan ini sebenarnya masih terbawa di era reformasi. Meskipun demikian di era reformasi ini ada kecenderungan positif menuju masyarakat yang lebih egaliter. Bila disimpulkan beberapa indikasi ke arah masyarakat egaliter tersebut adalah:
a. Adanya tuntutan transparansi dalam berbagai proses politik, sosial, dan ekonomi (transparency);
b. Adanya permintaan pertanggungjawaban publik atas seluruh posisi-posisi penting negara dari sisi profesionalisme dan sisi moralitas (public accountability).
c. Semakin terbukanya peluang masyarakat untuk terlibat dalam proses-proses politik dan pengambilan kebijakan pembangunan secara umum (participatory management).
Dengan adanya kecenderungan positif tersebut, dalam jangka pendek masyarakat akan condong pada pilihan-pilihan rasional sesuai prinsip meritokrasi. Pada saat inilah peluang-peluang mobilitas vertikal akan terbuka lebar. Peran Amal Siyasi. Seiring dengan perluasan orbit dakwah (mahawir ad-dakwah) dari mihwar tanzhimi (strukturalisasi) dan sya’bi (sosialisasi) ke mihwar muassasi (institusionalisasi) dalam
berbagai program politik, maka peluang dakwah berubah secara dinamis. Dengan digulirkannya dakwah melalui kelembagaan formal ini, kapabilitas internal yang terkait dengan keberadaan institusi dakwah beresonansi dengan dinamika sosial politik yang ada, yang kemudian memunculkan peluang untuk masuk ke pusat-pusat kebijakan. Antara lain, masuknya aktivis dakwah ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Kondisi di atas perlu ditindak-lanjuti dalam rangka menciptakan peluang mobilitas vertikal, yakni dengan membangun link-birokrasi melalui kekuatan kader politisi, baik dalam eksekutif maupun legislatif.
Meskipun ada kecenderungan pembatasan jabatan politis dalam birokrasi, namun kekuatan link-birokrasi ini dapat memunculkan peluang bagi mobilitas vertikal kader dakwah baik dalam birokrasi maupun lembaga-lembaga negara yang lain. Agenda mobilitas ini sudah tentu sejalan dengan reformasi birokrasi, dan bukan semata-mata mengejar kekuasaan. Penataan kader. Penataan kader internal lebih tampak sebagai upaya penyiapan kualitas kader, melalui pengembangan dan pemungsian potensi kader. Secara kolektif, upaya ini akan memperlebar peluang mobilitas vertikal kader dakwah. Karenanya penataan kader adalah bagian vital bagi perencanaan maupun implementasi kebijakan mobilitas vertikal. Kondisi Obyektif Internal. Memasuki era pelembagaan kondisi internal ditandai dengan proses akselerasi, baik kader maupun infrastruktur dakwah. Secara umum kader dakwah adalah pemuda dengan intelektualitas tinggi yang berada dan berperan di berbagai sektor. Kebijakan mobilitas vertikal mempunyai peluang yang baik untuk dilaksanakan di berbagai sektor. Karenanya penataan kader dan pemunculan peluang menjadi upaya yang strategis. Untuk keberhasilan implementasi konsep mobilitas vertikal kader dakwah, perlu dirumuskan strategi pencapaiannya. Strategi tersebut diturunkan berdasarkan realitas kondisi ekternal dan internal dan dibagi menjadi dua, yakni strategi umum dan strategi khsusus. Strategi umum adalah strategi mobilitas vertikal yang berlaku umum untuk seluruh kelompok strategis, sementara strategis khusus adalah strategi yang diaplikasikan secara khusus untuk kelompok strategis tertentu. Secara umum strategi mobilitas vertikal kader dakwah adalah upaya-upaya strategis dan sistematis berupa kombinasi antara penataan dalam rangka meningkatkan:
a. kredibilitas individual dan
b. penciptaan peluang.
Upaya membangun kualitas individual diarahkan pada tiga aspek,
yakni:
a. kredibilitas profesional (core competence, manajerial, berpikir strategis sesuai dengan bingkai pengembangan potensi),
b. integritas moral dan;
c. kredibilitas sosietal.
