PERBEDAAN PANDANGAN FIQH DALAM PENUNJUKAN DARI SEBUAH DALIL
Dalam berbagai kesempatan jaulah-dakwah sering ada ikhwah yang menyampaikan pendapatnya pada ana sebaga berikut; “Berkoalisi dengan kelompok sekular itu haram!” Ana tanya: “Mengapa?” Jawab ikhwah tsb: “Ya jelaslah, berdasarkan ayat & hadits yang melarang ber-muwalah dengan musuh-musuh ALLAAH SWT.” Dalam kesempatan lainnya ada ikhwah lain yang berkata: “Mengapa kita harus bergandengan dengan ahlul-ma’ashiy (ahli maksiat) untuk memimpin ummat, bukankah itu berarti mengorbankan prinsip dakwah demi kepentingan kekuasaan?!”
Demikianlah semangat yang berkobar-kobar di dada para ikhwah, yang sungguh ana bersyukur bisa mengkaruniakan masa-masa dalam hidup ana, untuk selalu berkumpul bersama orang-orang yang punya ghirah terhadap Islam yang demikian tinggi, dan semoga ALLAAH SWT bisa mengumpulkan ana dan mereka kelak di Jannah-NYA, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih : ..Orang-orang yang saling mencintai karena ALLAAH, saling bertemu karena ALLAAH & berpisahpun karena ALLAAH[1].. Aamiin ya RABB
Namun ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’azzakumuLLAAH, ketahuilah bahwa masalah yang kita diskusikan di atas tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan oleh sebagian ikhwah di atas, oleh karenanya izinkan dalam kajian kali ini ana memaparkan sedikit tentang mana-mana masalah yang pokok yang tidak berubah dalam Islam (ats-tsawabit) dan mana yang bisa berubah, dan setelah itu akan sedikit ana paparkan juga bagaimana perbedaan pendapat para fuqaha atas penunjukan dari sebuah dalil (khilafiyyah dalam tahqiqul-manath) yang tidak boleh sembarangan, karena ia tidak boleh asal melihat dalil lalu dimaknai dalam suatu kasus secara serampangan, karena jikalah masalahnya sesederhana itu maka tidak perlu lagi adanya fuqaha dan tak perlu lagi diajarkan disiplin ilmu fiqh syari'ah.
TSAWABIT WAL MUTAGHAYYIRAT
Tsawabit adalah hal-hal yang bersifat tetap dan tidak menerima pengembangan ijtihad maupun tambahan dan perubahan apapun. Menurut Syaikh DR Abdurrahman Abdul Khaliq rahimahuLLAH : Yang termasuk kelompok ini adalah bidang aqa’id (masalah2 keimanan), ibadah (rukun Islam yang lima) dan akhlaq (kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan, keikhlasan, keberanian, dsb). Semua perkara ini adalah tsawabit dalam ad-Din, manusia sama sekali tidak boleh memasukkan tambahan atau pengurangan apapun ke dalamnya.
Sifat - sifat ALLAH SWT, malaikat, surga dan neraka, hari akhir, azab kubur dan masalah -masalah gaib yang lain, mutlak menerima tambahan baru atau pengurangan apapun, karena ilmu baru dalam masalah ini hanya bisa didapat melalui wahyu, padahal tidak ada lagi wahyu sepeninggal RasuluLLAH SAW. Inilah perbedaan mendasar antara kita dengan sebagian kelompok tasawwuf, karena ada diantara mereka yang bertumpu kepada takhayyul, khurafat dan mukasyafah untuk mengetahui hal -hal aqidah di atas, sehingga ada diantara mereka yang berkata : Kami telah bertemu dengan ALLAH SWT, atau kami telah bertemu dengan malaikat anu dan anu... Padahal pintu kegaiban seperti ini tidak akan didapatkan kecuali melalui wahyu, sedangkan setelah nabi SAW wafat maka tidak ada lagi wahyu.
