MTQ Akhirat




jalanpanjang.web.id - Di bulan Ramadhan tahun 60-an, di rumah orang tua saya di Pekalongan, biasanya tarawih dipimpin oleh seorang hafiz yang mengimami shalat dengan membaca satu juz sepanjang 8 rakaat tambah 3 rakaat witir. Dengan demikian, imam yang hafal Quran ini meng-khatam-kan 30 juz sebulan puasa dalam shalat tarawih.

Kaki yang berdiri puluhan menit luar biasa pegal terasa pada lutut karena produksi asam laktat yang melimpah pada sendi-sendi. Gerakan sujud dan tahiat terasa melegakan betul, karena sekaligus jadi permulaan istirahat. Tanpa pengeras suara, bacaan imam terdengar lantang dan indah.

Peserta yang bertahan ikut terus jumlahnya tidak banyak. Yang tidak kuat, boleh melakukannya sambil bersimpuh saja.

Selepas tarawih, ibu saya dan murid-murid beliau menyediakan kolak dan makanan kecil. Orang-orang memijit kaki masing-masing sambil menyandar ke dinding. Sambil melepaskan lelah dan menyendok kolak, terasa kenikmatan batin yang sukar menjelaskannya.

Pada tahun 1993, tarawih Ramadhan saya lalui di Mesjid Kampung Pandan Kuala Lumpur. Imam kami hafiz buta. Suaranya merdu dan kuat. Satu juz satu malam itu dibaginya merata ke dalam 23 rakaat. Di saf paling depan sebelah kiri, sebuah mushaf Quran besar terbentang miring di atas meja, dan dua orang makmum bertugas mengontrol bacaan imam. Jarang terjadi kesalahan baca.

Sehabis tarawih, berlangsung festival memijit kaki. Sambil ngobrol, imam kami memijit-mijil kaki sendiri di-rubung jamaah, yang juga memijit-mijit betis kaki. Kami merasa-kan kenikmatan batin yang sukar menjelaskannya.

Rasa heran yang kemudian berkembang jadi rasa hormat pada orang-orang yang hafal Quran, dimulai sejak saya merasakan tidak mudahnya menghafalkan surah-surah panjang Kitab Suci itu. Ada rasa menyesal mengapa waklu kecil dulu tidak rajin menghafal, ketika ingatan masih segar dan daya serap kuat.

Salah satu surah favorit keluarga adalah surah ke-15, yaitu al-Kahfi. Dalam keluarga kami, surah ini menempati posisi khusus, karena ayah dan ibu, nenek pihak ibu, kemudian nenek dan kakek pihak ayah, hafal surah ini. Mereka mewiridkan membacanya pada malam Jumat. Karena tidak hafal surah ini, mana mungkin saya memiliki kartu anggota Klub Kahfi dalam keluarga. Menghafal Surah Yasin saja yang panjangnya lebih sedikit seperdua Surah Kahfi, sering bingung sendiri pada bagian “inkaanat illa shaihatan waahidatan…” karena tertukar-tukar lanjutannya pada ’ain kedua atau ’ain ketiga. Tapi kenikmatan batin yang sukar dijelaskan selalu berlangsung setiap sehabis kontak dengan Alquran.

Sesudah beberapa kali tidak berhasil mengikuti pertemuan para penghafal Quran, barulah pada 1983 atau 1984 saya dapat menyertainya. Tentu saja bukan sebagai anggota, cuma sebagai seorang simpatisan saja.

Pertemuan ini tanpa genderang publikasi, tidak ada sambutan pejabat negara, dan jangan dibayangkan ada fasilitas seperti di kota besar. Kesederhanaan yang sejati mewarnai peristiwa itu. Seingat saya, kurang lebih ada 600 penghafal Quran yang berkumpul waktu itu dari seluruh Indonesia. Di luar dugaan saya, mayoritas mereka muda-muda, masih pada umur dua puluh-tiga puluhan, dan mungkin lebih banyak wanita ketimbang prianya.

Pertemuan berlangsung di kota kecil Brebes di pesisir utara Jawa Tengah, daerah pertanian yang menghasilkan bawang yang terkenal itu. Acaranya adalah silaturahmi dan bersama mengkhatamkan Quran. Mereka tersebar menginap di rumah-rumah penduduk yang menerima mereka dengan ramah. Mereka mulai secara terpisah-pisah di rumah-rumah itu membaca Quran (tentu tanpa melihat mushaf) di malam hari, disambung keesokannya, kemudian lepas tengah hari berkumpul di bawah tenda sederhana membaca juz terakhir bersama-sama.

Saya ikut duduk di belakang, paling pinggir di bawah tenda. Matahari menjelang Ashar yang terik menyinari kota kecil itu. Aroma bawang yang baru habis dipanen mengembang di udara. Ayam berlarian ke sana kemari, suara burung tekukur terdengar sekali-sekali.

Satu surah demi satu surah dari Juz Amma mengalun bersama-sama. Iramanya teratur. Ketukannya tepat. Keindahan bacaannya luar biasa mengharukan. Tak ada kabel yang menghubungkan peristiwa ini dengan stasiun transmisi, tak ada kontak dengan media elektronika dunia karena jamaah ini tidak memerlukannya. Kabel yang menghubungkan mereka tidak kasat-mata. Kabel mereka langsung ke atas sana tanpa batas.

Ini bukan MTQ yang didukung uang belanja negara, memperebutkan hadiah dan dahaga liputan media massa. Mereka adalah para hafiz dan hafizah yang sangat sederhana, nyaris miskin serta tidak dikenal di atas buminya sendiri tapi insya Allah mereka masyhur fissama’.Saya bayangkan malaikat berjuta-juta melindungi jamaah Quran ini, melingkari tanah dan melindungi langit di atas tenda itu. Sayap-sayap mereka berkelepakan. Lewat Surah Ad-Dhuha menuju An-Nas, bacaan makin menggetar mengharukan dalam paduan suara mereka. Selesai minal jinnati wannas, jamaah melaju ke Fatihah dan Baqarah 284-286. Lalu ditutup dengan serangkaian doa panjang, yang dibasahi oleh air mata penduduk yang hadir. Betapa beruntungnya saya ikut di kursi pinggir menadahkan dua telapak tangan dan mengucapkan “amin” bersama para hafiz dan hafizah itu.

Kedahsyatan doa khatam Quran para hafiz dan hafizah di kawasan petani bawang itu, menurut catatan pengalaman pribadi saya, cuma dua-tiga derajat di bawah kedahsyatan doa Arafah di bulan Zulhijjah dan doa tahajud sepertiga Ramadhan di Masjidil Haram.

Sesudah beberapa kali mcngalami gebyar-gebyar MTQ dunia di kota-kota besar, MTQ akhirat yang amat bersahaja dan tidak cari publikasi di kawasan petani bawang ini terasa jauh lebih ikhlas dan rendah hati dalam perasaan saya.

Taufiq Ismail Sumber: Majalah UMMAT No. 17 Thn. I. 19 Februari 1996/29 Ramadhan 1416 H

Artikel Terkait



Tags: ,

Jalan Panjang.web.id

Didedikasikan sebagai pelengkap direktori arsip perjuangan dakwah, silahkan kirim artikel maupun tulisan Tentang Dakwah ke jalanpanjangweb@gmail.com