Hasil pembinaan kader dengan arahan di atas akan mewujudkan kader dakwah yang mempunyai kredibilitas individual yang professional, bersih dan peduli. Dalam rangka penataan kader dan penciptaan peluang bagi mobilitas vertikal, maka memanfaatkan potensi-potensi yang ada secara harmonis, baik internal maupun eksternal. Pemanfaatan kekuatan eksternal dilakukan dengan cara:
a. pemagangan, yakni bekerja di lembaga-lembaga eksternal untuk menimba pengalaman;
b. interaksi positif dengan pihak-pihak luar;
c. outsourcing terhadap pakar-pakar eksternal, lembagalembaga eksternal dan lain-lain.
d. penataan kader dengan memperhatikan arus luar, sehingga program dakwah sejalan perkembangan masyarakat dan memunculkan sinergisme eksternal melalui upaya
memperbanyak simpul-simpul kesamaan dengan pihak eksternal.
Perumusan proyeksi kader yang memerlukan proteksi, tugas khusus dan evaluasi khusus dalam rangka targeting dan focusing harus dipertimbangkan. Pemberdayaan kader bukanlah proses yang sekali jadi atau seperti menanam jagung yang hasilnya segera dapat dipanen dalam waktu singkat. Proses pemberdayaan kader dalam bingkai pengembangan potensi adalah proses seperti menanam jati”, yang hasilnya baru dapat dipanen puluhan tahun mendatang. Sebagai sebuah proses yang bertahap, proses pembinaan kader memerlukan kesabaran dan wawasan. Untuk memunculkan seorang ahli/pakar di bidang tertentu, maka secara kultural kader harus melalui tahapan demi tahapan jenjang karir (learning curve). Pematangan Diri. Tahap pertama adalah fase pematangan diri. Pada tahapan ini terjadi proses pematangan segenap aspek kader. Indikator kematangan tersebut adalah:
a. matang dalam aspek teknis di bidangnya;
b. matang dalam pilihan profesionalisme;
c. mulai menemukan jatidiri;
d. dikenal di lingkungan profesi di bidangnya.
Pematangan Kemampuan. Tahap kedua adalah fase pematangan kemampuan. Pada tahapan ini terjadi proses pematangan kemampuan pada kader. Indikator kematangan tersebut adalah:
a. pemahaman filosofis bidang profesinya;
b. pemahaman multi aspek pengembangan ilmunya;
c. kemampuan lobby;
d. pemikirannya mulai mempengaruhi kebijakan nasional.
Pematangan Peran. Pada tahap ketiga adalah fase pematangan peran. Pada tahapan ini terjadi proses pematangan peran pada kader. Indikator kematangan tersebut adalah:
a.mulai berperan di tingkat nasional;
b.dikenal di tingkat internasional;
c.mengetahui multi aspek profesinya dan kaitannya dengan profesi lain.
Kearifan Filosofis. Pada tahap keempat adalah fase kearifan filosofis. Pada tahapan ini telah tercapai dan muncul kearifan pada diri kader. Indikator kearifan tersebut adalah:
a. kaya pengalaman di kancah nasional dan internasional;
b. berperan di tingkat international;
c. menjadi rujukan.
Proses pengembangan karir di atas adalah tahapan-tahapan normal. Namun tidak menutup kemungkinan kondisi khusus, dimana seseorang dapat mencapai kematangan dan kearifan filosofis pada usia yang relatif lebih muda. Masalahnya, sulit merekayasa kondisi khusus itu untuk mengakselerasi kematangan kader secara massal. Tahapan pematangan kader di atas mirip dengan konsep stratifikasi kompetensi kader (haramul kafa’ah). Bersama penambahan pengalaman dan kedalaman ilmu, maka seseorang akan terus meningkat dan menajam secara vertikal dari basis:
a. Harakiyah (pergerakan);
b. Fikriyah (pemikiran);
c. Siyasiyah (kebijakan).