Ibadah -ibadahpun tidak boleh diadakan penambahan atau pengurangan, menambah 1 raka’at saja dari shalat fardhu yang telah ditetapkan akan membatalkan shalat tersebut, demikian pula mengadakan shalat sunnah yang belum pernah dilakukan oleh nabi SAW, atau menambah berbagai kaifiyyat ibadah manapun seperti zakat, puasa dan hajji adalah tidak boleh, semuanya harus dilakukan seperti yang telah dicontohkan oleh nabi SAW tanpa ditambah ataupun dikurangi.
Demikian pula dalam masalah akhlaq dan tazkiyyah-nafs, tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena akan menjadi berlebihan atau berkurangan dari yang telah dicontohkan oleh nabi SAW. Kesemua hal ini adalah tsawabit dalam Islam, apapun tambahan dan pengurangan di dalamnya adalah merupakan bid’ah yang diharamkan dan pelakunya adalah sesat dan tempatnya adalah di neraka[2]. SELESAI KUTIPAN.
Adapun yang mutaghayyirat menurut beliau adalah sbb : Nash - nash al-Qur’an yang turun dalam masalah mu’amalah, maka ia bagaikan kaidah-kaidah, pokok-pokok yang umum dan bingkai yang memberikan penerangan bagi kaum muslimin dan memberikan legalitas untuk mereka mengatur diri mereka sendiri sesuai petunjuk ketika muncul perubahan yang baru baik yang berkaitan dengan diri mereka sendiri maupun dengan musuh-musuh mereka. Karena itulah masalah mu’amalah merupakan mutaghayyirat terbesar dalam diin ini.
Singkatnya bidang mu’amalah adalah pintu terbesar dari pintu ijtihad. Karena luasnya cakupannya, besarnya variasi serta cepatnya perubahannya, maka dapatlah dikatakan bahwa bidang ini seperti urusan politik, ekonomi dan sosial, maka ini merupakan suatu problema. Sebab yang tsawabit dalam Islam (aqidah, ibadah dan akhlaq) tidak menimbulkan problema karena memang nashnya jelas, bisa difahami serta sedikit sekali perbedaan pendapat di dalamnya. Sedangkan urusan politik, sosial dan ekonomi, sekalipun pokok-pokoknya tetap namun perubahannya besar sekali. Situasi politik dunia tiap hari berubah dan membutuhkan ijtihad baru. Kita tidak hidup sendirian di bumi ini, tapi turut hidup pula bersama kita ummat dan bangsa2 lain. Mereka memiliki sistim mu’amalah tersendiri dan memberikan pula tekanan politik pada kita[3].
KHILAFIYYAH DALAM TAHQIQUL-MANATH
Adapun persoalan khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan fuqaha dalam penetapan tahqiqul-manath (menerapkan suatu hukum/nash yang bersifat umum kepada kasus-kasus yang bersifat khusus) maka hal ini termasuk perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang syariat), dimana pihak yang berbeda dalam penetapannya tidak boleh dicela atau diragukan dien-nya dan keadilannya.
Mengapa? Karena cakupan persoalan ini ke dalam ilmu waqi’i (ilmu realitas) lebih banyak dari cakupannya ke ilmu syar’i (ilmu agama). Maka barangsiapa melihat kebenaran dari salah satu diantara 2 pendapat, maka ia wajib mengikutinya, dan barangsiapa menguatkan pendapat yang lain dengan ijtihad (kalau ia seorang mujtahid baik juz’i maupun muthlaq) atau dengan taqlid kepada seorang yang ia percayai din-nya dan ilmunya (jika ia dari golongan awam), maka tidak ada celaan atasnya.