Orbit Dakwah
Li kulli marhalatin ahdafuha, li kulli marhalatin rijaluha. Dalam setiap tahapan dakwah ada tujuan dan tokohnya masing-masing. Setiap tahap bersifat unik, bukan sesuatu yang bersifat generik. Itu adalah prinsip dakwah yang tidak dapat diingkari. Kader dakwah perlahan tapi pasti melakukan mobilitas ke berbagai lembaga yang menjadi pusat kebijakan, mengaktualisasikan peran secara lebih maksimal serta mengekspresikan diri secara lebih terbuka, terlibat dalam menerjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik. Kader dakwah juga melakukan mobilitas horizontal ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. Sebenarnya tak ada yang luar biasa dengan capaian itu, suatu keniscayaan di tengah eksistensi umat yang mayoritas di negeri ini. Bahkan tidak terlalu salah kalau dikatakan, bahwa capaian itu agak terlambat.
Namun kita juga tidak bisa menolak argumen, bahwaperubahan itu bukanlah suatu proses yang tiba-tiba atau secara simsalabim terwujud, tapi dengan sebuah sebab-musabab dan kerjakeras. Setiap pemenuhan orbit dakwah adalah mukadimah bagi orbit berikutnya. Karenanya mihwar dakwah tidak bersifat diskrit tapi kontinyu, dan perubahan dari mihwar yang satu ke mihwar lainnya merupakan perluasan jenjang pelayanan dan kepemimpinan.Kalau diringkas, aktivitas dakwah kita kini telah melalui tiga fase perjuangannya (mahawir ad dakwah).
Pertama adalah mihwar tanzhimi, pada tahap ini fokus utama dakwah adalah konsolidasi dan pembinaan kader. Tahap ini merupakan suatu keniscayaan dalam membangun kekuatan internal. Karenanya kata kunci gerakan dakwah pada fase ini adalah pengokohan internal, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur dakwah. Pekerjaan kaderisasi (tajnid) menjadi penekanan, karena itu prinsip yang sering dikemukakan adalah “tarbiyah/pembinaan bukanlah segalanya, namun segalanya dimulai dari tarbiyah”. Dalam tahap ini yang dibangun adalah kekuatan fondasi internal. Potensi pembina menjadi tulang-punggung gerakan dakwah. Konsolidasi internal dan pertumbuhan bola salju dakwah adalah target-target kuantitatif penting yang dikembangkan.
Dalam fase ini yang dibutuhkan pembentukan kepribadian Islami dan da’iyah—sebuah proses yang pekat dengan semangat inward looking dan relatif terlindungi dari pengaruh dunia luar. Pembenaran tahap dan proses ini dalam sirah nabawiyah adalah pada fase Makkah dalam majelis Rasulullah SAW di rumah Arqam bin Abil Arqam.
Orbit kedua dakwah adalah Orbit Masyarakat (mihwar sya’bi) dimana aktivitas dakwah mulai mengalirkan energinya untuk kepentingan masyarakat secara umum melalui gerakan amar ma’ruf wa nahyi munkar, yakni layanan dalam berbagai bidang kehidupan—melalui instrumen organisasi keumatan—terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan berbagai kegiatan lainnya. Kata kunci dalam orbit dakwah ini adalah pelayanan. Dalam orbit ini tak heran kalau rumah sakit-rumah sakit Islam bermunculan, sekolah-sekolah Islam terpadu dan Universitas Islam, BMT dan bank syariah, serta lembaga layanan umat lainnya berdiri. Sudah barang tentu ada banyak berkah dalam orbit ini. Pertama berdirinya berbagai LSM dakwah sebagai wajah untuk berinteraksi dengan publik. Memang wajah itu sendiri—dalam mihwar sya’bi—belum menjadi tujuan dan perhatian utama, namun efek bergandanya tetap ada. Secara sosiologis adanya wajah memudahkan kader dakwah berinteraksi dengan publik. Kedua,tokoh-tokoh internal secara tidak langsung lebih berpeluang untuk muncul ke wilayah publik (syakhsyiyah barizah). Ketiga, munculnya peluang menarik tokoh luar untuk berhimpun di sekitar institusi dakwah. Keempat, secara kelembagaan institusi dakwah yang dibangun berpeluang menjadi lembaga penekan atau lembaga advokasi masyarakat. Kelima, pengelolaan lembaga dakwah secara profesional memungkinkan munculnya optimalisasi potensi dan pengempangan profesi bagi kader dakwah yang mengelola lembaga dakwah tersebut. Ternyata dalam banyak contoh terlihat, bahwa penyatuan antara aspek profesional dan dakwah dalam satu institusi tertentu memunculkan sinergi dan efisiensi yang sangat besar.
Orbit dakwah ketiga adalah Orbit Pelembagaan (mihwar muasasi) dimana kader dakwah mulai masuk ke dalam lembaga publik, baik di parlemen, birokrasi maupun lembaga-lembaga profesi lainnya.Mereka berkontribusi dalam lembaga-lembaga tersebut dengan menampakkan integritas moral serta kualitas profesional dan kepakarannya. Kata kunci dalam Orbit dakwah ini adalah kepakaran. Misi utama kader dakwah naik secara vertikal (mobilitasvertikal) dan melakukan penetrasi ke dalam lembaga-lembaga publik ini adalah untuk mempengaruhi, menerjemahkan, atau merumuskan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakankebijakan publik yang dihasilkan lembaga-lembaga tersebut. Untuk menjalankan misi ini sudah barang tentu—sekali lagi—menuntut kepakaran kader.
Dakwah dalam sektor publik dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Dakwah Parlementer
2. Dakwah Birokrasi
Dakwah parlementer merupakan perluasan medan dakwah, yakni dakwah dalam mimbar resmi negara untuk berjuang secara konstitusional bagi penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dakwah parlemen adalah salah satu bentuk amar ma’ruf nahyi munkar dalam mimbar demokrasi yang mempunyai fungsi kontrol atas pemerintah (hisbah) dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai Islam. Dalam mimbar parlemen ini pula dapat diperlihatkan kepada masyarakat, bahwa Islam adalah agama yang sempurna (syamil) dan Islam adalah solusi. Karenanya dakwah parlemen menuntut fungsi:
1. Legislasi (taqnin);
2. Pengawasan (hisbah);
3. Pernyataan publik (tabligh).
Dakwah birokrasi adalah dakwah dalam kancah eksekutif dalam upaya untuk menerjemahkan, mempengaruhi, menafsirkan dan melaksanakan agar kebijakan publik sesuai dengan nilai-nilai Islam demi melayani masyarakat dan dalam rangka mensejahterakan mereka. Program reformasi pemerintahan untuk menegakkanpemerintah yang bersih --bebas dari virus KKN-- serta terjadinya mobilitas vertikal kader dakwah dalam birokrasi. Fungsi utama dakwah dalam birokrasi adalah:
1. Penerjemahan dan pelaksanaan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik yang ada dalam rangka islamisasi kehidupan dan menegakkan nilai-nilai Islam;