Berkata seorang ulama salaf pembela sunnah, Imam Asy Syatibi –rahimahuLLAAH- : “Adapun ijtihad yang berkenaan dengan tahqiqul-manath maka mengenai penerimaannya sudah tidak ada khilaf lagi diantara ummat. Contohnya tafsir dari ayat : Dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi yang adil diantaramu[4] , makna adil adalah jelas, tapi bagaimana menentukan kualitas keadilan tsb? Maka manusia tidak memiliki standar yang sama, bahkan akan jauh berbeda. Ujung teratas adalah jelas, yaitu sebagaimana keadilan pada diri sahabat Abubakar ra, yang tidak ada kesamaran dalam keadilannya. Demikian pula ujung terbawah yang merupakan awal yang berbatasan dengan sifat zhalim, seperti orang yang pernah mendapatkan hukuman had dalam Islam. Adapun antara 2 ujung tsb ada banyak tingkatan adil yang tak terhingga jumlahnya, yang pertengahan sangat samar, maka disinilah perlu pengerahan akal fikiran secara maksimal untuk menentukannya, inilah lapangan ijtihad[5].
Lebih lanjut beliau menjelaskan : “Cukuplah anda mengetahui bahwa syariat tidak menetapkan hukum atas setiap perkara yang bersifat juz’i, namun syariat datang membawa perkara - perkara yang bersifat kulli dan keterangan yang bersifat mutlak. Maka seorang mujtahid haruslah seorang yang sangat faham tentang sisi masalah fiqh yang ia amati, agar hukum syar’i turun selaras dengan tuntutannya. Sebagaimana juga seorang muhaddits yang harus mengetahui keadaan sanad dan jalur-jalur periwayatannya, mengetahui shahihnya dari dha’ifnya, mana yang bisa dijadikan hujjah dan mana yang tidak bisa[6].
Contoh pembahasan fiqh dalam masalah ini adalah sbb ; Menolak Hukum Syar’i adalah Kufur Besar, dan perkara ini merupakan hal yang qath’i (pasti) dalam syariah. Akan tetapi tahqiqul-manath nya (penerapannya pada suatu kasus tertentu), akan berbeda2 tergantung pada situasi, kondisi, sebab, dsb. Seorang tidak bisa langsung dihukumi kafir hanya karena menggunakan suatu sistem dari Barat misalnya, tapi hendaknya dibandingkan antara manfaat dan mafsadat dari sistem tsb dan dilakukan pengujian serta penelitian secara teliti, sampai jelas perbandingan mafsadat dan manfaatnya, karena pengharaman dilakukan bukan lidzatihi (karena menggunakan salah satu sistem impor tsb) melainkan li dhararihi (karena dampaknya). Dan dampak ini merupakan hal yang perlu kajian dan penelitian yang seksama, dan setiap orang dapat memperkuat argumen nya masing-masing tanpa memvonis kepada yang berbeda, karena ia merupakan masalah ijtihadiyyah.
Contoh lainnya adalah al-muwalah bil kuffar (memberikan loyalitas kepada orang kafir) adalah haram berdasarkan nushush yang qath’iy dan masalah ini la syakka fiihi (tidak ada keraguan di dalamnya) bagi orang yang beriman kepada ALLAAH dan ari Akhir, namun jika ada kasus sebuah kelompok dakwah melakukan koalisi politik dengan kelompok sekularis tidak dapat serta-merta di vonis sebagai muwalah bil kuffar, sebelum dilihat illat (sebab-sebab)-nya apakah karena memang ada muwalah disana atau karena strategi dalam peperangan, atau juga karena fiqh muwazanah bayna al-maslahah wa al-mafsadah. Sekali lagi masalah2 seperti ini amat banyaknya dan ia lebih dekat kepada Fiqh Waqi’ dibandingkan dengan Nushush Syari’ah itu sendiri. Kasus seperti ini amat banyaknya dalam waqi’iyyah keseharian kita dalam beramal jama’i, sebagaimana telah dicontohkan pada pernyataan-pernyata an ikhwah di atas. Wallahu a’lamu bish shawaab…
Dalam berbagai kesempatan jaulah-dakwah sering ada ikhwah yang menyampaikan pendapatnya pada ana sebaga berikut; “Berkoalisi dengan kelompok sekular itu haram!” Ana tanya: “Mengapa?” Jawab ikhwah tsb: “Ya jelaslah, berdasarkan ayat & hadits yang melarang ber-muwalah dengan musuh-musuh ALLAAH SWT.” Dalam kesempatan lainnya ada ikhwah lain yang berkata: “Mengapa kita harus bergandengan dengan ahlul-ma’ashiy (ahli maksiat) untuk memimpin ummat, bukankah itu berarti mengorbankan prinsip dakwah demi kepentingan kekuasaan?!”