2. Pelayanan publik;
3. Reformasi pemerintahan menuju clean government;
4. Mobilitas vertikal kader dakwah.
Fase dakwah ke tiga di atas sangat kentara merupakan perluasan dari fase ke dua. Kalau dalam Orbit Masyarakat, mulai muncul institusi dakwah sebagai wajah untuk berinteraksi dengan publik, maka dalam Orbit Lembaga pemikiran untuk mengokohkan institusi yang didirikan mulai mendapat penekanan. Pembelajaran untuk mengelola lembaga dakwah secara profesional menjadi penting, termasuk juga peran dalam institusi negara. Sehingga, dalam Orbit ini, kader dakwah menyebar secara horizontal ke seluruh lembaga masyarakat, baik di sektor privat, publik maupun sektor ketiga, dan mengokohkan peran mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. Pada orbit ini interaksi dengan publik mulai dilakukan secara institusional melalui organisasi politik dengan doktrin al hizb huwal jama’ah al jama’ah hiyal hizb—bukan
secara individual atau parsial melalui wajah-wajah LSM. Sampai di sini dapat dipahami kalau kriteria utama dalam Orbit Lembaga adalah profesionalitas. Dalam bingkai ini, maka yang perlu diusung adalah kader dakwah yang memahami nilai-nilai Islam dan memiliki komitmen tinggi bagi perwujudannya, yang memilikikredibilitas moral, kredibilitas sosial dan kredibilitas profesional. Kader yang bukan saja memiliki integritas moral yang tinggi dalam menggusung perubahan serta mampu berinteraksi sosial secara harmonis di dalam lingkungannya, namun juga profesional di bidangnya. Ada tiga pilar profesionalitas yang diperlukan untuk itu, yakni berkaitan dengan core competence, managerial, dan strategic thinking. Seorang profesional dalam bingkai ini adalah ilmuwan yang manajer, dan manajer yang mampu berpikir strategis (negarawan). Ia bukan hanya unggul dalam kompetensi ilmiahnya, namun juga mampu mengelola sumber daya yang ada di sekitarnya secara sinergi untuk kepentingan dakwah, dan terbiasa berpikir strategis.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa terlalu banyak kualifikasi yang digantungkan pada kader? Tak ada pilihan, karena kini kita memasuki zaman dimana kompetisi ideologis menggunakan bahasa infrastruktur sosial-budaya-politik yang makin canggih. Hanya mereka yang fasih dengan bahasa infrastruktur canggih itu yang dapat menanamkan pengaruh dan meraih kemenangan. Kita memerlukan tokoh yang siap melakukan islamisasi kehidupan dengan mengalahkan pengaruh para kompetitornya. Pada titik ini para pakar menjadi penting ditumbuhkan dan tampil ke muka untuk menggusung perubahan. Sifat integralitas Islam menuntut ketersediaan para pakar dalam seluruh dimensi hidup manusia. Orbit terakhir yang perlu dilalui adalah Orbit Negara (mihwar daulah). Ini adalah Orbit dimana dakwah telah memasuki pengelolaan institusi negara secara penuh dan sekaligus merupakan perluasan dari Orbit Lembaga. Kalau dalam orbit sebelumnya, interaksi dengan sektor negara dalam birokrasi dan lembaga negara lainnya (politik, legislatif, eksekutif dan lainnya) masih dilaksanakan secara individual dan parsial, maka dalam orbit ini interaksi dilakukan secara total.
Fungsi dan Urgensi Wajihah
Kekuatan dakwah sangat memerlukan dukungan masyarakat . Mereka adalah basis kekuatan bagi para aktivis dan kader dakwah dalam rangka memapankan gerakan perubahan. Bila landasan kekuatan masyarakat ini rapuh, maka akan rapuh pula bangunan dakwah di atasnya. Umumnya, masyarakat selalu melihat fenomen dakwah dari hal-hal yang kongkrit di depan mata mereka.
Sementara itu kita pahami tidak semua kebijakan dakwah dapat dimunculkan ke permukaan. Oleh karena itu diperlukan payung (mnizhalah) atau wajihah (cover) yang tepat untuk berbagai posisi dan keadaan. Dengan cara ini gerakan dakwah dapat memenuhi tuntutan pembinaan masyarakatnya tanpa harus keluar dari manhaj yang telah digariskan Rasulullah SAW.
Wajihah memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam gerakan dakwah. Melalui wajihah proses transformasi dan perubahan ke arah perbaikan dapat berjalan secara efektif. Wajihah dapat mengoptimalkan peran dan fungsinya untuk berbagai tindakan teknis, taktis maupun strategis seperti: menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat, mendidik dan mengembangkan sumber daya umat, melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, menggalang opini umum, menggerakkan dan memobilisasi massa untuk tujuan tertentu, mengajak masyarakat untuk berbuat produktif, meraih dukungan dan simpati publik, melibatkan masyarakat untuk proyek tertentu, mengajukan usul dan saran bagi pemecahan masalah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Wajihah dapat berupa organisasi profit atau lembaga nirlaba yang mewujud dalam berbagai bidang kerja. Wajihah dibentuk untuk kemaslahatan umat, sebagai sarana bagi gerakan dakwah yang memerlukan proteksi. Dengan misi utamanya memberikan layanan, perlindungan, pembelaan, pendidikan, pemberdayaan, dan
penerangan kepada kelompok masyarakat tertentu, maka wajihah menjadi sangat efektif untuk merealisasikan misi Islam yang membawa rahmat bagi semua orang.