Demikianlah semangat yang berkobar-kobar di dada para ikhwah, yang sungguh ana bersyukur bisa mengkaruniakan masa-masa dalam hidup ana, untuk selalu berkumpul bersama orang-orang yang punya ghirah terhadap Islam yang demikian tinggi, dan semoga ALLAAH SWT bisa mengumpulkan ana dan mereka kelak di Jannah-NYA, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih : ..Orang-orang yang saling mencintai karena ALLAAH, saling bertemu karena ALLAAH & berpisahpun karena ALLAAH[1].. Aamiin ya RABB
Namun ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’azzakumuLLAAH, ketahuilah bahwa masalah yang kita diskusikan di atas tidaklah sesederhana seperti yang diperkirakan oleh sebagian ikhwah di atas, oleh karenanya izinkan dalam kajian kali ini ana memaparkan sedikit tentang mana-mana masalah yang pokok yang tidak berubah dalam Islam (ats-tsawabit) dan mana yang bisa berubah, dan setelah itu akan sedikit ana paparkan juga bagaimana perbedaan pendapat para fuqaha atas penunjukan dari sebuah dalil (khilafiyyah dalam tahqiqul-manath) yang tidak boleh sembarangan, karena ia tidak boleh asal melihat dalil lalu dimaknai dalam suatu kasus secara serampangan, karena jikalah masalahnya sesederhana itu maka tidak perlu lagi adanya fuqaha dan tak perlu lagi diajarkan disiplin ilmu fiqh syari'ah.
TSAWABIT WAL MUTAGHAYYIRAT
Tsawabit adalah hal-hal yang bersifat tetap dan tidak menerima pengembangan ijtihad maupun tambahan dan perubahan apapun. Menurut Syaikh DR Abdurrahman Abdul Khaliq rahimahuLLAH : Yang termasuk kelompok ini adalah bidang aqa’id (masalah2 keimanan), ibadah (rukun Islam yang lima) dan akhlaq (kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan, keikhlasan, keberanian, dsb). Semua perkara ini adalah tsawabit dalam ad-Din, manusia sama sekali tidak boleh memasukkan tambahan atau pengurangan apapun ke dalamnya.
Sifat - sifat ALLAH SWT, malaikat, surga dan neraka, hari akhir, azab kubur dan masalah -masalah gaib yang lain, mutlak menerima tambahan baru atau pengurangan apapun, karena ilmu baru dalam masalah ini hanya bisa didapat melalui wahyu, padahal tidak ada lagi wahyu sepeninggal RasuluLLAH SAW. Inilah perbedaan mendasar antara kita dengan sebagian kelompok tasawwuf, karena ada diantara mereka yang bertumpu kepada takhayyul, khurafat dan mukasyafah untuk mengetahui hal -hal aqidah di atas, sehingga ada diantara mereka yang berkata : Kami telah bertemu dengan ALLAH SWT, atau kami telah bertemu dengan malaikat anu dan anu... Padahal pintu kegaiban seperti ini tidak akan didapatkan kecuali melalui wahyu, sedangkan setelah nabi SAW wafat maka tidak ada lagi wahyu.
Ibadah -ibadahpun tidak boleh diadakan penambahan atau pengurangan, menambah 1 raka’at saja dari shalat fardhu yang telah ditetapkan akan membatalkan shalat tersebut, demikian pula mengadakan shalat sunnah yang belum pernah dilakukan oleh nabi SAW, atau menambah berbagai kaifiyyat ibadah manapun seperti zakat, puasa dan hajji adalah tidak boleh, semuanya harus dilakukan seperti yang telah dicontohkan oleh nabi SAW tanpa ditambah ataupun dikurangi.
Demikian pula dalam masalah akhlaq dan tazkiyyah-nafs, tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena akan menjadi berlebihan atau berkurangan dari yang telah dicontohkan oleh nabi SAW. Kesemua hal ini adalah tsawabit dalam Islam, apapun tambahan dan pengurangan di dalamnya adalah merupakan bid’ah yang diharamkan dan pelakunya adalah sesat dan tempatnya adalah di neraka[2]. SELESAI KUTIPAN.
Adapun yang mutaghayyirat menurut beliau adalah sbb : Nash - nash al-Qur’an yang turun dalam masalah mu’amalah, maka ia bagaikan kaidah-kaidah, pokok-pokok yang umum dan bingkai yang memberikan penerangan bagi kaum muslimin dan memberikan legalitas untuk mereka mengatur diri mereka sendiri sesuai petunjuk ketika muncul perubahan yang baru baik yang berkaitan dengan diri mereka sendiri maupun dengan musuh-musuh mereka. Karena itulah masalah mu’amalah merupakan mutaghayyirat terbesar dalam diin ini.
Singkatnya bidang mu’amalah adalah pintu terbesar dari pintu ijtihad. Karena luasnya cakupannya, besarnya variasi serta cepatnya perubahannya, maka dapatlah dikatakan bahwa bidang ini seperti urusan politik, ekonomi dan sosial, maka ini merupakan suatu problema. Sebab yang tsawabit dalam Islam (aqidah, ibadah dan akhlaq) tidak menimbulkan problema karena memang nashnya jelas, bisa difahami serta sedikit sekali perbedaan pendapat di dalamnya. Sedangkan urusan politik, sosial dan ekonomi, sekalipun pokok-pokoknya tetap namun perubahannya besar sekali. Situasi politik dunia tiap hari berubah dan membutuhkan ijtihad baru. Kita tidak hidup sendirian di bumi ini, tapi turut hidup pula bersama kita ummat dan bangsa2 lain. Mereka memiliki sistim mu’amalah tersendiri dan memberikan pula tekanan politik pada kita[3].
KHILAFIYYAH DALAM TAHQIQUL-MANATH
Adapun persoalan khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan fuqaha dalam penetapan tahqiqul-manath (menerapkan suatu hukum/nash yang bersifat umum kepada kasus-kasus yang bersifat khusus) maka hal ini termasuk perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang syariat), dimana pihak yang berbeda dalam penetapannya tidak boleh dicela atau diragukan dien-nya dan keadilannya.
Mengapa? Karena cakupan persoalan ini ke dalam ilmu waqi’i (ilmu realitas) lebih banyak dari cakupannya ke ilmu syar’i (ilmu agama). Maka barangsiapa melihat kebenaran dari salah satu diantara 2 pendapat, maka ia wajib mengikutinya, dan barangsiapa menguatkan pendapat yang lain dengan ijtihad (kalau ia seorang mujtahid baik juz’i maupun muthlaq) atau dengan taqlid kepada seorang yang ia percayai din-nya dan ilmunya (jika ia dari golongan awam), maka tidak ada celaan atasnya.
Berkata seorang ulama salaf pembela sunnah, Imam Asy Syatibi –rahimahuLLAAH- : “Adapun ijtihad yang berkenaan dengan tahqiqul-manath maka mengenai penerimaannya sudah tidak ada khilaf lagi diantara ummat. Contohnya tafsir dari ayat : Dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi yang adil diantaramu[4] , makna adil adalah jelas, tapi bagaimana menentukan kualitas keadilan tsb? Maka manusia tidak memiliki standar yang sama, bahkan akan jauh berbeda. Ujung teratas adalah jelas, yaitu sebagaimana keadilan pada diri sahabat Abubakar ra, yang tidak ada kesamaran dalam keadilannya. Demikian pula ujung terbawah yang merupakan awal yang berbatasan dengan sifat zhalim, seperti orang yang pernah mendapatkan hukuman had dalam Islam. Adapun antara 2 ujung tsb ada banyak tingkatan adil yang tak terhingga jumlahnya, yang pertengahan sangat samar, maka disinilah perlu pengerahan akal fikiran secara maksimal untuk menentukannya, inilah lapangan ijtihad[5].