Dengan adanya wajihah, format dakwah bukan lagi hanya dalam konteks menjelaskan dan mendidik mereka menjadi seorang muslim yang baik, tetapi juga menjadi wahana bagi kader untuk memberikan layanan dan bantuan yang sangat diperlukan umat, sebagaimana yang dipuji oleh Allah SWT: “ wa man ahsanu qaulan min man da’a ilallah wa ‘amila shalihan… “ (QS Al Fushhilat:33)
Setidaknya ada dua jenis wajihah yang dapat dikembangkan, yaitu wajihah tanzhim, yang langsung terkait dengan salah satu struktur partai, yang tidak bertentangan dengan undang-undang kepartaian, sepenuhnya dikelola dan dikendalikan oleh personil-personil yang duduk dalam struktur partai. Jenis wajihah yang lainnya adalah wajihah amal, yang secara peraturan perundang-undangan tidak bisa dikaitkan dengan partai, merupakan penjelmaan aktivitas kader dalam suatu institusi atau lembaga yang bergerak dalam bidang garapan tertentu.
Dengan kata lain wajihah amal dikelola dan dikendalikan sepenuhnya oleh anggota-anggota gerakan dakwah dan dapat melibatkan orang-orang lain yang tidak memiliki hubungan struktural dengan struktur partai dakwah. Sementara itu, struktur partai hanya memberikan arahan dan kebijakan-kebijakan yang sifatnya umum.Wajihah, baik tanzhimi maupun amali, dibentuk sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Grand Strategy dakwah, dan diposisikan serta difungsikan sebagai perpanjangan tangan kebijakan partai dakwah. Wajihah juga dapat memainkan peranan yang sangat berarti dalam mempengaruhi dan menekan proses pengambilan kebijakan pihak-pihak yang berwenang agar sesuai dengan misi dakwah dan berpihak kepada kebenaran dan kemaslahatan. Peran ini akan semakin efektif ketika wajihah menjalin kerjasama taktis dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kepentingan yang sama.
Dengan peran yang sedemikian penting dalam kancah dakwah, maka menjadi wajarlah apabila dalam mobilitas horisontal,keberadaan wajihah menjadi ujung tombak bagi percepatan ekspansi dakwah. Dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas wajihah di seluruh wilayah dakwah, pesan-pesan dakwah akan semakin efektif menyebar dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Diperlukan suatu rencana aksi yang jelas dan terarah untuk meningkatkan keberadaan wajihah hingga dapat meningkatkan posisinya di tengah-tengah masyarakat melalui serangkaian pembinaan yang efektif dan berkesinambungan. Pembinaan difokuskan pada wajihah yang bergerak dalam lingkup layanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat umum dan menyentuh aspek kebutuhan dasar mereka, yaitu dalam bidang pendidikan, dakwah, sosial dan kemasyarakatan serta bidang seni dan budaya.Menata dengan mengembangkan keberadaan wajihah dalam dakwah di mihwar sya’bi dan terlebih pula di mihwar muassasi merupakan keharusan untuk:- Mengefektifkan mu’assasah dan wajihah yang ada sebagai lembaga pemikir strategis dan sarana dalam optimalisasi hubungan dengan lembaga-lembaga eksternal;
- Mengokohkan eksistensi mu’assasah dan wajihah dalam tingkat nasional, regional dan internasional ;
- Mendirikan LSM-LSM dan mengembangkan aksi-aksi advokasi sosial, hukum dan politik yang dihadapi masyarakat di berbagai daerah.