Lebih lanjut beliau menjelaskan : “Cukuplah anda mengetahui bahwa syariat tidak menetapkan hukum atas setiap perkara yang bersifat juz’i, namun syariat datang membawa perkara - perkara yang bersifat kulli dan keterangan yang bersifat mutlak. Maka seorang mujtahid haruslah seorang yang sangat faham tentang sisi masalah fiqh yang ia amati, agar hukum syar’i turun selaras dengan tuntutannya. Sebagaimana juga seorang muhaddits yang harus mengetahui keadaan sanad dan jalur-jalur periwayatannya, mengetahui shahihnya dari dha’ifnya, mana yang bisa dijadikan hujjah dan mana yang tidak bisa[6].
Contoh pembahasan fiqh dalam masalah ini adalah sbb ; Menolak Hukum Syar’i adalah Kufur Besar, dan perkara ini merupakan hal yang qath’i (pasti) dalam syariah. Akan tetapi tahqiqul-manath nya (penerapannya pada suatu kasus tertentu), akan berbeda2 tergantung pada situasi, kondisi, sebab, dsb. Seorang tidak bisa langsung dihukumi kafir hanya karena menggunakan suatu sistem dari Barat misalnya, tapi hendaknya dibandingkan antara manfaat dan mafsadat dari sistem tsb dan dilakukan pengujian serta penelitian secara teliti, sampai jelas perbandingan mafsadat dan manfaatnya, karena pengharaman dilakukan bukan lidzatihi (karena menggunakan salah satu sistem impor tsb) melainkan li dhararihi (karena dampaknya). Dan dampak ini merupakan hal yang perlu kajian dan penelitian yang seksama, dan setiap orang dapat memperkuat argumen nya masing-masing tanpa memvonis kepada yang berbeda, karena ia merupakan masalah ijtihadiyyah.
Contoh lainnya adalah al-muwalah bil kuffar (memberikan loyalitas kepada orang kafir) adalah haram berdasarkan nushush yang qath’iy dan masalah ini la syakka fiihi (tidak ada keraguan di dalamnya) bagi orang yang beriman kepada ALLAAH dan ari Akhir, namun jika ada kasus sebuah kelompok dakwah melakukan koalisi politik dengan kelompok sekularis tidak dapat serta-merta di vonis sebagai muwalah bil kuffar, sebelum dilihat illat (sebab-sebab)-nya apakah karena memang ada muwalah disana atau karena strategi dalam peperangan, atau juga karena fiqh muwazanah bayna al-maslahah wa al-mafsadah. Sekali lagi masalah2 seperti ini amat banyaknya dan ia lebih dekat kepada Fiqh Waqi’ dibandingkan dengan Nushush Syari’ah itu sendiri. Kasus seperti ini amat banyaknya dalam waqi’iyyah keseharian kita dalam beramal jama’i, sebagaimana telah dicontohkan pada pernyataan-pernyata an ikhwah di atas. Wallahu a’lamu bish shawaab…
Ust. Nabiel Al Musawa
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
[1] HR Bukhari, III/116 dan Muslim, VI/381
[2] As Salafiyyun wal ‘Aimmah al Arba’ah, DR Abdurrahman Abdul Khaliq, hal.24-25.
[3] Ibid, hal 26-28.
[4] QS at-Thalaq-2
[5] Al-Muwafaqaat, Imam Syathibi, IV/89
[6] Ibid, IV/165
[Non-text portions of this message have been removed]
[1] HR Bukhari, III/116 dan Muslim, VI/381
[2] As Salafiyyun wal ‘Aimmah al Arba’ah, DR Abdurrahman Abdul Khaliq, hal.24-25.
[3] Ibid, hal 26-28.
[4] QS at-Thalaq-2
[5] Al-Muwafaqaat, Imam Syathibi, IV/89
[6] Ibid, IV/165
[Non-text portions of this message have been removed]